─ 17 ( end )ʿ

215 62 9
                                    

Dunia yang fana ini. Di mana mereka yang miskin akan selalu diinjak-injak oleh para petinggi kaya yang merasa berkuasa.

Orang-orang yang miskin akan takut ketika melihat petinggi-petinggi itu. Bahkan mayat mereka yang mati karena kelaparan akan dimutilasi lalu diberi pada hewan peliharaan.

Mereka terus bersembunyi, mereka ingin kabur diam-diam tapi mereka tidak bisa. Mata itu selalu mengawasi pergerakan mereka.

Seperti dua bersaudara yatim piatu yang bersembunyi di gorong-gorong bau dan kotor. Mereka terpaksa harus tinggal di sana.

"Aku lapar..." ujar salah satunya.

Saudaranya yang mendengar hal tersebut menghela nafas pelan, ia menatap iba pada adiknya. "Akan aku bawakan kau sesuatu, kau tunggu di sini ya."

Adiknya itu hanya mengangguk pelan, ia sudah terlalu lemas karena perutnya tidak di isi selama 2 hari.

"Hati-hati.." ucap adiknya dan kakaknya hanya mengangguk—walau sebenarnya ia takut pergi keluar sana.

Menurutnya gorong-gorong yang kotor dan bau itu lebih baik dari pada tempat bersih namun penuh para penguasa kotor—semua sama saja.

Baru saja kakaknya melihat langit yang begitu cerah, ia kembali masuk ke dalam dengan ekspresi yang ketakutan.

"Ayo cepat! Kita harus pergi dari sini!" ujar kakaknya panik.

Sang adik mau tidak mau menggerakan kakinya untuk berlari. Sudah biasa baginya, ini bukan pertama kali mereka ketahuan bersembunyi dan harus berlari agar tidak tertangkap para petinggi.

"Tunggu jangan lari!" teriak seorang pria dari belakang sana, tapi mereka tetap berlari.

"Berhenti atau aku tembak kaki kalian!" pria itu tidak bohong, dia sedang memegang pistol.

Dua bersaudara itu langsung berhenti dan mengangkat kedua tangannya ke atas, mereka berbalik dan menatap pria itu dengan takut.

"Jangan takut, aku tidak akan melakukan apapun. Aku hanya ingin mengajak kalian pergi dari sini." Ujarnya dengan nada tenang.

Pria itu berjalan menghampiri lebih dekat dengan perlahan-lahan. "Jangan takut..."

"K-kau akan membunuh kami?" tanya sang kakak. Dan pria itu menggeleng sebagai jawabannya.

"M-maka simpanlah pistol mahalmu itu Tuan, k-kau membuat kami takut." Ujarnya dengan nada bergetar.

Pria itu menuruti ucapannya, ia memasukan pistol ke dalam saku coat nya. Ia sedikit berdeham, lalu tersenyum kepada mereka.

"Ingin ikut bersamaku? Tenang saja aku hanya ingin kalian hidup lebih layak dengan ikut bersamaku." Katanya.

"Ke mana tuan?" walaupun sedikit ragu, sang kakak bertanya.

"Jangan panggil aku tuan, panggil saja aku guru. Kita akan pergi ke suatu tempat yang sangat indah, kalian bersedia ikut denganku?" tanyanya.

"K-kau tidak akan memutilasi kami kan? Dan memberikan daging kami pada hewan
peliharaan atau organ kami di jual?" kini sang adik yang bertanya tanpa menjawab ucapan pria itu terlebih dulu.

Pria itu menggeleng kencang. "Tidak akan."

"Kau tidak berbohong?"

"Aku bersumpah, jika aku berbohong mungkin nanti malam kalian akan menemukan mayatku. Jadi, kalian bersedia ikut denganku?" tanyanya sekali lagi.

"K-kami bersedia guru..." mereka pun menjawabnya secara bersamaan walau ada sedikit keraguan di benak mereka.

"Ngomong-ngomong siapa nama kalian?"

"Aku Yeosang dan ini adikku Jongho."



































"Guru, kenapa ada lukisan mengerikan di rumahmu? Kau berkata akan membawa kami ke tempat yang indah." Celetuk Jongho sembari menunjuk lukisan yang cukup besar terpajang di ujung sana.

Pria yang ingin di sebut guru mengalihkan pandangannya pada lukisan tersebut, lalu ia tersenyum.

"Lukisan itu akan membuka matamu, yang kalian lihat di dunia ini adalah kegelapan. Kalian berada di titik penderitaan, kalian terjebak di lumpur kotor. Lukisan itu akan menyelamatkan kalian, tidak ada lagi sengsara, tidak ada lagi kegelapan—"

"—ikutlah jalanku, maka hidup kalian akan abadi selamanya."




































53 tahun kemudian.

"Istriku sedang hamil, tolong jaga dia. Aku harus pergi jauh sekali agar anakku bisa lahir dengan kuat dan hidup abadi."

"Berapa lama kau akan pergi guru?" tanya Jongho.

"Ketika api mulai membara dalam manik mata yang penuh kebencian dan burung gagak akan menumpahkan darahnya, di hari itulah aku akan kembali." Balasnya.

Keduanya mengangguk, walau pernyataan tersebut sulit dipahami oleh mereka berdua.

"Baik guru, kami akan selalu mengingat ucapanmu. Sampai jumpa lagi, semoga kau selamat di perjalanan." Ucap Yeosang.

"Guru! Apakah kau sudah memberikan anakmu sebuah nama?" tanya Jongho antusias, ia sangat senang karena dirinya tidak menjadi yang termuda lagi.

Guru mengangguk sebagai jawabannya.

"Siapa?"






































































"Song Mingi."




[ E N D ]

omggggㅜ_ㅜ akhirnya end juga hshhs. ini cerita dengan alur yg tdk jelas🥹🥹 tp tdk papa☺️ makasiii banyak yang udh mau baca cerita aneh ini, makasii makasiii makasiii🫶🏻🫶🏻🫶🏻🫶🏻 bye bye olllll, mwachh😻😻😻

highway to hellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang