8. Rengkuh dan pamit

191 42 33
                                    

Setelah seminggu mengambil waktu untuk menenangkan pikiran, hati, serta raga, Aizha akhirnya memberanikan diri kembali menghadapi kenyataan. Pagi-pagi sekali Aizha sudah tiba di kantor tempatnya bekerja diantarkan oleh Aron.

Aron berpesan, "Kalau kamu belum bisa bertemu dengannya, jangan paksa diri kamu." Aron meminta tangan Aizha untuk ia bawa kedepan bibirnya. Membubuhkan kecupan sayang di sana sebagaimana yang selama ini selalu keluarga kecilnya lakukan. "Atau kalau perlu, kamu boleh berhenti dari sini untuk fokus ke diri kamu sendiri," lanjut Aron lagi.

Aizha mengulas sebuah senyuman, seakan mengatakan kalau ia akan berusaha menghadapinya alih-alih terus menyembunyikan diri.

"Kamu hati-hati nyetirnya ya, Aron. Jangan kebut-kebutan, nanti kalau udah sampai kantor, kabarin aku."

Aron tahu wanita itu belum sepenuhnya baik-baik saja walau ia telah beristirahat selama seminggu penuh di rumah. Tapi karena tidak ingin merusak suasana, maka Aron pun melewatkannya begitu saja.

"Pulangnya aku lagi yang jemput. Kamu jangan pulang duluan," pesan Aron yang diangguki pelan oleh Aizha. Setelahnya mobil Aron bergabung kembali ke jalan raya dan menghilang di ujung perempatan.

Langsung saja Aizha memasuki lobby perusahaan dengan hati yang merasa was-was. Sejak kakinya menapak di keramik lantai dasar, jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Tubuhnya juga seperti mengeluarkan udara panas ketika ia bergabung dan mengantri di depan lift yang masih tertutup rapat.

Ia tidak tahu bagaimana pendapat orang-orang setelah kabar pernikahan direktur mereka tersebar luas lewat salah satu artikel perusahaan. Artikel pernikahan yang mempelainya tentu bukan Aizha Althea, namun Arumi Ayu.

Aizha berusaha mengendalikan diri sebaik mungkin, menarik nafas dan membuangnya dalam ketukan yang sudah ia tetapkan.

"Aizha."

Suara berat yang sangat dikenal itu membuat seluruh saraf tubuh Aizha menjadi kaku. Aizha tahu orang yang baru saja memanggil namanya adalah Azhar, namun ia terlalu kaku untuk sekedar menyerongkan tubuhnya ke arah kanan demi melihat keberadaan Azhar.

Hanya dengan sepatah panggilan yang didengar, Aizha mampu merasa semakin kehilangan.

"Ikut aku sebentar Aizha, ada yang perlu dibicarakan," ajak Azhar mengambil inisiatif untuk mendekat lebih dulu.

Aizha mundur satu langkah, membiarkan Azhar lewat didepannya kemudian barulah ia mengekori pria itu. Di posisi ini, barulah Aizha sadar kalau sedari tadi Azhar sedang bersama salah seorang teman baiknya. Aizha berjalan beberapa langkah di belakang dua pria seumuran tersebut.

Azhar menuntun Aizha ke kantin perusahaan yang sangat sepi karena ini masih begitu pagi. Menginjakkan kaki di lantai kantin membuat memori buruk pertemuan dengan bunda dan Arumi kembali hinggap dalam benak Aizha.

Ia menunduk, menekan kuat perasaan tidak nyaman yang membuatnya kesulitan untuk memandang ke arah sekitar.

"Boleh kan kalau kita di sini?" Suara Azhar terdengar lagi.

Aizha mengedarkan pandangan. Mereka sudah sampai dibagian ujung kantin perusahaan yang jauh dari jangkauan luar. Azhar duduk di salah satu kursi, sementara teman baiknya duduk di meja terpisah. Sengaja memberikan jarak agar Azhar dan Aizha nyaman membicarakan apa yang terjadi pada mereka.

"Ai..," lirih Azhar.

Aizha membuang nafas berat, ia berusaha untuk berani menatap langsung ke wajah yang jujur saja sangat ia rindukan. Penampilan Azhar tidak sesegar biasanya, pria itu nampak lelah dan gusar. Kantung matanya menggelap seperti kekurangan tidur berhari-hari.

Not Endless Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang