41

299 49 44
                                    

Tidak pernah terbayangkan olehnya sebelum ini kalau ia akan terbangun di pagi hari sambil menikmati pemandangan yang luar biasa indah dari pahatan wajah pria yang kini menjadi suaminya. Masih di atas tempat tidur dan diselimuti selimut tebal, juga hangatnya pelukan Telaga pada pinggangnya, Aizha membuka mata dengan perasaan senang.

Masih melekat kuat dalam ingatannya bagaimana cara Telaga membawanya ke kamar ini. Dan itu sukses membuat pipinya memanas dan bersemu merah muda.

Tenaganya terlampau kuat sehingga ia dengan mudah mengangkat Aizha, seolah bukan beban yang harus dipertimbangkan.

"Tidur lagi."

Aizha terkesiap saat suara dan nafas hangat Telaga menyapa sepanjang ceruk lehernya. Ya, posisi ini bukan bagaimana Aizha tenggelam ke dalam pelukan Telaga, namun sebaliknya. Telaga lah yang mencoba menenggelamkan diri pada kecilnya tubuh sang istri.

"Sayang, tidur." Suaranya serak dan berat, nafasnya hangat dan menggelitik seluruh saraf leher Aizha.

Mendapati tak ada jawaban, tangan Telaga yang berada di pinggang ramping Aizha perlahan berpindah menuju punggung atas sampai tengkuk belakangnya. Mengelus dan mengusap dengan gerakan melingkar yang mana sukses membuat sekujur tubuh Aizha merinding.

"Mas..."

"Hm?" Elusannya tidak berhenti, tampaknya masih ingin berlama-lama di bagian punggung telanjang Aizha. "Kenapa, Ais?" Dengan lamban, kepala Telaga terangkat dari ceruk leher Aizha, dan kini Telaga mensejajarkan kepala mereka di atas bantal.

Mempertemukan tatapan antusias bercampur lelah, kepala Telaga maju dan mencuri kecupan ringan di atas bibir menawan Aizha. Aizha tidak bisa bergerak, batinnya berperang untuk merasa malu. Namun kemudian ingatannya kembali menyadarkan, bahwa tidak apa-apa mendapatkan perilaku Telaga yang seperti itu karena mereka sudah sah sekarang.

Telaga mengangkat tangannya dari tengkuk belakang Aizha. Dan ia menjulurkan jemari di sepanjang garis hidung mancung yang kecil milik wanitanya. Aizha terpejam, menikmati sentuhan kasih sayang yang lagi-lagi membuatnya merasa ia membutuhkan itu selamanya. Membutuhkan Telaga seumur hidupnya.

Takdir tuhan selalu membuat tercengang, tapi yang satu ini benar-benar menciptakan syukur tanpa ujung.

"Kamu cantik." Telaga mengecup dahi Aizha dalam tempo sedang. "Dan...milikku." Ibu jarinya mengelus pipi Aizha dengan gerakan yang teramat lembut sampai Aizha terbuai. "You're mine, Aizha Althea Labdajaya."

Mendengarnya, mata Aizha perlahan terbuka dan sebulir air mata menetes dari ujung matanya. Membuat Telaga tersentak samar, dan langsung menjulurkan jemari untuk menghapus jejak air tersebut. Diraihnya Aizha ke dalam pelukan, diciumnya puncak kepala wanita tersebut berulang kali, kemudian Telaga kembali memberi usapan menenangkan di punggungnya.

"Kamu nangis..," tutur Telaga dengan suara yang masih sama seraknya. "Maaf—"

"Enggak." Aizha membalas pelukan Telaga dengan sama erat. Tubuh keduanya yang tidak dibaluti pakaian, menempel rapat tanpa jarak. "Jangan minta maaf, Mas, jangan. Kamu memberikan kebahagiaan, lantas apa yang salah?"

"But, you crying," gumam Telaga di telinga Aizha.

Aizha menarik nafas panjang di dada polos Telaga yang keras. "Cause i'm too happy," bisik Aizha.

Bahu Telaga kehilangan ketegangannya setelah mendengar ucapan pelan Aizha. Ia beralih untuk mengistirahatkan kepalanya di sepanjang pundak Aizha, mengecup dengan bibirnya seolah-olah apapun yang ada dalam tubuh Aizha adalah sesuatu yang begitu berharga.

Lagipula, Aizha adalah miliknya. Yang akan ia jaga, dalam setiap hela nafas setelah ini.

Mereka tidak berpindah di posisi itu sampai keduanya kembali tidak terjaga. Sampai pagi berubah siang, dan siang menjelang sore.

Lagi-lagi, Aizha-lah yang membuka matanya pertama kali, kemudian menyadari kalau dirinya sedikit agak lemas hasil pergumulan di malam sebelumnya. Ditambah, perutnya benar-benar kosong sekarang. Ia ingin keluar dari selimut, namun saat kedua matanya mengintip apa yang ada dibalik selimut tersebut, dengan cepat Aizha membuang pikiran untuk keluar dari sana.

Tidak ada sehelai benang pun, dan Aizha baru menyadari itu sekarang.

Berulang kali Aizha melirik Telaga yang masih terpejam. Dan bertanya-tanya, apakah kondisi Telaga serupa dengan kondisinya sendiri. Menelan ludah agak payah, Aizha mencoba bergeser. Tangan besar yang berada di atas perutnya pun terlepas. Yang sialnya, berhasil membangunkan Telaga.

Mata tajam yang meneduhkan itu perlahan terbuka. Mencari keberadaan Aizha di sebelahnya, lalu tampak lega karena menemukan Aizha belum berpindah.

"Udah sore..," cicit Aizha menarik selimut lebih tinggi untuk menutupi tubuhnya.

Telaga terdiam, memproses sikap Aizha. Lalu sedetik setelah itu, ia terkekeh dan menggaruk pangkal hidungnya, seolah-olah ada sesuatu yang gatal di sana.

"Ais—"

"Tutup dulu mata kamu," pinta Aizha tanpa basa-basi, nada paniknya membuat Telaga mengernyitkan dahi. "Ak—aku...mau ke kamar mandi dulu."

Menyadari kalau sang istri sedikit kesulitan, maka Telaga pun mengabulkan permintaannya. Matanya setengah terpejam ketika bibirnya berkata, "Pintunya jangan dikunci, nanti aku masuk."

Mata Aizha membelalak lebar. "Mas—"

"Jangan dikunci pokoknya." Telaga berjuang untuk tidak melepaskan tawa, sikap Aizha saat ini benar-benar menghancurkan seluruh akalnya karena terlalu menggemaskan.

Apa yang membuat Aizha malu dan panik? Padahal Telaga berhasil merekam jelas seluruh pahatan tubuhnya tadi malam. Telaga sudah merasakan apapun yang ada di tubuh Aizha tadi malam.

Malam yang begitu sempurna, untuknya, dan mungkin...untuk Aizha.

"Kenapa nggak menunggu aku selesai dulu baru kamu masuk?"

"Kalau kamu selesai, terus ngapain aku masuk?" Matanya terbuka lagi. Ada sedikit ekspresi jenaka dalam wajah rupawannya saat menatap Aizha.

"Mandi sendiri-sendiri aja kan bis—"

Telaga menggeleng. "Sekarang aku bakalan tutup mata lagi, jadi gunakan waktumu untuk lari ke kamar mandi. Atau, kalau mau, aku bisa bawa kamu ke kamar mandi."

"Enggak!" Aizha jelas merasa panik, ditariknya selimut semakin banyak. Sampai-sampai kaki Telaga mulai terlihat, kemudian paha, lalu...

Aizha berhenti menarik selimut. Tubuhnya bergetar aneh melihat pemandangan tersebut. Hawa dingin langsung membuat Telaga menggeram, tapi matanya tetap terpejam rapat, untuk sekedar menghargai permintaan Aizha.

Otak cerdas Aizha mengatakan kalau melarikan diri ke kamar mandi hanya akan berakhir sia-sia. Karena pada akhirnya, Telaga tetap akan menatap tubuhnya yang tidak ditutupi benang apapun.

"Ayo sekarang, Ais." Telaga bersuara lagi.

Yang membuat Aizha kembali merinding. "Mas."

"Kenapa, sayang? Berubah pikiran?"

Aizha berdeham, menetralkan tenggorokannya yang terasa sangat kering. "Kamu menyeramkan ternyata."

Lalu Telaga tertawa geli. "No, aku cuma menikmati momen yang ada."

"Ta—tapi..."

"Aku gendong aja, ya?" Dengan mata yang sudah terbuka, Telaga merubah posisi menjadi duduk. Bergerak mendekati Aizha tanpa aba-aba, dan membuat Aizha berjengit terkejut.

Menyibakkan selimut yang masih digenggam erat oleh Aizha, Telaga langsung meraih punggung dan pahanya untuk ia gendong menuju kamar mandi.

Aizha menahan nafas.

Tuhan...pria ini...luar biasa.


















Selesai























•Ada satu bagian lagi untuk epilog, dan aku mau minta pendapat kalian. Menurut kalian, haruskah aku publish epilog itu, atau aku harus berhentiin kisahnya sampai di sini? Tulis komentar yaaa, aku bener-bener bakalan ikutin pendapat kalian soalnya🥺🙏🏻🫶🏻

Not Endless Love Where stories live. Discover now