23. Tak terduga

225 53 40
                                    

Usai berdebat singkat karena Telaga bisa-bisanya berulang kali salah menyebut kode akses apartemen, akhirnya Aizha berhasil membantu Telaga untuk melewati langkah terakhir agar tidurnya tetap aman di dalam kamar yang nyaman.

Aizha mengusap peluh yang bertumpuk di dahinya.

"Aku mau telepon Mbak Fasia," katanya dengan nafas berkejaran. "Tubuhmu mulai demam, Telaga."

Sang pria hanya bergumam tak jelas dalam pejam matanya.

Aizha mencari keberadaan tasnya sendiri. "Jangan bilang tertinggal di dalam mobil Telaga?!" rutuknya sebal.

Ia kembali memutar otak agar dapat menghubungi Fasia tanpa perlu turun ke lantai bawah tanah hanya untuk mengambil tasnya yang tertinggal di dalam mobil. Aizha sudah sangat lelah karena memapah Telaga menuju lantai teratas gedung apartemennya ini.

Aizha baru tahu kalau Telaga ternyata menempati salah satu dari tiga unit penthouse di lantai lima belas. Memapah pria itu selamat sampai ke atas sini bukan perkara mudah, jadi Aizha tidak akan sudi turun lagi hanya untuk mengambil ponsel.

Wanita itu menarik nafas panjang kemudian kembali ke dalam kamar di mana Telaga sedang berbaring lengkap dengan pakaian kerjanya. "Hapenya di mana ya..,' gumam Aizha mengedarkan pandangan.

Ia menatap tubuh Telaga yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Dahinya dipenuhi bulat-bulatan keringat, bagian rambut depan Telaga juga mulai basah dan menempel di kulitnya. Untuk sesaat, Aizha merasa tersihir menatap wajah damai seorang pria yang sudah menjadi atasannya kurang dari dua bulan.

Aizha tidak pernah menyangka kalau dirinya akan berakhir menjadi bawahan dari salah satu teman dekat mantan kekasihnya.

"Alani..."

Tatapan Aizha kembali ke wajah tampan Telaga. Pria itu sedang mengigau dalam tidurnya.

"Maaf, Alani..."

Hanya mendengar lirihannya, Aizha sudah tahu bahwa Telaga masih sangat kehilangan dengan apapun yang terjadi antara dirinya dengan Alani.

"Sekarang aku siap menikah, tapi kenapa kamu...nggak ada..."

Tatapan Aizha berubah melunak, tangannya terjulur merapikan rambut Telaga yang basah.

"You're hurt a lot," bisik Aizha mengelap jejak keringat Telaga.

Saat Aizha menarik tangannya, mata Telaga yang awalnya terpejam tiba-tiba terbuka perlahan. Dalam keheningan malam, keduanya mempertemukan tatapan penuh luka. Baik Telaga maupun Aizha, tidak ada yang berniat untuk memutuskan jalin tatapan itu.

"Aku butuh hape untuk menelepon Mbak Fasia," cicit Aizha mundur beberapa langkah, tapi Telaga menangkap tangannya. Membuat Aizha terdiam dengan mata tertuju pada lengan yang berada dalam cekalan kuat Telaga.

"Apa kamu..."

Kedua alisnya menyatu, ia menunggu kata selanjutnya yang ingin Telaga katakan.

"...pernah menyesal?"

Mata Aizha berkedip berkali-kali.

"Menyaksikan pernikahan Azhar, apa kamu nggak menyesal?"

Mungkin orang-orang berharap dirinya menyesal, dan ia pun berharap yang sama. Tapi satu-satunya hal yang membuat Aizha menyesal di dunia adalah ia sedikitpun tidak merasakan penyesalan walau melihat dengan jelas bagaimana pria yang sudah bersamanya bertahun-tahun, berakhir di pelaminan namun bukan untuk menjadi suaminya.

"Aku merasa lega," ucap Aizha membuang wajahnya ke arah pintu kamar. "Pernikahan Azhar juga membuatku sadar kalau dia lebih baik bersama wanita lain daripada diriku sendiri."

Not Endless Love Where stories live. Discover now