05

266 28 5
                                    

Bagus tersenyum jumawa kala dia datang disambut oleh sang istri; mantan istri.

Bibi Ijah, pelayan setia mereka berdua, sudah memberi tahu Bagus tentang yang terjadi di dalam rumah selama kepergiaannya.

Dari mulai Rai yang menolak satu kamar, hanya karena masalah bau mulut yang bisa diatasi dengan sikat gigi.

Sampai kemudian Rai membuat Alan lelah karena merombak kamar tamu secara besar - besaran.

Membuat pria itu letih dan tidak dapat bangkit dari kasur, sehingga Rai hingga sekarang masih saja tidur di kamar utama.

Bagus tahu itu, kekasih hatinya tidak akan mudah berpaling pada pria lain, meski pria itu adalah suami barunya.

Bagus mengangkat tangannya. Menyodorkan punggung tangannya pada Rai.

Menyuruh wanita itu mencium tangannya, laksana seorang suami yang semestinya disambut sang istri.

Tapi Rai menolak tangannya dengan tegas.

Menghempaskan tangannya -yang masih tersemat cincin pernikahan mereka berdua.

Bagus tertegun kala tangannya terhempas ke samping tubuh.

Senyum Bagus melebar kala ia rasakan pelukan hangat dari kekasih hati.

Rai memeluk erat tubuh kekar Bagus.

Menahan air mata yang memaksa berdesakan ke luar.

Rai berpikir Bagus meninggalkannya sendiri di rumah megah.

Menjauh dari hidupnya.

Rai amat ingat betapa Bagus sering merasa rendah diri.

Semalaman ia gusar memikirkan Bagus.

Takut pria itu bersembunyi jauh dari jangkauannya.

"Jangan pergi..." pinta Rai dengan suara yang serak.

Bagus semakin melebarkan senyumnya.

Pria itu melirik sinis seseorang yang mengintip dari teras atas.

"Iya, Sayang.. Aku hanya melakukan perjalanan bisnis. Beneran.." balas Bagus.

Mendengar kalimat 'perjalanan bisnis', Rai langsung menarik masuk tubuh pria terkasihnya.

Membuka paksa pakaian yang melekat di tubuh Bagus.

Memeriksa tiap inci tubuh atletis pria itu.

Rai amat tahu, apa saja yang terjadi dalam negosiasi dua perusahaan.

Hal kotor seperti memberikan wanita adalah hal yang lumrah terjadi dalam kalangan mereka.

Kadang Rai juga sama cemasnya seperti wanita kebanyakan di luaran sana.

Takut hati suaminya goyah, disuguhkan ikan mentah yang menggoda.

Rai mengendurkan otot - otot tubuhnya yang menegang.

Hatinya lega.

Tidak ada tanda - tanda wanita lain pada tubuh Bagus.

Senyum samar tersemat pada bibir tipis Rai.

"Kamu segitu khawatirnya, hm?" goda Bagus.

Dengan bagian atas tubuh yang terbuka, Bagus memeluk tubuh Rai.

Amat erat.

Gerakan jari lentik Rai tentu saja mematik panas dalam raga Bagus.

Raga yang dua hari belakangan tidur ditemani sepi dan dingin.

Alan yang hendak datang ke ruang makan untuk makan malam, mengurungkan niatnya.

Kakinya membeku di tempat.

Meski belum hadir cinta di dalam hati, Alan tidak senang ketika ada seseorang yang mengganggu miliknya.

Walau...

wanita itu tidak terlihat terganggu!

Alan tak terima dengan kemesraan yang dipertunjukkan keduanya tanpa tahu tempat.

Alan mengepalkan tangannya.

Bersumpah akan mendisiplinkan sang istri. Segera.

Ia melangkah besar - besar.

Meninggalkan keduanya yang masih dimabuk asmara.

Asmara yang harusnya membara di antara sepasang pengantin baru!

"Sudah. Ga enak dilihat suamimu," celetuk Bagus mendorong pelan raga Rai yang melekat pada tubuhnya.

"Suami apaan," gumam Rai malas.

Terpaksa menjauhi tubuh kekasih hatinya.

Matanya mendelik kesal pada Alan yang mengganggu.

"Jangan begitu. Kalian sudah ijab kabul kan? Dua hari lalu," ucap Bagus memperingati.

Pria itu menuntun Rai untuk duduk di meja makan.

Ruangan yang baru saja ditinggalkan Alan.

"Ck. Sebenarnya apa sih mau Mas ngambil orang kek gitu?" gerutu Rai.

"Orang kek apa, hm?" tanya Bagus lembut.

"Dia itu pesaingmu dalam perebutan proyek rekontruksi jembatan di kota C, kan? Dia kalah dan akhirnya gulung tikar. Kenapa kamu memilih orang seperti dia?" kesal Rai tak terima.

Ayah dari anaknya adalah orang seperti dia!?

Rai dua hari belakangan, di samping sibuk mengerjai Alan, dia juga sibuk mencari latar belakang Alan.

Awalnya dia tidak peduli kenapa harus menikahi pria yang ditunjuk kekasih hatinya.

Namun saat Bagus pergi sesaat setelah dia menikahi pria pilihannya, Rai tidak bisa tenang.

Rai mengambil langkah cepat untuk mengetahui alasan di balik sikap kekasihnya, yang pergi mengambil proyek besar tanpa diskusi terlebih dahulu dengannya.

Bagus selalu berdiskusi dan meminta pendapat pada Rai.

Sebesar dan sekecil apa pun masalahnya.

Ada banyak proyek yang disodorkan orang pada perusahaan suaminya; mantan suaminya dan Bagus selalu meminta Rai untuk memilih proyek yang dia inginkan.

Seperti yang lalu, saat Rai dimintai tolong oleh Bagus dalam bisnis properti yang akan diambilnya pada tahun ini, Rai memilih proyek pembangunan villa di atas gunung.

Mereka lantas berbulan madu di dalam villa, satu bulan sebelum peresmiannya.

"Sebenarnya Alan yang menang. Hanya saja di detik terakhir dia kalah," kata Bagus santai.

"Detik terakhir?" beo Rai terheran - heran.

Seharusnya dalam lelang tender, tidak mungkin sebuah perusahaan tidak mempersiapkan diri sampai garis akhir.

Lelang yang dimaksud pun sebuah proyek besar.

Mana mungkin perusahaan yang tidak profesional, dapat masuk dalam jajaran persaingan perusahaan besar.

Bagus enggan menjawab atas rasa penasaran Rai, yang tercetak jelas di wajahnya.

Bagus menyantap dengan lahap hidangan yang diberikan Rai.

Makanan hambar yang selalu mereka berdua sukai.

Keduanya menjalani makan malam harmonis. Melupakan seseorang yang sudah bau gosong dari segumpal daging dalam dadanya.

••• ••• ••• ••• ••• ••• ••• •••

ꦧꦺꦂꦱꦩ꧀ꦧꦸꦁ​ ꧉​꧉​꧉​

© Al-Fa4 | Dua Suami

Dua SuamiWhere stories live. Discover now