04

42 1 0
                                    

Satu jam kemudian, makanan kesukaan dia dan suaminya telah selesai dimasak.

Terhidang indah di atas meja.

Rai berdecak senang.

Tak sabar untuk melahap semua yang ada di atas meja.

Atensi Rai berpindah dari tengah meja, kala suara pintu kamar terbuka lebar.

Sosok tegap muncul dari balik pintu.

Alan...

Rai menepuk pelan keningnya.

Pria yang sekarang menjadi suaminya bukanlah Bagus, akan tetapi Alan.

Pria yang tidak pernah dekat dengannya.

Yang dia tidak tahu apa pun tentang pria ini.

Apa kesukaan pria ini!?

Pria itu mengangguk singkat pada Rai.

Tiada interaksi yang dipenuhi romansa di antara mereka.

Dengan baju yang telah berganti, Alan pergi menuju pintu utama.

"Apa makanan kesukaannya?" gumam Rai menatap lauk pauk di atas meja.

Dia memutuskan untuk tidak menambah menu.

Toh semuanya makanan yang sehat.

Sayur mayur dengan sedikit garam sebagai penyedap rasa.

"Hai, Sayang..." sapa Bagus.

Rai tersenyum kecil ketika Bagus mendaratkan ciuman pada keningnya.

Bagus duduk di kursi paling ujung.

Masih bertindak sebagai kepala keluarga di rumah ini.

Karena Alan tak kunjung datang, dia dan Bagus makan terlebih dahulu.

"Aku akan ke wilayah barat. Mengurus proyek villa yang kita buat. Kamu ... baik - baiklah di sini," ucap Bagus.

Menahan asa pada akhir kalimat.

Rai mengeratkan pegangannya pada sendok dan garpu yang dia genggam.

Perkataan Bagus menghujam jantungnya.

Haruskah seperti ini!?

Dia tidak mencintai Alan.

Hanya pria di depannya, yang dia cintai.

Seusai makan, Rai mengantar Bagus yang ternyata sudah siap sejak pria itu beranjak ke lantai atas pada pertengahan pesta.

"Kamu bahkan tidak membutuhkanku lagi..." gumam Rai menatap koper yang tengah diseret pelayan pribadi Bagus.

Bagus menggeleng. Dia menangkup wajah Rai.

Menatapnya lembut.

"Aku menyamakan isi koper dengan baju - baju yang kamu packing tujuh bulan lalu. Lihatlah.."

Bagus menunjukkan isian koper yang berisi berbagai kemeja dan celana, yang sama dengan semua yang Rai packing tujuh bulan lalu.

Saat dia harus pergi untuk melakukan perjalanan dinas, demi memenuhi kewajibannya sebagai seorang bangsawan —yang deretnya begitu dekat dengan Keluarga Inti Sultan Yang Agung.

Bagus sangat ingat semuanya. Karena Rai sendiri yang mempacking pakaian di depan wajahnya dan mengingatkan tentang urutan pakaian yang harus dia kenakan di seberang pulau.

Andai dia seorang suami yang sempurna, tidak perlu ada pria lain di dalam rumah tangga mereka.

Dan mereka bisa bersama - sama memantau villa yang sedang mereka bangun.

"..mas," gumam Rai sesegukan.

Tangan rampingnya mengeratkan pelukan pada tubuh kekar Bagus.

Dia takut sang kekasih pergi jauh darinya.

Takut kali ini bukan hanya sekadar berdinas.

"Tenang. Kamu baik - baiklah di rumah. Aku pergi dua hari saja. Tidak usah cengeng begini," ledek Bagus menoel dagu Rai.

"Ish!" Rai menekuk wajahnya dan memukul dada Bagus.

Bagus menangkap tangan Rai pada pukulan kedua.

Mata mereka saling mengunci. Kemudian bersama tertawa pelan.

Seseorang yang baru sampai di depan gerbang rumah, menatap datar interaksi mereka.

Dia melengos. Berjalan menuju pintu samping bangunan megah itu.

Rai melambaikan tangan pada kekasih hatinya yang pergi menjauh. Tanpa tahu ada seseorang yang memergoki keintiman mereka.

Rai merenung dalam diam, mengingat hari ini adalah akhir pekan.

Biasanya mereka jalan - jalan santai bersama.

Terkadang melakukan dinner romantis di berbagai daerah wisata.

Sekarang, kekasih hatinya pergi seorang diri.

Dan dia harus masuk untuk menyambut suami barunya.

"Loh. Bibi kenapa masak lagi?" tanya Rai ketika mendapati dapur kembali ngebul, sedang di meja makan masih tersedia lauk pauk, yang cukup untuk satu orang.

Sengaja Rai sisakan untuk Alan agar pria itu tidak kelaparan.

Karena Alan sama seperti dirinya dan Bagus, yang sama sekali tak makan sedari pagi.

"Aku yang meminta pada bibi. Bukankah aku harus bertenaga kuat malam ini?" ucap datar Alan.

Rai mendengus. Dia mendekat pada pelayannya yang sedang memasak.

Sedikit mencicip untuk memastikan rasanya.

Walau hanya istri sementara, dia akan selalu memenuhi tanggung jawabnya.

"Uhuk.. uhuk.. rasanya terlalu kuat," komentar Rai.

Tenggorokan Rai tak kuat dengan makanan kaya rasa itu. Terburu tangannya meraih gelas dan menenggak isian di dalamnya.

Bibi tertunduk takut - takut. Dia tahu sang majikan tidak terlalu suka makanan dengan banyak cita rasa.

"Buat ulang, Bi. Masakan macam apa ini? Terlalu menyengat!" titah Rai.

"Aku yang meminta dibuatkan seperti itu. Makanan yang hambar bukan kesukaanku," timpal Alan.

Rai mengulum senyum kala mendengar penjelasan Alan.

Dia berdiri dengan pongah di depan Alan.

"Kalau begitu kita tidak usah bermalam hari ini. Aku tidak menyukai aroma yang menyengat," balas Rai.

Wanita itu naik ke kamar utama.

Kamar yang masih ditempati Bagus dan dirinya, sebelum Alan datang.

Keesokan malamnya, Rai kembali menolak untuk satu kamar dengan Alan, dengan dalih tak suka kamar tamu yang begitu monoton.

Rai mengintip sela pintu yang terbuka.

Tampak seonggok tubuh tertidur di atas karpet.

Pria itu telah terlelap lelah, usai sibuk bebenah kamar mereka atas permintaan Rai.

Rai meminta konsep tamu yang bernuansa pastel menjadi hitam abu - abu dengan menambahkan peralatan modern di dalamnya.

Alan mengerjakan semua seorang diri, karena Rai dan Bagus sudah memindahkan semua orang ke rumah mereka yang lain, untuk menjaga rahasia Pernikahan Kedua Rai agar tetap aman.

Kecuali sang bibi yang sudah lama mengenal Rai dan Bagus. Juga pelayan Bagus yang telah mendapat kepercayaan Bagus.

Semua orang telah pergi.

Menyisakan Rai, Alan, dan sang bibi di dalam rumah.

••• ••• ••• ••• ••• ••• ••• •••

ꦧꦺꦂꦱꦩ꧀ꦧꦸꦁ​ ꧉​꧉​꧉​

© Al-Fa4 | Dua Suami

Dua SuamiWhere stories live. Discover now