06

58 3 1
                                    

Rai bersantai sejenak di ruang keluarga bersama Bagus yang juga bersantai di sisinya, setelah dua hari penuh bekerja bagai kuda.

Tangan pria itu memainkan rambut Rai yang basah oleh sisa air bilas keramasnya.

"Haa...."

Bagus menghembuskan napas pendek - pendek.

Hampir saja dia dan Rai melakukan tindakan di luar batas.

Beberapa saat yang lalu...

"Karena kamu sudah melihat tubuhku, apa aku boleh memeriksa tubuh pengantin baru ini? Hm?" pinta Bagus. Setengah bercanda. Setengah serius.

Bagus percaya pada aduan Bibi Ijah.

Hanya saja, khawatir tetap menelusup dalam dadanya.

Bisa saja Bibi Ijah lengah dan kedua insan di rumah ini melakukan hal, yang seharusnya mereka lakukan.

Bagus masih tak rela.

Rai tercenung kala mendengar julukan pengantin baru yang diucapkan kekasih hatinya -julukan yang memang tersemat pada dirinya.

Ada rasa bersalah pada pujaan hati di hadapannya.

Walaupun semua ini adalah hasil kesepakatan mereka berdua, Rai tetap merasa seperti sedang mengkhianati Bagus, dengan menikahi pria lain.

Dalam rumah yang diberikan pria itu.

"Baik.." jawab Rai.

Patuh.

Rai membuka bajunya.

Dress yang tertutup oleh lima kancing di bagian dada, luruh ke bawah ketika Rai membuka kelima kancingnya dan meloloskan lengan dress yang pendek.

Rai berputar - putar di depan Bagus yang mematung.

Rai nya masih tak berubah!

Mata Bagus memandang gelap raga yang tak pernah berubah sejak awal mereka kembali berjumpa.

Mereka berdua bukan orang kolot.

Mereka juga melakukan beberapa hal yang berkesan, sebagai pasangan kekasih yang saling mencintai.

Hanya saja mereka tidak bertindak di luar batas.

Atas berbagai pertimbangan, mereka selalu menahan diri sampai mereka terikat oleh ikatan suci yang diakui oleh langit dan bumi.

Tapi setelah mencicipi nikmat dunia -yang mana sudah berbulan - bulan tidak ia merasakan, bagaimana bisa naf su di dalam diri tertahan begitu saja?

Rantai kuat dalam kepercayaan yang mengikat, perlahan lolos tanpa paksaan.

Bagus melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Rai.

Mereka bersitatap penuh cinta.

Keduanya mulai menyatukan kening mereka dengan tatapan yang tak terputus.

Berlomba menatap ke dalam mata masing - masing. Menilai kadar cinta pada tatapan mereka.

Rai hanya mengenakan dal ama nnya.

Menampilkan gundu kan dan lekungan yang indah.

Bagaimana bisa Bagus tidak tergoda oleh pemandangan indah ini?

Tangan berotot Bagus mengusap cup yang tumpah ruah isinya.

Turun menjejaki tubuh polos Rai.

Rai pun men de sah pasrah.

Dia juga rindu pada kehangatan yang diberikan Bagus.

Hampir saja mereka melakukan hubungan selayaknya suami istri, andaikan Bibi Ijah tidak mengetuk pintu dan mengirimkan pesan bila ayah Bagus menelepon ke telepon rumah.

Menanyakan tentang proyek yang mendadak diterima perusahaan mereka.

Bagus dan Rai pun saling melepaskan diri.

Rai bergegas pergi, membersihkan diri.

Sementara Bagus menerima telepon dari ayahnya.

Mendengar tanpa menjelaskan.

Pikirannya terus terbayang, kenikmatan yang belum dia rasakan.

Akhirnya ayah Bagus memutuskan telepon, tanpa mendapat jawaban dari putranya.

Sekarang Rai dan Bagus berkumpul lagi. Berdua di depan televisi.

Seolah hanya ada mereka berdua.

Mengabaikan sosok yang kamarnya tak jauh dari tempat mereka berdua.

Kala bulan beranjak naik ke langit, Rai memutuskan tidur untuk menjaga tubuh mudanya

Rai tidur di kamar tamu yang tidak ditempati Alan.

Rai sudah bangun, rapi, dan wangi sebelum matahari muncul di langit Timur.

Makanan telah tersedia di meja, dibuatkan oleh Bibi Ijah dan beberapa orang baru, yang datang semalam dan sebagian datang pada pagi - pagi buta.

Beberapa di antaranya ada warga sekitar, yang meminta dicarikan pekerjaan.

Kepalang tanggung Rai meng iya kan di pesta pernikahan, maka dia tempatkan mereka bekerja di rumahnya.

Menggantikan para pelayan pemberian kedua orang tua Rai dan Bagus.

Rai terpaksa masuk ke dalam kamar Alan, guna menghindari pertanyaan para tetangga.

Sepertinya dia harus memindahkan kamar Alan ke atas, agar privasi mereka tidak terganggu -sebelum Rai memutuskan harus ditempatkan di mana para tetangganya.

Selama ini Rai tidak bercengkerama terlalu dalam dengan warga sekitar.

Dia tidak tahu bagaimana sikap mereka.

Dapatkah mereka dipercaya atau kah tidak.

Dia akan menilai mereka terlebih dahulu.

Alan menatap datar perempuan yang tahu - tahu duduk di samping kasurnya.

Tanpa berkata - kata, Alan pergi membersihkan diri.

Rai yang tidak bisa diam, akhirnya membuka lemari dan memilah milih pakaian yang pantas untuk pria berkulit cokelat itu.

Alan menerima pelayanannya dengan baik.

Rai memakaikan kemeja dan dasi di tubuh Alan, sedangkan Alan terus menatap lekat wajah cantik Rai.

Kepalanya liar membayangkan kejadian semalam, ketika perempuan ini dan mantan suaminya keluar dari kamar dengan rambut yang basah.

Alan tahu dia hanya lelaki yang dikorbankan supaya Bagus dapat menikahi istrinya lagi.

Hanya saja, egonya terusik.

Dia tidak suka miliknya diganggu.

Apalagi istri. Sosok yang sangat dekat di hati, seharusnya.

Meski Rai tak mengenal Alan, Alan sangat mengenali Rai.

Wanita yang keras kepala, tapi mampu menempatkan hati dan logika pada tempatnya.

Sekalinya percaya pada sesuatu, tidak akan bisa digeser pendapatnya.

Alan mengikis jarak di antara mereka.

Dia ingin melihat lebih dekat wanita yang menjadi istrinya.

Apakah harus dia pertahankan Rai?

"Rai! Rai! Di mana dasiku?" teriak Bagus dari lantai atas.

Jarak yang terkikis kembali terbentang.

Rai mendorong jauh tubuh Alan.

"Kenapa harus kamu? Bukankah ada banyak pelayan di sini?" desis Alan.

Sang pria mulai menampakkan kuasanya.

••• ••• ••• ••• ••• ••• ••• •••

ꦧꦺꦂꦱꦩ꧀ꦧꦸꦁ​ ꧉​꧉​꧉​

© Al-Fa4 | Dua Suami

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 15 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dua SuamiWhere stories live. Discover now