2. Ngamen di Sekolah

59 8 0
                                    

Kagak di rumah, kagak di pondok, hidup gue kenape kagak lepas dari hukuman, yak?

-Basmah-

◇◇☆◇◇


Gedung sekolah pesantren Basmalah terbagi menjadi lima. Tingkatan TK berada di ujung utara lapangan pesantren, MI di bagian timur satu gedung dengan pondok putri, Mts di sebelah barat berbatasan dengan sungai santri putra, MA di bagian selatan berbatasan langsung dengan pagar masyarakat, sedangkan gedung SMK di bagian utara. Tepat di belakang Masjid Jami'.

Pagi hari berfungsi sebagai sekolah formal. Sedangkan selepas dzuhur hingga malam untuk madrasah.

Gedung TK ditempati murid Ibtidaiyah kelas enam A dan B, gedung MI kelas satu sampai kelas lima putri, gedung MA ibtidaiyah putra, Mts menjadi tempat pembelajaran murid Tsanawiyah putra dan putri sedang gedung SMK sebagai kampus bagi yang melanjutkan jenjang sarjana.

Sebagian besar santri Basmalah melanjutkan pendidikan formal. Hanya sebagian kecil yang tidak. Entah itu karena ekonomi tidak mencukupi, tidak mendapat restu orang tua, atau karena keinginan sendiri tidak mau sekolah.

Kegiatan pagi mereka berganti dengan kajian kitab yang dinamakan dengan istilah imtiyah. Dimana pelajarannya di pegang pengasuh dan ustadzah tugasan. Mengaji selama tiga jam dengan 2 jadwal kitab setiap harinya. Libur hari jum'at dan ahad. Sebab musollah tempat kajian di pakai untuk kegiatan wajib lain.

"Wah enak bener ya. Kegiatannya cuma 3 jam. Sisanya buat bersantai." Celetuk Basmah mengangkat kaki kanan ke atas bangku.

Sikunya menempel di lutut. Jemarinya berhitung. Membandingkan waktu belajar di formal formal dengan jadwal imtiyah.

Hari itu siswa MA Al-Fatihah masih menjalani Masa Orientasi Sekolah. Pada saat jam istirahat Basmah tidak beranjak dari bangku. Menurutnya sudah terlanjur enak duduk santai disana dibanding kembali ke pondok.

Pada jam istirahat semua santri putri harus pulang ke pondok untuk menghindari kontak terlalu lama dengan santri putra di area sekolah. Agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Sayangnya bukan Basmah namanya kalau tidak bikin rusuh dimanapun kaki berpijak. Kehadirannya memberi nuansa berbeda bagi setiap orang yang bertemu, berteman, bahkan hidup satu atap dengannya.

Dia seperti emogi. Dimana tawa, tangis, kesal, marah, senang, berbaur menjadi satu. Setiap tingkahnya membuat orang-orang di sekitarnya tanpa sadar menepuk jidat.

"Eh Bid, ajarin gue bahasa Madura, dong. Masa iya cuma gue yang kagak paham orang-orang pada ngomong apa." Basmah membuka bungkus permen. Sebelum mengunyah tak lupa membagikan pada Abidah dan Nazila. "Ya kali gue cuma jadi pendengar. Mana kayak orang dungu pula." Lanjutnya.

Abidah tersenyum geli. Dia baru sadar kalau Basmah anak orang kota yang tidak pernah tau pulau Madura dan segala keunikannya. Menurutnya inilah saatnya memperkenalkan bahasa dan budaya Madura pada gadis Jakarta yang dititipkan padanya.

"Belajarnya nanti aja di pondok ya. Bentar lagi masuk. Nanggung."

Benar saja. Tak sampai lima menit dari obrolan mereka, para murid sudah berdatangan. Masuk dan duduk di bangku masing-masing. Di dadanya bertengger kalung yang terbuat dari kertas karton bertuliskan nama dan alamat masing-masing.

Mayoritas murid baru berasal dari Madura yang tersebar di seluruh pelosok desa di Sampang dan Bangkalan. Hanya Basmah satu-satunya santri yang berasal dari Jakarta. Fenomena langka bila ada santri berasal dari luar pulau Madura. Mengingat pondok Basmalah hanyalah pondok kecil di tengah perkampungan.

Basmalah Cinta (TERBIT di AE PUBLISHING)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora