Gerakan Protes dan Penolakan

12 7 0
                                    

Langit sudah gelap, lampu-lampu dari kendaraan, gedung-gedung, dan lampu jalan yang menyala adalah pemandangan di sepanjang jalan Hasan dan Fitri lalui dalam hening.

Setelah salat magrib, keduanya sepakat untuk pulang. Hasil diskusi senja sudah dalam genggaman, tinggal menjalankannya saja nanti di saat orang tua Hasan sudah pulang. Katanya mereka akan pulang besok pagi dan sepertinya weekend kali ini Fitri akan sibuk.

"Jangan lupa lo ajak cewek yang lo suka itu besok. Takutnya besok kita beneran gerak protes sama penolakan." Fitri mengingatkan. Entah sudah berapa kali ia berbicara demikian dalam perjalanan pulang.

Hasan tak berniat menjawab, ia memilih fokus pada jalanan yang ramai hilir mudik kendaraan. Saat lampu lalu lintas menyala merah, Hasan menghentikan motor di samping sebuah mobil.

Manik mata laki-laki itu memperhatikan Fitri melalui spion kanan. Perempuan yang memakai helm kuning itu tampak memperhatikan lampu lalu lintas di atas sana. Hasan akhir-akhir ini baru menyadari bahwa kemungkinan besar perempuan yang duduk di boncengan motornya itu menyukai warna kuning. Sebab, beberapa barang yang dimiliki Fitri kerap berwarna kuning.

Lampu hijau menyala, Hasan segera menarik tuas gas. Melanjutkan perjalanan yang tersisa beberapa kilo meter lagi. Tak ada perbincangan yang berarti dalam perjalanan kali ini, mereka fokus pada pikiran masing-masing.

Keduanya terlonjak ketika memasuki pekarangan rumah Fitri. Adanya ayah dari Hasan bersama ayah Fitri di depan teras rumah membuat jantung Fitri berdetak lebih kencang dari biasanya.

"Kenapa gak bilang kalo ortu lo pulang malem ini?" bisik Fitri saat mereka sampai di pekarangan rumah.

Hasan mengedikkan bahu, tak peduli. "Gue juga gak tau," sahutnya sembari merapikan rambut setelah membuka helm.

Fitri berdesis, bagaimana jika kedua orang tua mereka membahas perjodohan malam ini? Fitri belum mempersiapkan rencananya bersama Althanza jika para orang tua tetap pada kesepakatan.

Semoga semua bisa teratasi, Fitri terus merapalkan kalimat tersebut selama berjalan mendekat pada dua pria yang menyambutnya dengan senyuman.

"Habis dari mana?" tanya Pak Ghozali—ayah dari Hasan yang baru saja berdiri menyambut Fitri.

"Habis makan, Om," jawab Fitri dengan senyum canggung.

Ayah Mansyur dan Pak Ghozali saling melempar tatap dan diakhiri senyum misterius di mata Fitri.

"Sudah salat magrib, kan?" Hasan dan Fitri kompak mengangguk. "Yuk, masuk," ajak Ayah Mansyur, menggiring kedua anak yang baru saja tiba di rumah.

Fitri melesat menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya, sedangkan tiga laki-laki berbeda usia itu memilih berkumpul di ruang makan.

Sebetulnya, kedua orang tua mereka mengajak makan malam. Hasan yang belum lama makan satu porsi sate pun hanya mampu tersenyum saat Bunda Ranti menawarinya makan. Mau menolak, tidak enak hati ketika melihat makanan yang tersaji di atas meja. Alhasil, ia hanya meminta beberapa udang asam manis saja.

Di dalam kamarnya, Fitri langsung menghubungi Althanza. Berjaga-jaga, siapa tahu tebakannya benar jika kedatangan kedua orang tua Hasan akan membahas masalah perjodohan.

"Tan, bantuin gue," ucap Fitri kala sambungan telepon terhubung.

"Lo kenapa? Apa yang harus gue bantu?" Althanza menyahut dengan cepat.

"Bantuin gue buat nolak perjodohan gue sama Hasan. Please, mau, ya?" mohon Fitri dengan suara lirih. Takut jika ada orang yang mendengar suaranya dari balik pintu kamar.

"Caranya?"

"Pura-pura jadi pacar gue. Nanti gue kenalin lo ke ortu," sahut Fitri, dalam hati ia berharap agar Althanza mau membantu dalam masalah ini.

Different Ways ✔️Where stories live. Discover now