Hayu, Gas Aja!

14 5 1
                                    


Setelah isya, Fitri langsung mendatangi kakaknya di kamar samping. Ia ingin mendengar pendapat dari laki-laki yang selalu diporoti uang gajinya selama ini.

Sesampainya di depan pintu kamar yang tertutup, Fitri mengetuknya beberapa kali. Namun, tak ada sahutan membuatnya semakin keras menggedor pintu bercat cokelat tersebut.

"Kak Fikri! Buka, dong, gue mau ngomong!" Perempuan berpiyama merah maroon itu masih terus mengetuk pintu dengan gerakan cepat. "Ih, Kak, buka! Lo di dalem, kan? Masa lo budek?"

"Apaan?"

Fitri tersentak saat pundaknya ditepuk seseorang dari arah belakang. Ia spontan menoleh dengan memegang dada.

"Kaget!" Fitri melotot pada kakaknya. "Gue kira udah di kamar," sambungnya, menatap kakaknya yang masih lengkap memaki Koko dan sarung, baru tiba dari mesjid.

"Mau apa? Gue belum gajian, Dek," kata Fikri. Ia sudah berhati-hati jika adiknya itu akan meminta uang dan mengajaknya jajan malam ini.

Fitri menggeleng. "Gak, bukan mau malak. Mau minta pendapat," sahutnya, ia mengikuti Fikri masuk ke dalam kamar.

"Soal apa? Mau bayar berapa kalo gue bisa kasih pendapat yang baik?" Fikri menyimpan peci di atas balas, kemudian duduk di sofa yang terletak di pojok ruangan diikuti oleh Fitri.

"Dua juta, tapi pakai uang dari lo," jawab Fitri. Akibat dari ucapannya itu, ia mendapat toyoran pelan dari kakaknya. Fitri memegang kepalanya sembari mendengkus keras.

"Jadi mau nanya apa?" Fikri tak ambil pusing dengan raut wajah adiknya yang sudah kesal. Mereka tak memiliki banyak waktu untuk berbincang, sebab keluarga Hasan akan segera datang.

Fitri menatap kakaknya serius. "Gimana pendapat lo, kan, gue gak mau nikah sama Hasan. Nah, apa yang harus gue lakuin?"

Tanpa berpikir lama, Fikri menjawab. "Ya, tolaklah, masa diterima?"

Mata Fitri berbinar. "Nah, bener! Tapi gimana caranya? Gue udah bilang ke Ayah, tapi malah diminta terima perjodohan konyol itu, terus kata Althan juga mending ikuti apa kata orang tua. Tadi sore bunda bilang, terserah gue mau gimana. Sumpah gue pusing," keluhnya dengan kedua tangan yang terkepal di kedua sisi wajah.

Fikri menepuk pelan puncak kepala adiknya. "Gitu aja dibikin ribet. Tinggal jawab aja sesuai apa kata hati lo dengan alasan yang masuk akal, yang bisa diterima oleh semua pihak." Ia memberi saran. Fikri sering merasa aneh pada adiknya. Mengapa selalu membuat sesuatu yang simpel menjadi rumit. "Apa alasan lo gak mau sama Hasan?" sambungnya.

Fitri pun mengutarakan keresahannya pada sang kakak yang justru tertawa setelah mendengarnya. Hal itu membuat Fitri kesal hingga tangannya tak mampu menahan untuk tak memukul bahu kokoh laki-laki berkoko cokelat itu.

"Seru kayaknya kalo kalian jadi nikah. Nanti kayak alien, pake segala piring terbang," ledek Fikri di sela tawanya. "Hasan baik, lho, menurut gue. Kita udah ngobrol juga tadi. Gue kenal dia dari zaman bocah dan ya dia emang suka aja usilin lo yang emsouan gini," katanya. Tadi di mesjid, ia bertemu dengan Hasan. Laki-laki yang akan menikah dengan adiknya itu banyak berbicara tentang permasalahan perjodohan. Bagi Fikri, tak ada yang salah jika Hasan menjadi adik iparnya.

"Semua terserah padamu, Hasan begitu adanya. Walau dunia menolak Hasan tetap cinta Fitri." Fikri malah bernyanyi di akhir kalimatnya.
Bantal sofa melayang hingga sempurna mengenai kepala laki-laki itu.

"Gak guna banget pendapat lo!" Setelah itu, Fitri beranjak dari duduknya. Ketika akan membuka pintu kamar, ia mendengar kakaknya berbicara lagi.

"Saran gue, terima aja. Gue tau, selain hal yango sebutin tadi. Lo punya satu alasan yang ada sangkut pautnya sama gue, kan? Gue gak papa, silakan lo nikah duluan. Gue mah santai."

Different Ways ✔️Where stories live. Discover now