Secangkir Teh Susu Novela - Part 1

0 0 0
                                    

Aku suka membaca.

Membaca orang-orang. Membaca kisah-kisah mereka. Membaca raut wajah mereka, yang sedih, senang, bosan, jengkel dan lainnya. Satu ekspresi wajah, sejuta cerita. Meski orang itu sedang sendirian. Meski ia sedang terdiam. Entah ia sedang sibuk dengan hp-nya, laptopnya, pensil dan kertasnya ataupun dengan pikiran mereka sendiri. Aku bisa merasakannya. Sebuah cerita. Sebuah perasaan. Sebuah kehidupan menarik yang menunggu untuk dibaca.

Aku suka membaca. Seperti saat ini aku sedang duduk di cafe favoritku. Di bangku favoritku. Dekat dengan jendela supaya aku bisa membaca lebih banyak wajah. Ditemani dengan secangkir minuman favoritku, teh susu panas. Minuman yang rumit. Sama seperti kehidupan ini, rumit! Sama seperti pikiranku. Pikiran dengan berbagai rasa, sangat manis tetapi sangat panas. Begitulah juga hidup. Sepanas apapun yang kau rasa, manislah yang sebenarnya kau telan. Namun orang-orang kadang membaliknya. Semanis apapun yang mereka minum, hanya panaslah yang mereka rasakan. Ada juga yang berpendapat lain lagi. Hal yang manis adalah hal yang panas! Orang-orang seperti ini adalah orang yang telah berputus asa dalam hidupnya. Bukan jiwa, tetapi hatinya. Hatinya telah mati. Namun jiwanya tetap menjilat apapun demi merasakan setetes rasa manis. Manis, sebelum mereka mati oleh panas.

Aku suka menulis. Aku bisa melakukan apapun saat menulis. Aku bisa ke manapun saat berimajinasi dengan tulisanku. Namun saat ini aku harus duduk. Diam. Menunggu. Di cafe ini, aku sedang menunggu seseorang. Dan, ya seperti yang aku bilang tadi, aku sedang membaca. Aku benar-benar sedang membaca sebuah buku. Sebuah kumpulan cerpen karya seorang maestro Indonesia. Aku pribadi sangat suka tulisannya! Ia begitu bisa bebas saat menulis. Ia tidak pernah takut akan pencitraan atau semacamnya. Ia seringkali mengajakku pergi ke tempat-tempat yang tak pernah kukunjungi, pikiran-pikiran yang tak pernah kuselami, wajah-wajah yang belum pernah kubaca, tubuh-tubuh yang tak pernah aku dekap. Membaca tulisannya benar-benar membuatku menyadari bahwa aku sedang hidup. Aku sedang bernafas. Aku sedang meminum tehku! Teh yang tak lagi panas. Panasnya telah larut dalam kata-kata yang dirangkainya dalam buku ini.

Pintu cafe terbuka, aku bisa melihatnya dari tempatku duduk. Seorang pegawai perempuan menyambutnya, tersenyum. Ia membalas senyumnya, manis sekali. Senyum yang sudah lama tidak aku lihat. Lalu tanpa sadar pria itu telah berada beberapa langkah dariku.

"Hai!" sapanya. Ia memamerkan gigi-giginya yang putih bersih. Meski aku tahu, yang ia pamerkan sebenarnya adalah dirinya sendiri. Kepercayaannya kepada diri sendiri.

Aku tersenyum. "Hai," jawabku dengan suara yang lebih pelan. Aku membenahi kerudungku. Membetulkan kacamataku. Merapikan baju hitamku. Aku ingin terlihat menarik di depannya.

"Sudah menunggu lama ya?"

"Ah, tidak kok!"

"Boleh duduk?"

"I.. Iya, silahkan," lalu aku pun duduk di tempatku tadi. Tak kusangka, tiba-tiba ia duduk di sebelahku, bukannya duduk di kursi di hadapanku. Ia tersenyum. Aku hanya bisa tersenyum.

"Novela....," tiba-tiba wajahnya tampak lebih serius,"Kamu tahu aku di sini tidak untuk berbasa-basi. Setelah 10 tahun aku di Surabaya, akhirnya aku bisa menemuimu di sini. Aku tahu kau tahu apa maksudku menemuimu."

Sejujurnya aku tidak tahu.

Atau setidaknya aku tidak mau tahu. Tidak mau tahu apakah aku benar atau salah. Aku tidak mau percaya pada firasatku sendiri. Aku hanya bisa membayangkan pertemuan ini sekedar menjadi reuni dua orang teman yang sudah lama tidak saling bertemu. Kukira kami hanya akan tertawa-tawa kecil mengenang masa lalu. Nyatanya aku salah. Ini adalah pertemuan dua hati yang sudah lama tidak bertemu. Kami berdua tahu pasti, ini lebih dari sekedar pelepas rindu.

"Aku mencintaimu Novela..."

Hatiku berdegup. Firasatku benar....

Lagu-Lagu LusianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang