That Girl's Best Friend - Part 3 End

0 0 0
                                    

Aku dan Jennie pulang sekitar jam 12 tengah malam. Dia akan kubonceng motor sama seperti saat berangkat tadi. Sebelum pulang Jennie sempat menghilang sebentar. Ternyata dia berduaan sama Srey. Aku tahu karena, saat kembali, Jennie memakai sebuah kalung mutiara yang bagus banget.

"Biasa aja ngelihatnya kali, An! Bagus, ya?" Jennie tanya pendapatku.

"Sumpah itu kayaknya mahal banget, ya nggak sih?" tanyaku.

"Haha iya kayaknya... Romantis banget tauk!!" kata Jennie tersipu.

Dalam hati aku sangat sangat cemburu, tapi apa daya aku hanya bisa tersenyum melihatnya. "Ngomong-ngomong, ini nggak apa-apa malem banget pulangnya? Jauh lho kalau dari sini," tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan.

"Iya nggak apa-apa, aku ada acara juga soalnya besok pagi. Masih ada yang aku harus siapin juga di rumah," jawab Jennie, "Maaf ya, An?"

"Oh iya, aku nggak apa-apa kok!" kataku sambil memberikannya helm. Setelah dadah-dadahan sama yang lain, kami pun berangkat pulang.

Jalanan sudah sangat gelap dan sepi, tetapi karena aku sempat minum kopi, jadi aku nggak terlalu ngantuk. Sayangnya, beberapa menit kemudian tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras. Kami pun menepi di pinggir jalan.

Toko di kanan-kiri kami semua sudah tutup. Suasana jadi semakin mencekam dengan ganasnya gemuruh guntur yang datang bergantian dengan kilatan petir. Jennie memegang lenganku, tampaknya ia ketakutan. Aku balik memegang tangannya agar dia tenang.

Tidak lama kemudian kami melihat bayangan dua orang pria sedang berjalan ke arah kami. Firasatku udah nggak enak banget dan ternyata bener aja, mereka benar-benar malakin kami. Mereka tampak berani karena kami berdua jauh lebih kecil dan salah satu dari mereka bersenjata.

"Heh!!!" teriak pria dengan pisau.

"Dompet dompet!" teriak pria yang lain.

"Ambil, Mas, ampun, mas...." kataku. Aku mengkode Jennie untuk segera memberikan barang-barang kami. Dia tampak marah dan tidak rela.

Saat ia mengumpulkan dompet dan hp kami, pria satunya berkata, "Iku spedamu yo? Kunci!"

"Maaf, mas, rumah kami jauh. Sidoarjo, Mas," kataku memelas.

"Urusanku a?"

"Endi cepetan heh!" kata pria satunya sambil menarik kerahku.

Jennie lalu memukul pria itu sambil berteriak, "Lepasin!"

Dalam sekejap mata Jennie didorong sampai jatuh oleh pria dengan pisau. "Kyaaa!!!" Aku sekilas melihat Jennie sedang memegang lengannya erat, tampaknya pisau itu melukai lengannya.

Aku langsung naik pitam. Kudorong pria di depanku. Sayangnya, itu adalah hal paling bodoh yang pernah kulakukan karena aku berakhir dihajar oleh mereka berdua. Tubuhku disayat sana-sini pakai pisau. Setelah tampak tak berdaya, mereka mengambil kunci motor di celanaku dan pergi.

"Sek sek..." kata salah seorang dari mereka yang kemudian menghampiri Jennie dan mengambil kalung mutiara yang ternyata disembunyikan Jennie di balik bajunya. Jennie pasti sayang banget dengan kalung itu

Sontak aku berteriak untuk mencegahnya,"Hey.........." Suaraku terlalu lemah. Kukumpulkan seluruh tenagaku untuk bangkit. Kulihat mereka hampir pergi dengan motorku. Kuberteriak dengan sangat gagah dan lantang, "HEIII!!!"

Mereka berdua tampak kaget. "BALIKNO ASU!!!" teriakku lagi sambil lari menerjang. Aku melemparkan badanku ke arah mereka. Pria yang di belakang terjatuh bersamaku. Pria satunya langsung turun dari motor dan mengangkatku. Cuma ada satu hal di kepalaku waktu itu: kalung.

Saat aku dipukuli, aku berusaha merebut kalung itu dari kantong mereka. Namun merek sadar dan menariknya kembali yang membuat kalung tersebut putus dan benihnya berceceran. "Jancok, budhal ae, Cok!" adalah kata-kata terakhir yang kudengar dari mereka sebelum motorku akhirnya dibawa kabur.

Setelah aman, Jennie setengah berlari menghampiriku sambil berteriak memanggilku, "Aaaan...!"

"Le.... Lenganmu nggak apa-apa?" tanyaku.

"Goosh, my arm is totally fine! Yang berdarah-darah itu kamu. Kamu nggak apa-apa?" tanyanya tampak khawatir.

"Pisau dapur. Nggak terlalu tajam kok," kataku lalu spontan tertawa kecil. "Kalungmu Jen... Ntar... kita bisa sambung lagi....."kataku lirih dan tertatih.

Tiba-tiba suasana hening. Jennie menutup mulutnya dengan tangan dan tampak berkaca-kaca. "Aku nggak peduli sama kalung itu asal aku masih punya kamu," ucapnya.

Aku tersenyum. "Aku mungkin nggak maskulin, Jen, tapi aku siap jadi apapun kalau buat kamu," kataku mengatakan hal yang terlintas di benakku.

Jennie langsung mendekatkan wajahnya ke arahku. Ia mengecup tepat di samping bibirku. Ia lalu melihatku sambil tersenyum penuh makna.

Aku lalu segera meraih dagunya dan menciumnya dengan benar. Perasaanku campur aduk malam itu. Antara kedinginan, kesakitan, khawatir bagaimana caranya pulang sampai khawatir dengan bagaimana hubunganku dengannya selanjutnya. Namun satu hal yang pasti: Aku merasakan bahagia yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.

"I love you" Aku menatap kedua matanya yang berkaca-kaca.

"I thought you'll never say it. I always love you too," bisiknya kepadaku.

Lagu-Lagu LusianaWhere stories live. Discover now