Secangkir Teh Susu Novela - Part 2

0 0 0
                                    

"Aku di sini karena hatiku memintaku untuk ke sini. Untuk menemuimu, Novela! Aku hanya mencintaimu. Aku bahkan bertahan selama ini tidak mencintai wanita lain. Aku setia. Tidak, aku bahkan tidak sanggup mencintai wanita lain. Hidupku hanya untukmu. Kau tahu itu!"

Aku terdiam. Mencoba memaknai setiap kata-katanya. Mencoba membaca wajahnya, cerita hidupnya, perasaannya....

"Mengapa kau di sini? Maksudku, mengapa kau percaya semua itu?"tanyaku.

"Karena takdir....
Karena hatiku telah memilihmu. Karena aku sayang padamu. Cinta... Atau entah apa namanya"

"Bagaimana kalau yang kau percaya itu..... Salah?"

"Maksudmu?"

Kujawab pertanyaannya dengan agak terbata-bata,"Bagaimana jika bukan aku wanita takdir hidupmu? Bagaimana kalau aku tidak mencintaimu?"

Ia menelan ludah. "Itu resiko yang aku ambil. Aku percaya pada cinta ini. Aku percaya pada senyumanmu waktu itu. Aku percaya ada cinta saat itu." Ia tersenyum. Senyumnya yang sama seperti 11 tahun yang lalu. Saat pertama kali kita bertemu. Di suatu kelas. Dalam suatu harapan yang telah sia-sia.....

"Memangnya kau tahu siapa aku sekarang? 10 tahun adalah waktu yang lama! Kau tidak tahu kan, apa saja yang telah kulalui? Bagaimana kalau.....," kata-kataku tertahan. Mataku sudah mulai panas,"Bagaimana kalau aku sudah menikah?"

Ia diam sejenak.

"Benarkah itu?"

Aku tak menjawabnya.
Diam...





Diam...











Diam...





Kami berdua diam.

Aku melihat wajahnya. Rahangnya telah kuat, beda seperti dulu. Matanya tajam, rambutnya agak gondrong, badannya lebih besar. Beda seperti dulu. Ia sudah tidak lagi memakai seragam SMA-nya. Tiba-tiba aku teringat dosaku di masa lalu. Mengapa tidak aku berikan saja sinyal negatif padanya waktu itu? Mengapa saat itu kami berpisah? Mengapa sebelumnya kami saling cinta? Cinta yang terpendam. Cinta yang tak pernah bicara. Cinta yang kurasa setelah kubaca wajahnya saat itu. Ia yang telah membaca hatiku lebih dulu. Ia yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Dan bahkan untuk sekarang, aku masih bisa merasakannya.

"Maaf, Bram. Aku tidak bisa. Kau harus mengerti itu."

Lagu-Lagu LusianaWhere stories live. Discover now