PROLOG : Malam yang dingin

194 20 2
                                    

Suara gesekan es terdengar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Suara gesekan es terdengar. Hawa dingin yang berasal dari Ice Rink menembus kalbu setiap orang yang sedang berlatih di sana. Seorang pria dengan jaket pudding bewarna biru tua, menatap lurus ke arah anak-anak yang kini sedang berlatih Ice Skating. Lemat ia tatap dengan binar mata yang Kosong. Hanya deru napasnya yang terdengar dengan gumpalan asap yang sedikit terlihat. Tanda akan dingin yang semakin menusuk, mengingat ia sama sekali tidak menggunakan sarung tangan.

Detik demi detik, lalu berganti menjadi menit yang sudah tidak bisa di perkirakan lagi. Ice Rink yang tadinya penuh dengan anak-anak yang sedang latihan, kini sepi. Meninggalkan pria tadi yang masih menatap lemat ke arah yang sama.

Setelah waktu yang ia habiskan di sana tanpa melakukan apa-apa. Ia menghela napasnya sambil memejamkan pelan matanya. Lalu bergerak keluar meninggalkan Aula Ice Rink itu.

Langkah kakinya menggema di seluruh ruangan. Ia keluar dari Aula, dan berjalan menatap langit malam yang begitu gelap.

"Aku sudah selama itu rupanya." Monolognya, baru sadar setelah apa yang ia lakukan. Sebenarnya pria ini tidak melakukan apapun. Ia sudah membuang banyak waktu, karena hanya diam di Aula Ice Rink tadi.

Langkahnya kembali berpijak, mengarahkan tubuh tinggi itu ke arah sebuah Jembatan. Lalu, langkahnya berhenti. Seakan ada suatu tarikan dari air sungai yang sedang tenang. Pria itu membalikkan tubuhnya. Menatap pantulan Bintang yang terlihat dari sungai itu. Sendu, matanya menatap sendu.

Namun, Sorot mata sendu itu tidak bertahan lama ketika ia tiba-tiba mendengar suara teriakan wanita.

"Sial! Kurang Ajar! Aku sudah susah payah menyelesaikan naskah itu. Tapi?! Hah! Dasar ******"

Pria itu mengerutkan keningnya ketika melihat seorang wanita yang berdiri di pagar pembatas jembatan Sungai. Hal yang membuatnya heran lagi, wanita itu mengumpat dengan sumpah serapah yang sangat mengganggu telinga. Pria itu, hendak meninggalkan wanita yang sedang berteriak tadi.

"Aku lelah sekali! Padahal aku sudah bekerja keras! Membuat itu tidak sebentar! Kenapa si Bodoh itu tidak mengerti! Ah, aku mau mati saja."

Namun, langkahnya berhenti dan beralih kembali menatap wanita itu. Ia terkejut ketika melihat posisi wanita itu sudah sedang dalam keadaan memanjat jembatan. Dengan cepat ia berlari dan menarik lengan sang wanita.

"Lepas! Aku mau mati saja!"

Pria itu dengan cepat memeluknya untuk menahan rontahan yang di kerahkan wanita itu. Pria itu meringis ketika menyium bau alkohol yang menyeruak.

"Pantas saja. Dia mabuk ternyata." ujarnya menatap wanita itu, yang kini langsung terdiam. Pria itu melepas pelukannya dan menatap wanita itu pelan.

"Hei, dengar aku kan? Bisa tunjukkan alamat rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang. Kamu mabuk berat." tanya Pria itu. Ia yakin wanita ini masih sadar.

Dengan pelan wanita itu mengerjapkan matanya dan menatap pria yang ada di depannya. "kau siapa?"

"Satya. Kamu mabuk berat. Aku akan mengantarmu sampai ke rumah. Katakan saja di mana alamatmu."

Wanita itu mengangguk kecil dan langsung mengatakan alamat rumahnya. Satya, pria itu menggeleng kecil. Namun masih mendengar jelas apa yang dikatakan wanita ini.

"Aku akan mengantarmu sampai rumah. Alamatmu tidak jauh dari sini. Ayo, pegang tanganku."

Wanita itu menurut lagi. Satya kemudian menuntun wanita itu sambil kembali mendengar sumpah serapahnya. Sepanjang jalan yang mereka lalui, hanya ada umpatan dan keluh kesah sang wanita yang membuat Satya terkekeh kecil. Setelah sampai di alamat tujuan, Satya menekan bel yang ada di rumah itu.

Wanita itu kemudian menatap Satya dengan mata yang sengaja menyipit. Pintu lalu terbuka, menampilkan seorang remaja dengan mata mengantuknya. Remaja itu mengerjap lalu menatap Satya yang ada di depannya.

"Loh, kak Satya? Kenapa kak?" tanya Remaja itu. Satya hanya tersenyum lalu menunjukkan wanita yang sedang berdiri di sebelahnya.

"Aku mau mengantarnya, Nien. Dia bilang alamatnya di sini."

Nien menatap wanita itu, dan langsung menarik lengannya. "Kak Aruni! Kakak mabuk lagi yah! Ditunggu di rumah kenapa gak pulang-pulang! Kakak kebiasaan!"

Aruni, nama wanita itu. Ia hanya menatap Nien dengan wajah merengut. Lalu kembali menatap Satya yang ada di depannya.

"Pria baik. Tidak! Satya! Namaku Arunika! Yah! Arunika!"

"Kak!"

Satya tertawa kecil melihat tingkah Aruni. Nien lalu menatap dengan wajah tidak enak. "Makasih yah kak Satya. Kakakku kalau stress kerja pasti mabuk."

"Santai aja, Nien. Aku baru tahu kalau kamu punya kakak. Selama ini selalu sendiri."

Nien mengangguk lalu tersenyum ke arah Satya, "dianya maniak kerja kak. Ngomong-ngomong kakak gak singgah dulu? Sudah tengah malam loh kak."

Satya menggeleng lalu tersenyum simpul. "Enggak. Kakak pulang aja. Sampai nanti yah."

Satya langsung meninggalkan Nien yang masih menatap lemat Satya. Sampai Satya benar-benar hilang dari pandangannya. Nien lekas membawa kakaknya masuk dan kembali mengunci pintu rumah.

•••

Satya menutup pelan pintu rumah dan melangkah masuk. Namun, langkahnya terpaksa berhenti ketika melihat sosok Papanya yang berdiri menatap tajam dirinya. "Darimana? Kenapa pulang tengah malam?"

"Dari Ice Rink. Latihan Ice Skating." ujar Satya sambil meletakkan sepatunya di rak. Papanya lalu tidak merespon apapun dan langsung meninggalkan Satya. Anak itu menatap lemat gerak Papanya, yang kemudian langsung masuk ke dalam kamar. Satya menghela napas lalu segera menaiki tangga dan pergi ke lantai dua, yaitu kamarnya.

Langkahnya lagi-lagi berhenti, ketika melihat saudara kembarnya yang tengah berdiri hanya menatapnya. Satya lalu menatap balik saudara kembarnya itu. Tanpa mengatakan apa-apa, ia melihat saudara kembarnya itu masuk ke dalam kamar. Satya juga hanya bisa diam dan melanjutkan langkah yang berhenti lalu segera masuk ke dalam kamarnya.

Satya melepas jaket yang ia kenakan. Ia lalu duduk di tepian kasurnya. Satya lalu menatap bingkai foto yang terpajang di nakas di samping tempat tidurnya. Ia lalu mengambil foto itu. Foto yang berisikan wanita cantik yang sedang tersenyum. Melihat senyuman itu, Satya jadi ikut tersenyum sambil mengusap pelan wajah yang ada di foto itu.

Senyum Satya luntur, matanya beralih menatap jendela yang masih terbuka. Langit malam yang kembali memperlihatkan bintang-bintang yang bertebaran. Satya menatap lemat bintang dari kejauhan. Tatapan sendunya kembali terlihat dengan binar kekosongan.

"Ma, apa Mama ada di salah satu bintang di langit malam ini?" Satya berbicara sendiri, masih menatap langit.

"Satya kangen Ma. Mama gak pernah datang ke mimpi Satya." ujarnya lagi. Binar yang kosong itu kini menampilkan cahaya lara.

"Sepi banget di sini, semenjak Mama pergi. Sena sama Papa tiba-tiba jadi diam. Satya gak ngerti."

Perlahan, air mata yang sejak tadi tertahan, turun membasahi pipi pria ini. Satya menangis tanpa isakan. Masih dengan ekspresi yang sama dan posisi yang sama.

"Ma, Satya mau ketemu Mama."

To be continued

Detik bersama Nabastala || Park SunghoonWhere stories live. Discover now