BAGIAN 9 : Datanglah

67 12 3
                                    

Jarum jam berdenting menunjukkan angka sembilan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jarum jam berdenting menunjukkan angka sembilan. Masih terbilang cukup awal, karena rasa kantuk sama sekali belum menyerang sang empu yang tengah duduk di depan buku-buku Kimia. Sena, anak ini beberapa kali mengusap matanya. Ia membuka kacamata, berusaha menetralkan pandangannya. Ia lalu mengecap lidah saat haus terasa. Sena kemudian mencoba meraih teko air yang biasanya ada menemaninya setiap malam. Namun, sama sekali tidak ada air yang tersisa di dalam teko itu. Dengan helaan napas panjang, Sena bangkit dari duduknya dan pergi menuju dapur.

Kakinya melangkah, melewati satu persatu anak tangga di rumahnya. Sena pergi ke dapur dan mengisi Teko itu di dispenser.

"Nanti Beli dispenser buat di kamar. Biar gak perlu repot turun begini." monolog dengan mata sayu yang menatap Teko yang perlahan-lahan penuh dengan air.

Di Sela itu, suara pintu terbuka hingga membuat atensi Sena teralihkan. Sena lalu berjalan menghampiri asal suara. Ada Satya yang baru saja pulang dan langsung berjalan begitu saja melewatinya. Sena diam dan menatap pergerakan saudara kembarnya itu. Ingin bertanya pada Satya, namun lagi-lagi ia mengurungkan niatnya dan tetap menjaga hubungan kaku yang entah sampai kapan.

Sena lalu juga bergegas pergi menuju kamar, guna melanjutkan kembali tugas-tugas kuliahnya. Ia menutup pintu rapat, dan hanyut lagi dalam kesenangannya.

•••

Satya menutup mengunci pintu kamarnya rapat. Berjalan ke arah meja belajar dan duduk sambil menatap lurus. Satya memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Sejenak ia memejamkan mata sambil menggerutui dirinya sendiri. Rasa sakit yang ada hanya bisa membuat Satya memejamkan matanya. Pemuda itu menggigit pelan bibirnya, ia berusaha menahan diri agar tidak melampiaskan amarahnya. Air mata dari rasa sakit yang ia tahan meluruh pelan dari kedua matanya yang terpejam.

Setelah kejadian di Ice Rink tadi, Satya benar-benar tidak puas dengan dirinya. Beberapa kali, saat di perjalanan ia pulang ke rumahnya. Satya bertanya pada dirinya sendiri. "Kenapa kamu seperti ini?"

Kenyataan yang beberapa kali ia berusaha sangkal juga selalu menamparnya. Cepat atau lambat, Satya akan kembali menghadapi satu hal lagi yang harus ia relakan untuk pergi. Hal lainnya selain mamanya, yaitu Dunianya, Ice Skating.

Disaat Satya sedang mencoba untuk menenangkan diri. Hal yang tidak diinginkan kembali terjadi. Darah segar bewarna merah perlahan turun dari lubang hidungnya. Satya yang sudah kepayang dengan rasa sakitnya, ia hanya bisa mengusap pelan dan menahan darah yang ada di hidungnya.

Pemuda ini menangis, beberapa kali Satya mengerang karena kesakitan. Namun tidak ada yang mendengar suaranya. Satya benar-benar tidak tahan dengan semua ini. Jika boleh berdoa yang tidak baik, maka Satya sudah lebih dulu berdoa kepada Tuhan untuk mati saat ini juga.

Entah berapa lama rasa sakit itu datang. Namun tenaga yang Satya kerahkan sudah benar-benar habis. Satya terjatuh ke lantai dengan tangan yang penuh noda darah. Matanya menatap lurus ke arah plafon kamarnya. Napasnya yang memburu benar-benar menggema. Telinganya juga mendengarkan Detak jantung yang terdengar lemah.

Detik bersama Nabastala || Park SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang