Terima

351 68 40
                                    

"Kalau Kak Vio lagi butuh teman, cari aku boleh kok. Kalau aku kosong, aku siap temenin."

Dia hampir tersedak ludahnya sendiri. Keterkejutan tak bisa ia sembunyikan dari sana. Sedang, perempuan yang baru saja membuat dadanya terhenyak, terlihat tanpa beban melempar senyum kepadanya. Seolah, kalimatnya barusan tak memiliki dampak apa-apa.

Tak tahukah Chika, jika sekarang dirinya sedang berusaha mengembalikan detak jantung yang sempat berdetak tak normal? Napas yang tertahan, berusaha ia keluarkan pelan-pelan agar tak terlalu kentara jika ia sedari tadi menahan napasnya cukup lama.

"Kak?"

Panggilan itu membuat dirinya langsung menunduk, mencoba kembali mengumpulkan kewarasan yang barusan tercecer. Gerakan mengambil cangkir dan menyesap minumannya untuk sejenak adalah usaha selanjutnya untuk tetap bernapas dengan normal saat ini.

Kalimat tawaran barusan, masih benar-benar membuat dirinya tertegun. Tak paham mengapa Chika tiba-tiba berkata seperti itu. Aneh, ia benar-benar merasa sangat aneh sekarang.

Tapi, di lain sisi, ia juga tak mengelak, bahwa dirinya bahagia. Sepertinya baru kali ini, rasanya seperti berada di koridor yang tepat. Ah, apa boleh menganggap seperti itu di waktu yang masih terbilang cukup dini?

"Kak Vio baik-baik aja?" Tanya Chika dengan raut wajah khawatir.

Jika bisa, dia sudah menggeleng. Namun, justru anggukan kepala yang ia beri ke Chika untuk menjawab pertanyaan barusan.

"Aku lancang?"

"No... No... No!" Jawabnya cepat, sampai dia bisa melihat keterkejutan Chika di sana.

"Ah... Maksud saya, enggak. Enggak lancang." Balasnya sembari mengusap tengkuk belakang.

Dia merasakan dingin tiba-tiba hinggap di sana. Ada rasa canggung yang amat sangat. Grogi kalau kata orang-orang. Dia bingung ingin membalas bagaimana kalimat Chika tadi.

"Chika?" Panggilnya pelan.

"Ya, Kak?"

Vio benar-benar kehilangan sebagian pijakannya setelah mendengar jawaban Chika yang begitu lembut masuk ke dalam telinganya. Dia benar-benar tak tahu harus berlaku seperti apa sekarang. Hanya kursi besi tempatnya duduk yang bisa ia cengkeram kuat, agar duduknya bisa menegak dan kuat untuk menatap bola mata Chika.

"Makasih." Ucapnya.

Chika tersenyum.

Jika bisa, Vio sudah berteriak untuk melarang Chika mengumbar senyum seperti itu. Sebab, dia merasa dadanya sudah benar-benar seperti ingin meledak sekarang juga. Tidak kuat.

"Sama-sama, Kak. Memang sendiri itu nyaman, tapi enggak bisa bohong, kalau terkadang kita juga tetap butuh teman."

Vio hanya mengangguk mendengar tuturan Chika barusan. Dia masih berusaha menetralkan kembali kondisi di dalam dadanya yang masih sibuk membakar butir-butir perasaan yang mampu menghangatkan sekujur tubuhnya.

Hingga kemudian, dia diam. Chika pun melakukan hal yang sama. Dia dan perempuan itu, benar-benar diam. Tanpa kata. Hanya ada gerakan-gerakan yang tak bisa dia terjemah.

Dia gunakan waktu diam itu untuk mengamati Chika lebih lekat. Wajah perempuan itu terlihat lelah. Ada lingkaran samar di bawah matanya. Seperti kurang tidur.

Vio mafhum, kuliah sembari bekerja seperti ini pasti tidak mudah. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana Chika dan mahasiswa lainnya mengatur waktu untuk bekerja, belajar, dan istirahat.

Di waktu SMA, dia pernah membantu di toko roti sang Mama, hanya menjaga kasir, dan itu sangat melelahkan. Bagaimana dengan Chika? Pasti lebih banyak tenaga yang dibutuhkan.

KAPASITAS IKAN MIGRASIWhere stories live. Discover now