03

281 55 3
                                    

Jaidan Andrea Mahatama, mengendarai motor beatnya melintasi gelapnya jalan di malam hari, dengan sebatang rokok dijepitan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri. Sangat tidak patut dicontoh. Ia menghisap rokok tersebut lalu menghembuskannya.

Ia baru saja pulang dari tempat kerjanya, yaitu sebuah kedai kopi, dia seorang barista. Tujuannya kini adalah tempat pulangnya, ya, rumah.

20 menit berlalu, kini ia sampai di rumahnya. Rumah kecil yang sudah nampak tak terawat, tetapi setidaknya masih layak untuk ditinggali.

Ia membuka pintu rumah perlahan, "dek, kakak pulang." Tidak ada sahutan yang membuat Jaidan mengerutkan dahinya.

Jaidan membuka jaket kulitnya, lalu menghempaskan jaketnya tersebut ke sofa. Kemudian ia mencari keberadaan adiknya.

"Dek?"

Ia mengecek ke kamar adiknya, ke dapur, dan ke kamar mandi, tetapi adiknya tak kunjung terlihat.

Ah, mungkin sedang ada di warung, batinnya. Adiknya seringkali menongkrong di warung dekat rumah. Ia pun memutuskan untuk pergi ke warung tersebut.

Namun setelah sampai, hanya ada segerombolan anak muda tanpa adanya adiknya tersebut.

"Uy, liat ade gue ga?" Tanya Jaidan kepada segerombolan anak muda tersebut, dirinya sudah kenal bahkan akrab dengan mereka.

"Oh, engga bang." Jawab salah satu dari mereka.

"Terakhir kali dimana anaknya?" Tanyanya lagi.

"Ga tau deh, kita udah ga liat dari pagi."

"Oh ya udah, makasih ya." Kemudian Jaidan meninggalkan warung dan kembali ke rumah.

Ia berdiam diri di teras rumah, khawatir berat akan adiknya.

Di saat dia berdiam diri, tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Ia mengambil ponselnya yang berada di saku celana. Telepon tersebut berasal dari teman dekatnya, yaitu Ricky. Lantas ia mengangkatnya.

"Halo, Rick."

"Dan, buru kesini."

"Buruan kemana?"

"Di Jl. Soetta, ade lo babak belur. Gue gatau dia masih hidup atau--"

Tanpa mematikan ponselnya, Jaidan bergegas menaiki motornya lalu menancap gas ke tempat yang telah diucapkan Ricky.



"Di mana ade gue?!" Tanya Jaidan, setelah bertemu dengan Ricky.  Ricky menunjuk ke arah pabrik kosong dengan segerombolan polisi.

Jaidan berlari ke arah segerombolan polisi tersebut. Ia berteriak keras, karena panik yang tidak karuan.

Ia celingak-celinguk mencari keberadaan sang adik, tetapi temu tak kunjung ada.

"Dek! Mana adik saya?!" Jaidan berseru kepada para polisi.

Salah satu polisi menghampirinya, "adik? Apakah kamu keluarganya, nak?"

"Iya, pak."

"Maaf adikmu telah meninggal--" Suara dari sang polisi menandak samar, tanpa sang polisi memberitahu kabar tentang adiknya, ia mengetahui sendiri kabar sang adik.

Kedua matanya menangkap kantong mayat berwarna oranye, yang sangat ia yakini bahwa isinya adalah jasad dari adiknya.

Dunia seakan mendadak runtuh, otaknya mendadak berhenti berpikir, dan kedua mata kini bergelimang air mata.

"I--itu, adik saya pak?" Tanya Jaidan sambil menunjuk kantong mayat tersebut.

"Maaf, iya nak."

Lagi-lagi Jaidan berlari meninggalkan orang yang sedang berhadapan dengan dirinya. Namun untuk kali ini, ia ditahan oleh polisi tersebut.

Communitates || Boys PlanetWhere stories live. Discover now