27 - Lamaran?

3.2K 249 16
                                    

"Tolong, Umi. Tolong."

Fathan memohon-mohon pada Zulfa dengan emosi kesal. Kedua orang tuanya lah harapan satu-satunya untuk membantunya. "Fathan simpan perasaan cinta pada Ziara selama empat tahun, lalu bagaimana Fathan bisa menerima ini semua?"

"Berdiri, kamu anak laki-laki jangan lemah seperti ini. Jika Ziara memang mencintai kamu juga, tidak mungkin Ziara mau menerima lamaran orang lain," lontar Kurniawan kesal melihat Fathan yang menangis lemah seperti itu.

"Fathan yakin, Bi. Ziara juga mencintai Fathan," tegas Fathan sangat yakin.

"Berdiri!" perintah Kurniawan. "ELFATHAN BERDIRI!" bentaknya karena Fathan tidak menuruti perintahnya.

Fathan tercekat karena bentakan ayahnya. Ia langsung menghentikan tangisannya. Kemudian, menurut dia perintah abinya yang menyuruhnya untuk berdiri.

Zulfa membantu Fathan untuk duduk di sampingnya. Ia merangkul lembut putranya yang tengah terpuruk.

"Besok kita datang lagi, nanti kamu bicara pada Ziara," usul Kurniawan. "Kalau begitu kami pamit pulang dulu, Bu. Maaf sudah menganggu," pamitnya pada Zula dengan nada sopan.

Zula mengangguk kecil. "Terima kasih atas kunjungannya, sekali lagi saya mohon maaf."

Mereka berdiri bersamaan. "Assalamualaikum," ucap Kurniawan dan Zulfa bersamaan.

"Waalaikumsalam."

Fathan dan kedua orang tuanya berjalan keluar rumah. Zula mengantarkan mereka sampai teras rumah.

"Abi saja yang bawa mobilnya," ujar Kurniawan dan Fathan segera memberikan kunci mobil.

Fathan masuk ke dalam mobil di kursi kedua di temani oleh sang ibu yang tak berhenti mengelus bahunya dengan lembut. Ia menatap ke kaca mobil di sampingnya dengan tatapan kosong. Entah, sekarang harus bagaimana. Ia lelah sesudah menangis tadi, rasanya tenaganya terkuras semua.

Kurniawan mulai menjalankan mesin mobilnya.

_____

Fathan dan kedua orang tuanya sampai di rumahnya saat adzan magrib. Mereka segera turun dari mobil dan langsung mengambil air wudhu.

Fathan terdiam sebentar di depan keran air yang berada di samping mushola kecil di dalam rumahnya. Hatinya terasa hampa dan tak fokus. Tanpa sadar, air matanya kembali mengalir. Ia membiarkannya begitu saja, lalu ia memutar keran air untuk segera mengambil air wudhu.

Air matanya bercampur dengan air wudhu, ia tak bisa menghentikan tangisannya karena ini terlalu sakit. Ia mengangkat telapak tangannya sambil membaca doa selesai berwudhu.

"Asyhadu allaa ilaaha illallahu, wahdahuu laa syariika lahu wa asyhadu anna muhammadan 'abduhuuwa rosuuluhuu, alloohummaj'alnii minat tawwaabiina, waj'alnii minal mutathohhiriina, waj'alnii min 'ibadikash shaalihiin." Fathan mengusap wajah setelah membaca doa wudhu. Kemudian, ia berjalan masuk ke dalam mushola dengan menahan sesak di dadanya yang tak mampu berhenti untuk menangis.

Ia mengambil peci yang tergantung di dinding, lalu segera ia pakai. Fathan menarik nafas dalam-dalam mencoba mengatur dirinya agar bisa berhenti menangis saat melaksanakan sholat.

Fathan menyentuh dadanya. 'Umi, Abi. Ini terlalu sakit.' Batinnya.

Fathan mulai melaksanakan sholat. Saat raka'at pertama aman, ia masih bisa mengontrol dirinya. Tetapi, raka'at kedua
saat sujud ia kembali menangis sesenggukan.

Fathan terus melaksanakan sholat dan berusaha tetap khusu walaupun penuh dengan deraian air mata.

Setelah selesai sholat, tangisan Fathan semakin pecah. Ia menangis histeris seorang diri, Ia luapkan semua emosinya melalui tangisan.

DAMBAAN GURU TAMPANNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ