💚Kafe💚

23 5 4
                                    

Kopi, hujan, dan buku.
Nikmat mana lagi yang Eva dustakan. Sayangnya, semua itu hanya ada di benaknya saja karena kenyataannya bukan hanya kopi, hujan, dan buku tapi di hadapannya kini ada pemandangan dua sejoli sedang dimabuk Cinta. Sejak setengah jam lalu dia berpura-pura fokus membaca novel LDR padahal telinganya fokus ke pembicaraan mereka.

"Please lah, kalian tuh ya nggak punya empati terhadap kaum jomblo di cuaca hujan kek gini, " Eva sudah tidak kuat harus memendam rasa cemburu melihat Jefri dan Ovie bermesraan sejak tadi.

"Ciee jomblo, " ejek Jefri.

"Heh! Vie, cowok lo ngeselin, boleh ijin nabok nggak?" rengek Eva sambil memukulkan buku ke lengan Jefri.

"Ini mah nggak ijin namanya, sakit peak," rintih Jefri sambil mengusap lengannya.

"Kayanya Eva harus segera jadian  sama  Satria deh, bahaya juga lama-lama jomblo. Kasian, mana masih muda, hahahaha," ejek Ovie.

"Pantes kalian berdua cocok. Bibirnya nggak assalamualaikum kalau ngeledekin orang, " balas Eva.

Jefri dan Ovie  saling tatap kemudian mereka tertawa secara spontan. Eva benar-benar diuji kesabarannya. Sudah terjebak hujan, ditambah harus satu meja dengan pasangan absurd seperti Jefri dan Ovie.

"Kalau bukan karena telepon dari lo, gue kemaren   pasti udah bertukar nomor telepon sama Oppa ganteng, hiks, " keluh Eva. Dia menatap kosong jalanan di luar cafe yang sudah mulai gelap.
"Huff, " gadis berhijab segiempat itu menghembuskan napas panjang. Kedua tangannya dilipat di atas meja, wajahnya dia sembunyikan di sana.

"Ih, nggak seru. Masak gini aja sedih sih, semua tuh butuh proses. Lo pikir gue sama Jefri nggak butuh perjuangan untuk sampai ke tahap ini, " jelas Ovie.

Jefri mengangguk setuju.

"Waktu itu kita  kebetulan  datang sebagai tamu undangan. Nah, disitu kita tukeran nomor telepon. Kalau diingat kembali kisah kita tuh kaya drama korea gitu ya, gue nyimpen nomor Ovie  cukup lama, sekitar seminggu baru berani chat, itupun nggak langsung dibalas sama Ovie, " lanjut Jefri.

Ovie  tiba-tiba tertawa, spontan Eva menarik kursi menjauh darinya karena takut kalau-kalau sahabatnya ketempelan di musim hujan. Padahal di bulan puasa tidak ada setan, yang ada setan malah males masuk ke tubuh Ovie.

"Lo baik-baik aja kan, Vie? Ngeri banget sih, udah hujan tiba-tiba ngakak, serem banget sih," tegur Eva.

"Gue tuh geli ingat pas pertama kalinya Jefri chat gue, pas chat dia masuk tuh gue sempat melongo, ini nomor siapa ya? Terus polosnya gue bales dan tanya, 'ini siapa ya?' karena gue emang punya nomor dia tapi lupa di save. Nah, pas dia jawab 'Jefri' gue tuh syok. Nggak nyangka dia bakalan chat, terus obrolan kita nyambung dan akhrinya sampai sekarang. Kita berapa tahun ya Jef? " tanya Ovie manja.

"Hampir tiga tahun," jawab Jefri " kita bukannya mau pamer. Ambil pelajaran dari kisah kita, semua butuh proses, nggak ada yang instant. Ibaratnya lo mau makan mie instant. Namanya padahal udah mie instant tapi masih juga harus rebus air, masukin mie, angkat mienya campur sama bumbunya. Atau kalau mau tambah enak ditambah sayur dan telor. Suatu hubungan juga begitu, Va. Perkenalan adalah tahap rebus air, setelah air mendidih kita masukkan mie, ini tahap pendekatan, setelah itu mie ditiriskan buang air lalu ditambah bumbu, ini tahap dimana Cinta mulai tumbuh diantara kalian, terus masih juga harus diaduk biar merata bumbunya. Nah, tahap ini adalah tahap setelah kalian jadian dan mulai lebih kenal pribadi masing-masing, ada rasa jengkel, bahagia, cemburu, ngambek, semua tercampur aduk jadi satu. Kalau mie enak ditambah telur dan sebagainya. Tidak dengan suatu hubungan, jangan hadirkan orang luar masuk untuk menambah rasa dalam hubungan kalian. Hancur berkeping-keping kalau ada orang ketiga masuk, " jelas Jefri. Eva hanya meliriknya tanpa banyak bicara. Sok paling bijak, padahal mereka resmi jadian saja tidak. Batinnya.

Tanpa sadar Eva menyunggingkan senyuman, selama kenal Jefri, dia tidak pernah mendengar pemuda itu memberikan masukan ke Eva  ataupun sahabatnya yang lain. Eva   hanya tahu kalau  Jefri adalah seorang introvert yang tidak bisa akrab dengan sembarang orang bahkan cukup lama Eva akhirnya bisa seakrab ini dengan Jefri. Sebenarnya Eva sedikit iri dengan kisah Jefri dan Ovie.

"Makasih wejangannya,  Jef.  Lo nggak ikut  ketempelan juga kan? " ejek Eva.

"Ketempelan setan cewek kayanya, nggak lihat setannya dari tadi nempel gini, ingat lagi puasa woi, " balas Jefri sambil mengusap lembut kepala Ovie. yang menempel di lengannya.

"Udah buka puasa kok," balas Ovie yang menggelayut manja di lengan Jefri.

Eva menggigit bibir saat Jefri mengusap lembut tangan Ovie   supaya tidak kedinginan. Sedangkan Satria saat ini sibuk dengan pacar barunya. Dia duduk tidak jauh dari mereka, hanya berjarak dua meja.

***

“Ly, ada yang nyariin, “ panggil Bu Erna dari luar.

“Siapa, Bu?” tanyanya.

“Cah Bagus. Dia nggak mau masuk, katanya nunggu di luar aja, “ jawabnya.

“Makasih ya, Bu, ” Lily keluar dari kamar,  Dani datang disaat yang tepat karena sebenarnya Lily berniat untuk bertemu Dani. Prahara keduanya belum selesai.

“Ehem. Rapi bener, mau kemana?” tanya Lily  sesampainya dia di depan. Lilysempat kaget saat melihat Dani datang memakai peci lengkap dengan sarung menutupi kaki panjangnya yang dipadukan dengan baju koko warna putih membuat Dani terlihat berbeda malam ini.

“Tarawih. Buruan ambil mukena, gue tunggu. Sekalian ambil air wudhu ya, mukena yang atas di pakai juga gak papa, bawahannya di pakai pas udah sampai Mushola aja. Nggak pakai lama, kita ke Mushola deket sini aja,"

“Iya bawel,”  meski kesal dengan Dani, toh dia menuruti semua yang Dani katakan.

***

“Dan, lo masih marah? “ tanya Lily hati-hati saat mereka kembali dari Mushola.

“Gue nggak pernah marah sama lo,” balasnya.

Mulut Lily menganga, dahinya berkerut.

“Terus kenapa lo ngediemin gue pagi itu,“ protesnya.

“Karena lo nyebelin,“ ketus Dani.

“Gue? “ ibu jari Lily menunjuk ke wajahnya.

“Lain kali gue jelasin. Maaf kalau gue ada salah. Sampai bertemu besok  ya, “ balas Dani.

"Gue juga minta maaf,  lagi, " ucap Lily sebelum Dani pergi masuk ke mobil.

Dani tersenyum dan mengangguk pelan.

"Kita sama-sama salah. Bagus kalau sadar, karena hubungan tanpa status seperti ini tidak mudah, kan? "

Lily terdiam. Dia tertohok ucapan Dani. Mereka tanpa status, iya Dani benar. Seharusnya Lily sadar itu. Tapi, dia menolak kenyataan itu. Dia ingin lebih dari sahabat tapi tidak bisa melawan kehendak ayahnya.  Tanpa disadari pipinya basah. Rasa sakit yang dia singkirkan jauh-jauh kembali dia rasakan.

Assalamualaikum Gus DaniOù les histoires vivent. Découvrez maintenant