💚Jogja💚

17 2 2
                                    

"Mas, Lily boleh tanya?" tanya Lily hati-hati saat Gilang mengantarnya kembali ke Jogja.

"Apa?"

"Mas bilang yang nikah duluan Yanti sama mas, kenapa jadi Lily duluan?"

Gilang menoleh sesaat kembali berkonsentrasi dengan jalanan yang masih berkabut.

"Yanti belum lulus kuliah, kenapa? Nggak mau nikah sama Dani? Punya calon lain? Atau sebenarnya kamu suka sama Gus Al?" cecarnya.

"Mana yang harus Lily jawab dulu, satu-satu dong kalau nanya," protes Lily.

"Mau dibatalkan?" Gilang menatap lembut Lily.

"Nggak!"

"Lalu?"

"Kelamaan, masih beberapa bulan lagi ketemunya sama Dani.  Lily sekarang aja udah kangen," rengeknya.

"Gatel emang, sabar dong. Toh nantinya bakal seatap berdua satu kali dua puluh empat jam ketemu. Kalau perlu rantai Dani biar nggak pergi kemanapun," Gilang mulai emosi mengahadapi adik semata wayangnya.

"Mas mah gak paham, diem deh," ucap Lily sewot. Dia menempelkan wajahnya di jendela. Matanya fokus ke jalanan yang masih sepi.

'Jogja pasti terasa berbeda tanpa kamu di sana, Dan' batinnya.

Lily terkejut saat Gilang tiba-tiba mobil berhenti. Terlebih lagi keningnya terbentur kaca mobil.

"Mas,  jangan ngerem mendadak dong. Sakit tauk kening Lily," omelnya.

"Biar tambah syahdu ngegalaunya, turun dek. Dari terminal kamu diminta Ayah  untuk kembali ke Jogja sendiri. Ini tiket bis nya, tuh bisnya sebelah sana," Gilang menunjuk ke sebuah bis antarkota.

Lily menatap kakaknya tak berkedip. Dia tidak percaya jika kakaknya akan melepaskan dia sendirian,  sedang Gilang dan ayahnya tahu bahwa Lily belum pernah sama sekali naik bis ke Jogja.

"Mas jangan ngeprank dong, udah cukup ngerjain Lily selama bulan april,"

"Silakan keluar, sebentar lagi bisnya akan berangkat. Bawa harta kamu," Gilang mengambil tas punggung dari kursi belakang.

"Mas, ini serius?"

Gilang mengangguk cepat. Lily merebut paksa tas punggungnya lalu secepatnya meninggalkan Gilang.

"Sampai Jogja kabarin Ayah, assalamualaikum," teriak Gilang.

"Waalaikumsalam, Mas nyebelin!" balasnya.

Gilang tak bisa menahan tawa melihat adiknya ngambek seperti itu.

***

Lily harap-harap cemas naik ke bis, dia memilih duduk di belakang sopir. Lily pernah membaca bahwa duduk di belakang sopir posisi teraman.

"Untung aja aku bawa baju dikit, coba kalau bawa koper. Ayah sama Mas Gilang mah raja tega. Kenapa nggak beliin tiket pesawat aja sih, malah suruh naik bis. Nggak takut apa kalau anaknya ilang," Lily bermonolog sendiri sambil menatap keluar jendela. Terminal sudah mulai rame. Satu persatu penumpang menaiki bis. Lily tidak tertarik melihat ataupun menyapa penumpang lain. Toh,  mereka juga tidak saling kenal. Pilihan terbaik adalah duduk seperti sekarang, di tepi dekat jendela. Tanpa perlu berbasa-basi dengan orang asing.

"Mbak kacang mbak, dari pada dikacangin mending ngemil kacang,"

Suara pedagang kaki lima yang naik ke bis serasa tidak asing ditelinga Lily. Dia segera menoleh ke sumber suara. Manik mata Lily melebar, senyuman yang sejak tadi hilang kembali muncul di wajahnya. Untuk sesaat keduanya hanya saling tatap tapi tak lama tas punggung dalam pangkuan Lily dia lempar ke pedagang kaki lima yang kini duduk di kursi sebelahnya.

"Berat Mbak, mau beli kacang nggak? Saya bukan kuli panggul loh," ucapnya.

"Bisa kan berhenti ngerjain aku, Dan. Kesel banget sih, dikerjain terus." Lily memukul lengan Dani bertubi-tubi.

"Sakit, Ay. Maaf,  ayah yang minta aku buat anter kamu.  Kebetulan aku ada urusan sama Kak Ika, setelah itu balik ke Surabaya. Ih kangen banget sama Ning Lily," Dani menarik gemas hidung Lily.

"Sakit peak!"

Lily mengibaskan tangan Dani dan mengusap lembut hidungnya.

"I miss you," ucap Dani kemudian mencium puncak kepala Lily. 

Lily melingkarkan tangannya di lengan Dani dan mengistirahatkan kepalanya di sana.

***

"Harus langsung pulang ke Surabaya? Nggak nginep di Jogja sehari atau dua hari gitu?" tanya Lily setengah merajuk.

"Kita kan lagi dipingit, Ay. Sabar ya, bulan depan kan kalau nggak ada halangan kita udah seatap berdua," ucap Dani mencoba menenangkan
Semestanya.

"Ya udah, pergi sana! " Lily melepaskan genggaman tangan Dani dengan kasar.

"Heh.  Kalau mau protes tuh sama ayah jangan sama gue,"

"Lo tuh nggak pernah peka!"

Lily mendorong tubuh Dani kemudian berlari masuk ke kos an. Dani menghela napas dan menggeleng pelan.

"Lily oh Lily, sejak dulu nggak berubah, ngambekan," gumamnya.

Ting!

Sebuah pesan dari Lily pop-up di ponselnya.

"Hati-hati😒"

Dani tergelak,"Gemesin banget sih kalau lagi ngambek,"

Lily baru saja ingin menempelkan pantatnya ke kursi saat kamar kosnya diketuk.

"Siapa sih, ganggu aja, tinggal sedikit lagi mendarat mulus di kursi, ngeselin emang human sekitar gue," gerutunya.

Manik matanya melebar saat membuka pintu mendapati Dani berdiri sambil merentangkan kedua tangannya.

"Surprise!" serunya.

"Heh! Peak! Kalau ibu kos tahu, bahaya, ngapain sih sampai masuk ke sini," omel Lily.

"Peluk dulu. Capek nih tangannya," balas Dani santai.

"Hah? Saraf lo geser ya waktu gue dorong tadi?"

"Ah, capek banget.  Udah dibelain minta ijin Bu Erna biar bisa pamitan secara baik-baik malah kena omel," keluhnya. Lily tersenyum dan menggamit lengan Dani.

"Apaan nih, main pegang-pegang,"

Lily seolah tidak mendengar ucapan Dani, bukannya merenggangkan tangannya, dia justru menyandarkan kepalanya di lengan Dani.

"Gue juga kangen sama lo tapi banyak hal yang harus di urusi untuk persiapan pernikahan kita, Ay. Gue sebenarnya  juga nggak mau jauh dari lo, ini kan cuma sementara.  Sabar ya," ucap Dani sambil mengusap lembut pipi Lily. Dia menurunkan tangan Lily dari lengannya lalu membawa masuk tubuh mungil itu dalam dekapannya.
Keduanya diam beberapa saat dalam dekapan hangat, menyalurkan rindu setelah beberapa hari tidak bertemu.

***

Sampai jumpa di versi cetaknya. Bab terakhir ada disana. Muah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Assalamualaikum Gus DaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang