💚Pengecut💚

17 5 2
                                    

"Ngaku deh, Mas Gilang baik gini pasti ada maunya," ujar Eva.

"Kafenya bagus ya, lain kali mas ajak Yanti ke sini ah," Gilang mencoba mengalihkan arah pembicaraan.

"Ovie doain mas budek beneran," sindir Ovie.

"Astaghfirullah bibir nggak difilter dulu kalau ngomong," balas Gilang.

Lily memilih berkutat dengan ponselnya, dia tidak tertarik dengan obrolan mereka bertiga. Wajahnya tampak murung sejak pagi karena sampai Magrib, Dani belum juga ada kabar.

"Ning Lily kalem amat," sindir Eva.

Lily menatapnya sejenak kemudian kembali fokus ke ponselnya.

"Gimana nggak galau tiba-tiba ayah datang," tambah Ovie.

"Memang kenapa kalau ayah ke Jogja?" tanya Gilang.

"Mas gilang, dia belum siap untuk bertemu calon suami, apalagi sampai memikirkan tentang pernikahan," jelas Eva.

"Cuma pertemuan biasa kok, kalaupun Lily nggak cocok nantinya Ayah nggak bakal maksa dia, ayah bukan orang kuno ya," tutur Gilang.

"Tapi ayah bilang kalau ini terakhir kalinya ayah menjodohkan Lily. Setelah itu Lily harus ikut ayah ke Semarang dan menikah," ujar Lily.

"Percaya deh sama omongan mas Gilang," Gilang berusaha meyakinkan Lily.

"Jangan percaya, Ly. Musrik loh percaya sama manusia," canda Ovie.

Gilang melemparkan tatapan tajam ke Ovie.

"Hahaha. Bisa ngamuk juga Gus Gilang," ejek Eva.

Eva dan Ovie tertawa puas melihat ekspresi yang terlihat di wajah Gilang.

"Mas tuh tahu kalau kamu galau karena selama ini sudah dekat dengan seseorang, iya apa iya?" Gilang menyenggol lengan adik semata wayangnya.

"Sok tahu," balasnya sinis.

"Tahulah,  bagaimanapun aku tuh mas mu, yang kelihatannya cuek tapi selalu ngawasin adeknya yang jauh dari rumah. Temen mas tuh di Sleman banyak,  apalagi mereka kenal kamu. Udah, nggak usah khawatir. Ayah belum tahu soal ini dan mas pastikan aman. Pertemuan besok anggap saja silaturahmi, ayah nggak akan nikahkan kamu secepat itu, hla wong mas aja belum nikah," jelas Gilang.

Senyum merekah di wajah Lily. Ucapan Gilang membuat beban di pundaknya menjadi ringan. Lily tidak pernah menyangka ternyata kakak semata wayangnya selama ini menjaganya saat jauh, bahkan mencari cara agar ayahnya tidak mendesaknya untuk menikah dengan Gus pilihan ayahnya.

Drrrt! Drrt!

Lily terkejut saat ponselnya bergetar di atas meja. Wajahnya terlihat panik saat melihat nama Dani muncul. Bukannya menjawab dia justru menekan logo telepon warna merah.
Tak lama sebuah pesan dari Dani pop up.

"Have fun. Maaf kalau ganggu, baik-baik ya di sana, Ay"

Lily menggigit bibirnya, orang yang ditunggu akhirnya mengabari tapi sayangnya di waktu yang tidak tepat. Dia menatap lesu layar ponselnya yang kembali gelap. Membiarkan pesan Dani tak terjawab.

***

Suasana Kafe lebih rame menjelang isya. Beberapa orang yang baru pulang kerja memenuhi meja. Di tambah hiburan musik yang memanjakan telinga para pengunjung.

Ting!

Suara pesan masuk di ponsel Eva membuat si pemilik memberengut.

"Siapa? Bete amat muka lo?" tanya Ovie.

"Siapa lagi? Pasti si sat set," ejek Lily. Dia sudah kembali ceria, mungkin karena kabar Dani atau karena penjelasan Gilang tadi.

"Ngapain sih pakai acara telepon segala," gerutu Eva. Setengah hati dia menyentuh logo telepon berwarna hijau di ponselnya.

"Passwordnya?" sapa Satria diujung sana.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam, ah lu mah nggak asik. Diajak becanda kaga bisa,"

"To the point. Ada apa gerangan telepon saya? Bukannya anda sedang bersama mbak pacar?"

"Iya, ga papa dong gue telepon sahabat terbaik gue, pelarian terindah gue,"

"Matiin teleponnya deh. Gue lagi ga pengen becanda,"

Eva melongo saat Satria memutus sambungan telepon begitu saja.

"Hah? Mampus, marah dia, Satria ngambekan. Kenapa jadi lo yang marah?" Eva ber monolog dengan ponselnya.

"Asaalamaualaikum,  selamat malam, dan selamat berbuka puasa. Semoga puasa hari ini berkah. Aamiin," ucap seorang pemuda dengan gitar dari atas panggung.

Eva, Ovie, dan Lily mengatupkan kedua tangannya di bibir saat melihat pemuda yang berdiri di sana.

"Satria! " ucap ketiga serempak.

"Sebenarnya saya bukan pengisi acara malam ini, saya maksa yang punya kafe, hehehe.  Singkatnya, saya ijin perform untuk meminta maaf ke seseorang,  seorang gadis yang selama ini jadi pelarian terindah di saat saya gundah, awalnya, jadi rumah saat saya butuh tempat berteduh, menjadi pendengar disaat saya butuh telinga, dia hebat, bisa menempatkan diri kapan jadi pendengar dan kapan harus berbicara. Seseorang yang diam-diam merasakan sakit hati dan cemburu tanpa saya sadari saat cerita tentang gadis lain terlontar dari lisan saya. Dia menutupinya dengan tawa dan candaan garing. Beberapa hari ini dia marah dan mendiamkan saya. Alasannya karena saya punya pacar, padahal sejak kenal juga saya sudah punya pacar dan kita baik-baik saja. Dia tidak pernah protes, sehari dua hari saya tahan dia diamkan saya. Tapi,  ada yang hilang setelah itu. Saya seperti kehilangan rumah,  tidak ada lagi tawanya, kecerewetannya, ngambek nya, dan yang lebih saya rindukan omelannya saat melihat saya berkumis.  Dia akan berceramah tanpa henti, lewat lagu yang akan saya nyanyikan nanti. Saya harap dia paham posisinya di hati saya dan memaafkan saya. Gadis itu ada di sini, lima menit lalu baru marahin saya, jahat dia. Ngeselin,  tapi ngangenin. Hehehe. Hai cewek ngeselin,  gue nggak punya pacar ya, dia itu sepupu gue, dan setiap gue cerita tentang pacar-pacar gue, itu semua bohong. Gue cuma pengen tahu apakah lo juga punya rasa yang sama kek gue. Tiga tahun bukan waktu yang singkat menjaga rasa ini, alasan kenapa gue lakuin itu tentu lo paham. Menjaga lo tetep di sisi gue jauh lebih sulit dibandingkan menyatakan rasa gue, gue gamau kita jauh karena perihal rasa yang tak terbalas nantinya, sebuah lagu dari Fiersa Besari yang berjudul Pengecut, gue persembahkan buat lo, maafin gue peak," tutur Satria.

Eva menutup wajah menggunakan kedua tangannya. Dia tidak menduga satria akan melakukan ini. Ovie dan Lily mengusap lembut pundaknya.

"Lega kan lo, doi ternyata juga punya rasa yang sama," ucap Ovie.

"Pada akhirnya nggak ada kata sahabat antara cowok sama cewek," tambah Lily.

Gilang yang baru kembali dari kamar mandi bingung melihat Eva menangis.

"Kenapa?" tanya Gilang.

"Kepo!" balas Ovie dan Lily.

Gilang melengos, dia memilih diam karena berurusan dengan ketiga gadis itu tidak ada ujungnya.

Aku hanya seorang pengecut sedang jatuh hati
Memberi perhatian tapi bukan kepastian
Kau pun terbiasa untuk pura-pura tak tahu
Biarlah aku tetap menjadi pengagum rahasiamu

Setiap kali terjaga
mencoba membunuh rasa
Tanpa pernah menyadari
sakiti diri sendiri

_Fiersa Besari(pengecut)_

Assalamualaikum Gus DaniWhere stories live. Discover now