BAB 3. AXELA

136 103 76
                                    


Seusai menyaksikan pergelutan antara Alex dengan zombie hasil eksperimen, Jason segera pergi menuju gedung JC Corporation untuk menghadiri rapat penting antara petinggi perusahaan dan klien bisnis mereka. Rapat kali ini dihadiri oleh dua puluh orang.

Salah satu pemegang saham yang duduknya berseberangan dengan Jason tampil glamour memakai blazer dari Louis Vuitton. Wanita itu adalah kerabat ibunya Jason yang telah meninggal, namanya Grace. Grace mengangkat dagunya dengan tatapan angkuh, seolah meremehkan siapa pun yang berada disekitarnya.

"Tuan Jason, seberapa besar anda berani menjamin bahwa keuntungan kami akan meroket tinggi setelah terjadinya wabah ini?" tanya Grace memastikan.

"Saya berani menjamin keuntungan yang kita dapatkan akan mencapai seratus persen. Hasilnya akan sepadan walau harus mengorbankan seluruh kota untuk memulai wabah ini. Pemerintah juga telah setuju bekerja sama dengan kita untuk mencegah wabah ini menyebar sampai ke luar kota. Nantinya, mereka yang berasal dari kalangan atas, akan membeli obat yang kita tawarkan berapa pun harganya demi kesembuhan mereka. Tentunya setiap penderita virus ini tiba di rumah sakit, pihak dokter akan langsung menawarkan antivirus milik kita sebagai obatnya kepada mereka yang mampu," tutur Jason.

"Apakah antivirus dan virus MARS yang kita punya memiliki perbedaan signifikan?" tanya seorang pria pemegang saham.

"Virus MARS biasanya disebut dengan virus alien, karena mereka mampu bertahan di planet lain tanpa adanya makhluk hidup sebagai inang. Mereka mampu mematikan sel sehat, sifatnya sangat merusak DNA. Sedangkan antivirusnya berasal dari bakteri Cyanomia yang hidup di lapisan terbawah planet MARS. Sifatnya berlawanan dengan virus MARS, dan jika keduanya dipadukan maka bakteri tersebut akan menghancurkan virus MARS. Itulah mengapa kami menyebutnya sebagai obat."

"Wow." Grace tersenyum bangga setelah mendengarkan penjelasan Jason.

"Bisakah kita mempercepat penyebaran wabah itu, melalui udara atau seperti apa?" tanya seorang pria paruh baya berkumis tipis.

"Tentu saja bisa, lebih cepat lebih baik," sahut Grace ambisius.

Jason mengangguk setuju dan menjelaskan metode seperti apa yang akan ditempuh. Semua orang bertepuk tangan seusai mendengarnya.

***

Apartemen Josh.

Hari ini adalah hari minggu, saatnya bagi mereka yang bekerja untuk beristirahat di rumah atau mencari hiburan dengan berbelanja dan pergi ke berbagai tempat. Langitnya begitu cerah, cahaya matahari merasuki sebuah dapur berdesain minimalis warna pink dengan perabotan memasak seadanya.

Josh memasak menu kesukaannya, yaitu telur mata sapi. Sambil bersenandung, Josh memutar musik di ponselnya agar suasananya terasa lebih hidup. Paginya terasa lebih menyenangkan ketika mendengarkan alunan musik DJ, Josh menggerakkan tubuhnya memutari meja kecil dengan kedua tangan terangkat mengikuti alunan musik bertempo cepat.

Telur mata sapi buatannya sudah setengah matang, Josh langsung mengambil teflon lalu meletakkan telur di atas piring berbentuk oval yang sudah diisi dengan kentang tumbuk serta kacang polong rebus.

Kemudian Josh mengeluarkan roti pizza buatannya dari oven, matanya membola melihat hasilnya yang mengecewakan, pinggiran rotinya berwarna kehitaman alias gosong. Dia membawa pizza yang masih panas ke atas piring lebar berwarna hitam kemudian berbalik mengambil ponselnya yang terletak di nakas samping meja dapur untuk mengganti musiknya.

Ketika meraih ponselnya, secara tak sengaja lengannya menyenggol segelas air es sampai meluber ke lantai.

"Shit! Aaarghh!" Josh berteriak mengacak rambutnya, menurutnya membuat pizza itu sungguh merepotkan. Dia sudah berusaha maksimal menguleni adonan pizza, namun ternyata, rotinya masih agak keras, sungguh tak layak dikonsumsi.

THE SUPERIORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang