Chapter 10 Benteng Perlindungan

2.6K 103 69
                                    

Dewo dan ayahnya sedang berada di dalam gym sederhana yang mereka bangun sendiri di rumah. Suhu udara terasa panas, ditambah lagi dengan aroma keringat yang menyebar di udara.

Remaja berotot itu mengangkat barbel besi dengan tenaga penuh, tubuhnya berkeringat dan otot-ototnya menegang. Ia bergerak dengan halus, mengikuti alur instruksi yang telah diajarkan oleh ayahnya. Mereka berdua mengambil alih mesin lat pull down, bergantian melakukan latihan. Dewo merasa bahagia bisa menghabiskan waktu bersama ayahnya seperti ini, merasakan kehangatan dan keakraban yang hanya bisa didapat dari sang ayah.

Ayahnya berdiri di belakang Dewo, memperhatikan gerakan-gerakan yang dilakukan dengan seksama. "Dorong tubuhmu sedikit ke belakang, nak. Ya, begitu. Jangan lupa napasnya," kata ayahnya

Setelah itu Dewo dan ayahnya sedang berlomba-lomba untuk menunjukkan siapa yang punya bicep terbesar. Kedua laki-laki itu berdiri berdampingan di depan cermin, mengangkat lengan mereka dan menegangkan otot bicep

"Kamu semakin berotot, ya, Nak! Tidak sabar untuk melihat kapan ototmu akan lebih besar dari milik ayahmu!" kata ayahnya sambil tertawa.

Dewo tersenyum dengan bangga .

"Yang bikin ayah kaget, nilai kamu di sekolah, kok meningkat pesat ya? Ayah kamu bodoh gini kok bisa punya anak kayak kamu," kata ayah Dewo

Dewo terseyum lebar, namun ada rasa sesak di dadanya yang ia harus keluarkan.

Ayahnya menyentuh pundak Dewo dengan penuh kehangatan, memecah keheningan yang tercipta di antara mereka. Dewo melihat ekspresi ayahnya melembut.

"Kau tahu, anakku, ibumu pasti akan bangga melihat betapa kuatnya dan percaya dirimu sekarang," ujarnya dengan suara yang lembut. "Dan aku juga sangat bangga. Kau adalah anak yang luar biasa, Dewo."

Dewo merasakan hatinya tersentuh oleh kata-kata ayahnya.

"Kamu kelihatan bersinar sekali hari ini?" kata ayah Dewo, "Kamu dan Dinda akhirnya gituan ya?" kata ayahnya disusul tawanya yang khas menggelegar.

Dewo mengepalkan tanggannya, berusaha menggengam tekad "Ayah, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu," Dewo berkata perlahan.

Ayahnya menatap Dewo dengan tatapan yang sulit untuk dibaca. "Apa itu, Nak?"

Jantungnya berdegup kencang seperti kuda liar yang ingin melepaskan diri dari kandangnya. Sedemikian kencang hingga kepalanya terasa berdenyut.

Sebelum bertemu Rama tindakan yang akan dilakukannya serasa mustahil, tapi sekarang malah mustahil untuk menyembunyikannya lebih lama kepada ayahnya.

Dewo menelan ludah, dan menghela nafas. "Aku...aku gay, Ayah."

Ayah Dewo tidak bisa menahan tawanya.

Namun, ketika dia melihat wajah serius anaknya, tawanya berhenti.

Matanya bergerak bolak-balik seakan berusaha memproses apa yang terjadi.

Dalam sekejap, dia menyadari bahwa Dewo tidak bercanda.

Kebenaran itu menyambarnya seperti petir.

"Ayah, saya...saya gay, dan saya sudah memutuskan Dinda," ungkapnya dengan suara gemetar.

Ayahnya merasakan badai emosi yang menerpa batinnya. Ekspresinya seperti campuran, kekagetan, lalu dari tatapan lembut yang dipenuhi cinta, menjadi kerutan dahi yang penuh kekhawatiran. Ada kebingungan dan rasa takut di matanya, dan akhirnya kekecewaan.

Ayah Dewo berjalan menjauhi putranya, berhenti, lalu berbalik lagi menghadapi putranya dengan pandangan tajam yang mencerminkan emosi yang bergejolak. Wajahnya memerah, memancarkan rasa marah yang menyala-nyala seiring dengan ketakutan yang menyelubungi hatinya.

Janji Takkan Kemana-mana, Ya?Where stories live. Discover now