13. Marah besar

381 44 14
                                    

Ethan dan ketiga saudaranya itu berjalan cepat menyusuri koridor sekolah, di ceknya kelas Aliva namun tak ada seorangpun yang berada di dalam sana, pikirannya terus menerawang kepada perempuan itu hal apa yang dia tawarkan sampai bisa mengenal kriminal seperti Marcus? Apa yang sebenarnya mereka rencanakan?

"Gak ada ya?" tanya Darnel penasaran.

Ethan menggeleng "Gue yakin Aliva masih di rumah sakit itu." jawabnya menahan setumpuk gejolak amarah yang bisa meledak kapan saja.

Elina menunduk, takut terjadi sesuatu yang membahayakan dirinya. "Sebenarnya aku salah apa sama  mereka? Aku takut, aku gak pernah tenang kalau sudah menyangkut Marcus, dia gila, dia bisa bunuh aku kapanpun." ucapnya lirih.

Vinnce yang melihat itu merasa tak tega, bagaimanapun Elina tetap adik kesayangannya. Dia juga tak rela sesuatu yang buruk terjadi kepada adik kecilnya itu. "Tenang aja, kakak selalu ada untuk kamu. Jangan nangis ya kita semua bakal jagain kamu." ucapnya menenangkan.

Ethan semakin mengeratkan kepalan tangannya sampai urat-uratnya terlihat wajahnya sudah merah padam, kalau saja Aliva ada di sana mungkin gadis itu sudah babak belur.

"just calm down Elina, urusan Aliva sama Marcus biar kakak yang selesain." ujar Ethan mengelos pergi dari sana tak lupa ia juga mengecup pucuk kepala adiknya itu.

"Kali ini kak Ethan gak main-main sama ucapannya." ujar Darnel.

"Biarin dah biar tau rasa si Aliva!" jawab Vinnce mendengus sebal.

***

Aliva duduk di depan toserba, melamun hal-hal yang membebani pikirannya, perkataan dokter tadi sukses membuatnya tak bisa berpikir dengan tenang. Bagaimana bisa Alva yang notabenenya masih kecil harus di vonis menderita gagal ginjal dan di haruskan untuk Transplantasi ginjal.

Ia tak bisa mengorbankan ginjalnya karena ini bukan haknya biar bagaimanapun juga Arena harus merawat tubuh ini dengan baik meskipun pemiliknya entah kemana. Jika saja tubuh aslinya di temukan ia pasti dengan senang hati mendonorkan ginjalnya.

Hari sudah mulai sore tetapi Aliva enggan untuk beranjak pulang, ia tahu persis kekacauan apa yang akan terjadi di rumah itu, ayahnya akan meluapkan semua emosi dan Ethan entah kenapa di antara semua kakaknya pemuda itu lah yang paling menonjolkan rasa kebencian terhadap dirinya.

"Kira-kira bakal ada masalah apa ya kalau gue pulang?" gumamnya menghela nafas berat.

Setelah di rasa cukup berdiam diri akhirnya Aliva beranjak pergi dari sana. Sepanjang perjalanan ia tidak bisa untuk bersikap tenang bayangan wajah Alva memenuhi pikirannya. Ia kalut tak tahu harus apa lagi untuk adik kecilnya itu.

Semula dirinya dilanda kegelisahan sekarang ia merasakan sekujur tubuhnya merinding tak kala motor yang di tungganginya memasuki pekarangan rumah mewah yang di tempatinya sekarang.

"Hawanya kok merinding banget ya?" gumam Aliva merasa nafasnya tercekat.

Perlahan ia berjalan menuju pintu utama. Di bukanya pintu itu ia sudah di suguhkan dengan keadaan yang ramai Ayahnya, Elina, ketiga saudaranya dan terkahir Vernon beserta teman sekawannya. Terutama melihat Elina yang sudah berderai air mata pantas saja hawanya tidak enak ternyata para pemeran sedang berkumpul.

"Wes ada apa nih rame-rame?" tanya Aliva kikuk.

Tanpa di sadari Alvin berjalan menuju Aliva.

Plak.

Alvin menampar pipi kiri Aliva dengan sangat keras sehingga suaranya terdengar sampai belakang.
Karena tak terima Aliva hendak berkontak namun,

Plak.

PRIKOù les histoires vivent. Découvrez maintenant