00 | Prolog

23 6 8
                                    

Headphone menutupi kedua telinga, memaksa beberapa helai rambut bagian depan yang terurai beralih ke belakang. Tatapan ramah diberikan dengan senyuman mengembang, karena telinganya berfungsi menangkap suara dan nada-nada indah dari lagu yang tengah diputar. Wajah kecil itu semakin bersinar sehingga menambah pesona dalam dirinya.

Pandangannya berkeliling ke seluruh penjuru jalanan yang sedang ramai dipenuhi akan manusia sibuk dengan langkah ringan. Embusan napas panjang dikeluarkan seolah merasa terlahir kembali di dunia-tidak, kenyataannya adalah ia baru terbebas dari kurungan yang telah lama membelenggu.

Tiba-tiba, telinganya berdengung karena suara nada dering telepon yang sedikit mengagetkan. Tombol hijau ditekan dari layar ponsel, menyisakan nada yang menyatakan bahwa panggilan telah terhubung.

"Lama banget jalan-jalannya, baik-baik aja? Sekarang di mana?"

Mendengar ocehan dari lawan bicara di seberang, ia terkekeh kecil. "Baru satu jam, loh, baru sebentar banget ini. Aku baik-baik aja, jangan khawatir gitu, aku bukan anak kecil yang bakalan hilang kalau main. Jangan cariin aku, ya. Lagi nggak mau diganggu, soalnya lagi di tempat yang nyaman banget," balasnya.

"Lagi di taman kota, ya?"

"Loh, kok tahu?" tanya sang gadis. Dahinya langsung berkerut dengan wajah yang tampak bingung.

Terdengar kekehan kecil sang lawan bicara, lalu membalas, "Dulu, kamu sering ke situ, bahkan hampir setiap hari kayaknya. Setiap kali aku ngajak main ke luar, kamu maunya pergi ke taman terus. Emangnya nggak bosen? Ternyata, sampai sekarang pun kamu masih ke sana, walaupun nggak ingat."

Gadis bermata cokelat itu terdiam sejenak, tidak menyangka bahwa ia benar-benar melupakan semuanya. Helaan napas dikeluarkan, memberi tahu kepada dirinya sendiri untuk tidak goyah dan terus berjuang mengingat setiap momen kehidupan yang pernah dilalui. Entah itu kebahagiaan atau kesengsaraan sekali pun, tidak masalah.

"Ya udah, aku tutup teleponnya, ya. Take your time as long as you want."

Setelah itu, terdengar suara yang menandakan panggilan telah berakhir. Sang gadis melanjutkan langkah hingga menangkap keberadaan kursi panjang yang kosong.

Namun, pandangan gadis itu terhenti pada sosok laki-laki berbalut jaket berwarna biru tengah menatapnya. Siapa yang tidak takut jika mendapatkan tatapan seperti itu? Terlebih lagi sang gadis tidak tahu atau mungkin saja tidak ingat dengan laki-laki itu.

"Tapi ... matanya kayak menyiratkan rasa rindu, nggak, sih? Kita saling kenal, ya? Apa aku samperin aja? Tapi, kalau nanti salah gimana? Oh ... sial. Dia malah dateng ke sini."

Saat sibuk berbicara dengan diri sendiri tentang kemungkinan-kemungkinan yang mungkin merupakan kenyataan hidupnya, sosok laki-laki itu mulai mendekat ke arahnya. Panik? Tentu saja. Apa yang sebaiknya ia lakukan?

"Hai, udah lama nggak ketemu. Apa kabar?"

Terlambat untuk berpikir, sudah tidak ada waktu lagi. Laki-laki itu sudah berada tepat di hadapannya dan memulai percakapan. Ia tersenyum kikuk dengan menggaruk alis.

"Oh, hai. Kabarku baik. Em ... maaf, kamu siapa?"

Dahi laki-laki itu mengkerut. "Nggak inget? Kamu yang udah nolongin dan ngebuat aku sadar, meskipun secara nggak langsung."

"Duh, gimana, ya, jawabnya? Maaf banget sebelumnya, tapi aku nggak inget sama sekali."

Sang laki-laki terdiam sejenak menatap gadis di hadapannya tanpa berkedip. "Apa cuma aku yang ingat?" tanyanya kepada diri sendiri.

***

Writer's notes

Hai ... long time no see.

I just wanna tell you a little bit information, so cerita dengan judul I Was Never There ini diikutsertakan dalam Glorious Writing Contest selama 3 bulan ke depan. Jadi, mohon bantuan dan support berupa baca sampai akhir, vote and comment, ya🙌🏻

Semoga kalian suka. Happy reading all!

I Was Never ThereWhere stories live. Discover now