04 | Reality

7 2 0
                                    

Takut dan cemas hingga memunculkan rasa trauma dirasakan Yeri semalaman setelah kejadian aneh itu. Ingin tidur dan segera melupakannya, tetapi tidak dapat terwujud karena bayangan pada siang hari itu terus muncul bagaikan hantu yang mengganggu.

Setelah lelah menutup mata tanpa mendapatkan hasil yang diinginkan. Ia turun dari kasur menuju meja belajar untuk membuka kembali website ask.fm yang sudah lama belum ia buka. Seperti sebelumnya, ia akan menanyakan masalah yang dialami kepada sesama pengguna secara anonim. Biarlah, jika orang lain menganggapnya aneh dan tidak masuk akal, tetapi ada perasaan lega setelah menceritakan segala beban dan masalah hidupnya.

Yeri tahu, sangat tahu bahwa ia seharusnya menceritakan semua itu kepada keluarga, khususnya orang tuanya. Namun, hingga umur yang sudah menginjak delapan belas tahun itu, Yeri masih belum bisa mencurahkan seluruh isi hati kepada mereka. Semua orang pasti menganggap bahwa itu merupakan hal yang seharusnya mudah dilakukan, tetapi Yeri bukan salah satu dari mereka. Ingat, seseorang tidak akan mengerti perasaan orang lain sebelum merasakannya sendiri.

Aku merasakan sensasi seperti tersetrum listrik saat memegang tangan orang lain, kemudian tiba-tiba aku berpindah tempat di mana terdapat peristiwa kecelakaan yang dialami oleh orang yang aku sentuh tadi. Apakah kalian akan percaya dengan apa yang kuceritakan ini? Terlihat aneh bukan?

Yeri menggigit ujung bibir, mencengkeram mouse laptop erat. Ada secuil keraguan dalam hatinya untuk memposting pertanyaan itu. Bagaimana jika respon dari orang lain semakin menakutinya? Bagaimana jika tidak ada yang benar-benar percaya akan ceritanya dan mengira Yeri gila? Pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan, padahal belum tahu pasti apa yang akan terjadi di kemudian.

Setelah beberapa menit memandangi layar laptop, diikuti dengan hati yang mulai bertekad kuat membuat Yeri menekan tombol enter dengan cepat apa adanya-tanpa mengganti satu kata pun dari apa yang telah ia tulis pertama kali.

Lalu, bagaimana selanjutnya?

Apalagi selain duduk termenung dan menunggu. Yeri menunggu jawaban pertama muncul dan sangat berharap orang itu memberikan jawaban sesuai dengan apa yang ia butuhkan.

Ternyata, usahanya dalam menunggu tidak sia-sia. Satu notifikasi masuk, menandakan bahwa ada orang yang baik hati menjawab pertanyaan seorang Lana Kayeri.

Seriusan, apakah itu benar-benar terjadi padamu? Wow ... semua hal yang kau ceritakan membuatku merinding, seperti sedang membaca novel fantasi. Mungkin kamu hanya bermimpi dan mengigau saja. Itu tidak akan dapat terjadi di dunia ini.

Kedua bola mata itu bergerak ke kanan dan ke kiri beberapa kali. Yeri menelan salivanya kuat-kuat karena sedikit kecewa akan jawaban dari anonim lain. Memang benar adanya, semua hal yang terjadi pada Yeri beberapa jam lalu tidak masuk akal dan mustahil terjadi. Ia sangat berharap bahwa semua ini hanya sebuah mimpi dan ia akan segera bangun, lalu kembali ke kenyataan-menjalani hidup normal.

***

"Yer?"

Suara panggilan atas namanya-entah sudah ke berapa kali-disertai sentuhan di pundak membuat Yeri terkejut karena kembali sadar setelah melamun menatap ke luar jendela. Ia menolehkan kepala ke sumber suara dengan dagu diangkat seolah bertanya.

"Jangan ngelamun lama-lama, kalau sampai ketahuan Pak Rafi bakal dapet soal di luar nalar. Kenapa, sih? Ada masalah?" tanya teman sebangkunya yang bernama Karina Della.

"Nggak ada masalah, kok. Cuma lihat langit di luar, cantik banget, jadinya bikin candu," balas Yeri berbisik dengan kekehan di akhir.

"Dua bangku yang di pojok bagian tengah, lagi ngomongin apa, sih? Kayaknya asik, saya boleh gabung?"

Mendengar suara menggoda, tetapi lantang itu, Yeri dan Karina langsung terdiam seperti patung. Kedua kepala bergerak perlahan ke arah sumber suara yang berjalan menuju tempat duduk mereka. Tertangkap basah, hanya dapat menampakkan deretan gigi disertai keringat dingin yang mulai bercucuran. Otak mereka tidak dapat berjalan lancar seolah membeku.

"Hehe, maaf, Pak. Kita cuma ngomong sedikit tentang langit yang kelihatan cerah dan indah banget hari ini," jawab Yeri dengan terbata-bata.

Pak Rafi menolehkan kepala ke arah luar jendela, menatap objek yang sedang dibicarakan oleh kedua siswi di hadapannya. Yeri dapat melihat mata Pak Rafi berbinar sehingga muncul harapan ia tidak akan mendapat pertanyaan apa pun.

"Saya setuju, terlihat indah. Nah, kebetulan saya punya pertanyaan tentang langit. Jika ada dua orang, em ... kita bisa sebut saja sebagai pasangan yang sama-sama menyukai langit. Apa perumpamaan atau hubungan yang dapat kalian buat tentang mereka dan langit?"

Mereka meneguk saliva kuat-kuat, otaknya berpikir keras untuk memahami pertanyaan guru bahasa Indonesia itu dan mencoba merangkai kata-kata yang sesuai, serta dapat membuat Pak Rafi puas sehingga tidak memperpanjang durasi pelajaran.

"Kalau menurut saya, jika sepasang kekasih sama-sama menyukai langit atau istilahnya kayak ... apa namanya? Astro ... astrophile kalau nggak salah. Berarti, cinta yang ada di antara mereka berdua akan tak terbatas karena diibaratkan sepert langit tiada ujungnya," jawab Yeri dengan hati-hati.

Beruntung saja ia sering membaca novel dan puisi bergenre romansa, jadi tidak terlalu sulit untuknya. Bahkan, ia seperti menjelaskan dirinya sendiri yang sedang jatuh hati dengan seseorang pencinta langit juga. Tidak, bukan seseorang yang nyata, tetapi hanya sebatas tokoh dalam cerita fiksi belaka.

Pak Rafi tersenyum dan hendak membuka mulut untuk bersuara, tetapi bel istirahat telah berbunyi secara tiba-tiba sehingga menghentikan pergerakannya.

"Bagus sekali, Yeri. Hampir mendekati dengan jawaban apa yang inginkan. Istirahat sudah datang, silakan keluar. Untuk Karina, jangan lupa kamu masih punya utang sama saya," ucap Pak Rafi.

Senyuman yang semula mengembang, langsung terganti oleh wajah kusam dalam satu detik. Setelah kepergian Pak Rafi, Karina langsung mengeluarkan kata-kata kasar sebagai ungkapan kekesalannya. Padahal baru saja sehari ia masuk sekolah setelah izin karena sakit, tiba-tiba langsung mendapatkan mood buruk, masih pagi lagi. Melihat tingkah teman sebangkunya itu, Yeri hanya bisa tertawa dan menenangkannya.

"Udah, Kar. Mending kita ke kantin aja daripada ngomel terus, isi energi dulu," ucap Yeri dan mendapatkan anggukan kepala dari Karina, pertanda setuju.

Kantin telah dipenuhi oleh puluhan hingga mencapai ratusan siswa yang tengah kelaparan mencari makanan. Yeri dan Karina memutuskan untuk membeli bakso dan memilih meja di bagian tengah-memang hanya meja itu yang tersisa-dekat dengan dinding yang dipasangi televisi di atasnya.

"Ini yang punya tipi, nggak mau ganti channel-nya apa? Nggak seru banget, dari zaman kita orok sampai sekarang, channel yang dipilih berita terus. Sekali-kali yang lain, dong. Minimal film kartun," omel Karina karena merasa jenuh.

"Emang kamu udah di sekolah ini dari orok, Kar? Ada-ada aja kamu, tuh," timpal Yeri sembari menggelengkan kepala dan terkekeh. Kemudian mengalihkan pandangan ke layar televisi yang menayangkan berita tentang kecelakaan.

Telah terjadi kecelakaan tunggal di Bogor Barat kemarin sore hari. Pengendara merupakan seorang ojek online berumur tiga puluh empat, diduga tengah berkendara dan mencoba menghindari anak kecil yang berlari ke tengah jalan untuk mengambil mainannya ....

Yeri menghentikan aktivitasnya, terdiam sejenak untuk memahami apa yang telah didengar. Pikirannya kembali ke dua puluh satu jam yang lalu, di mana ia sampai ke rumah dengan memesan ojek online.

Apa itu orang yang sama? Pengelihatan kemarin itu menjadi nyata? Nggak mungkin, 'kan? Ah, pasti itu orang lain dan cuma kebetulan. Tapi ..., kejadiannya sama persis sama yang apa aku lihat kemarin.

Pertanyaan dan kemungkinan-kemungkinan mulai bermunculan di pikirannya. Wajah Yeri mulai terlihat seperti sedang ketakutan disertai munculnya keringat dingin.

Hal itu membuat Karina yang berada di hadapannya cemas. "Yer, kenapa? Kok tiba-tiba bengong? Keluar banyak keringet lagi, kamu sakit?" tanyanya sembari memegang dahi Yeri dengan punggung tangan.

Namun, Yeri langsung menepis tangan miliknya. Pandangan mereka saling bertemu dan Karina merasa asing dengan tatapan Yeri yang satu itu memunculkan hal-hal negatif yang mulai menyerbu pikirannya.

"Yer, kamu nggak kesurupan, 'kan?"

[]

I Was Never ThereWhere stories live. Discover now