06 | An Idea

11 2 0
                                    

Entah sudah berapa kali ia menghela napas panjang sembari menatap langit malam yang dikerumuni banyak bintang melalui jendela kamar. Pergerakan tubuh untuk mencari posisi ternyaman juga sudah dilakukan berkali-kali dalam waktu satu jam.

Sudah dapat dipastikan dan tidak perlu menerka-nerka lagi mengenai hal yang sedang menganggu pikirannya. Ya, Yeri masih memikirkan 'kemampuan' anehnya itu. Apa lagi? Ia terlalu sibuk untuk memikirkan hal lain, bahkan tugas sekolahnya pun rela ditelantarkan.

Memikirkan satu hal tidak berujung itu saja sudah membuatnya pusing tujuh keliling. "Mungkin itu cuma sementara dan bakalan hilang selama beberapa waktu. Nggak mungkin selamanya, 'kan? Bisa gila aku," desahnya.

Tidak kunjung mendapatkan jalan keluar karena ia kembali menjadi seorang pengecut. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk bercerita kepada kedua orang tuanya saat makan malam tadi. Tidak siap akan reaksi mereka setelahnya, padahal ia mengambil risiko dengan menceritakan itu kepada kedua teman dekatnya.

Tubuh disenderkan kepada kursi dengan tangan diletakkan di atas dahi, merasa pusing dan berusaha untuk berhenti berpikir, tetapi tidak bisa. Jika ada penonton melihat film dengan tokoh utama seperti Yeri, dapat dipastikan mereka akan menguap beberapa kali karena bosan dan merasa kesal melihat perilakunya.

Dua hingga lima menit telah berlalu dalam kesunyian, Yeri tiba-tiba beranjak dari duduknya saat melanjutkan berpikir yang terlihat menyia-nyiakan waktunya. Matanya berbinar seperti telah memenangkan sebuah lotre. Ia mendapatkan sebuah ide.

"Gimana kalau aku bantu orang-orang yang mau meninggal itu? Kalau aku bantu mereka, mungkin aja mereka akan selamat dan bisa hidup lebih lama lagi?"

***

"Hah? Yang bener aja, Yer? Itu kalau dipikir-pikir nggak bakalan terjadi. Di luar nalar, mustahil."

Karina kaget luar biasa setelah Yeri menjelaskan ide yang malam didapatkan, berencana untuk memanfaatkan 'kemampuan' yang baru saja dimiliki. Memang, tidak habis pikir dan sangat di luar nalar. Karina berpikir bahwa semua itu tidak akan pernah terjadi karena tidak ada yang dapat merubah takdir Tuhan, apalagi jika berhubungan dengan kematian manusia. Itu sama saja dengan menentang takdir-Nya, bukan?

Perasaan takut akan kondisi kejiwaan salah satu teman baiknya itu memburuk mulai muncul tanpa diundang. Apakah Yeri baik-baik saja? Apakah mungkin gadis itu sangat depresi karena 'kemampuan' itu sehingga tidak dapat berpikir jernih dan berakhir pada kesimpulan penyelamatan nyawa seseorang yang akan dijemput malaikat maut?

Beruntung saja kelas sudah sepi tanpa kehadiran makhluk hidup selain mereka berdua karena yang lain telah berubah menjadi zombi kelaparan tingkat tinggi setelah pelajaran sejarah selesai. Begitu juga dengan Karina sebenarnya, tetapi ia langsung ditahan oleh Yeri yang sudah tidak dapat menahan diri untuk bercerita.

"Tapi, apa salahnya mencoba? Mungkin aja bisa, 'kan, Kar? Terus kalau nggak bisa, mau buat apa 'kemampuan' yang aku punya ini? Apa cuma buat aku menderita seumur hidup?" keluh Yeri. Bahunya mulai bergetar dengan mata yang sedikit memerah dan berair terlihat ingin menangis.

Melihat hal itu, Karina langsung merasa bersalah dan sedikit canggung, bingung harus berkata apa lagi untuk membalas lawan bicaranya itu. Kemudian, ia bergerak untuk mengusap punggung Yeri berharap dapat menenangkannya.

"Loh, tumben nggak keluar? Pantesan dari tadi aku tunggu di lorong nggak nongol-nongol. Lagi ngapain, sih?"

Suara itu. Suara yang sangat ingin Yeri dengar, telah dinanti-nanti. Ia tersenyum kecil, tetapi tangisnya mulai menjadi membuat kedua orang itu terkejut dan memfokuskan diri kepada gadis yang duduk di bangku dengan wajah tertutup disertai bahu bergetar.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 28, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

I Was Never ThereWhere stories live. Discover now