05 | You're Not Alone

5 2 0
                                    

Yeri berhasil tersadar kembali dan menenangkan diri setelah beberapa kali embusan napas dikeluarkan. Karina tampak bingung harus melakukan apa, sedari tadi hanya menoleh ke kanan dan ke kiri sembari mengusap punggung Yeri berharap dapat menyalurkan energi positif.

"Yer? Sumpah aku takut banget, kamu kenapa, sih? Nih, minum dulu," tanya Karina panik dan menyodorkan sebotol air mineral miliknya.

"Maaf, Kar. Nggak tau ... aku tiba-tiba kayak sesek gitu. Sekarang nggak apa-apa kok," balas Yeri. Suaranya masih terdengar kecil dan tangan yang terulur untuk menerima pemberian botol terlihat bergetar.

"Udah nggak apa-apa apanya, itu tangan masih gemetar. Kok bisa, sih? Emang kamu habis lari seratus kilo meter atau lihat hantu gentayangan? Wajahmu pucat, Yer," ketus Karina.

Mendengar hal itu, Yeri hanya menampakkan deretan gigi sembari mengatur kembali napasnya. Baru saja menjernihkan pikiran untuk tidak bercerita tentang apa yang terjadi sebenarnya karena ia tidak mau menambah beban kepada orang lain dengan sesuatu yang menurutnya sendiri terasa janggal dan aneh. Lalu, bagaimana pendapat orang lain? Pasti akan lebih buruk dari itu, bukan?

"Loh, Yeri kenapa?"

Suara berat itu membuat keduanya menolehkan kepala ke sumber suara yang mendekat ke arah mereka. Kerutan di wajahnya tampak mencemaskan nama yang diucapkan. Kedua maniknya menatap Karina yang berdiri di sebelah Yeri seolah memaksa meminta jawaban. Melupakan kehadiran Karina yang sudah lama tidak berjumpa dan tidak sempat bertukar sapa.

"Nggak tahu, dia tiba-tiba diem terus tatapannya kosong kayak orang kesurupan, napasnya juga sesek katanya. Tiba-tiba banget, padahal sebelumnya juga nggak kenapa-kenapa," jelas Karina.

"Nggak ada yang tiba-tiba terjadi, pasti ada alasannya. Iya, 'kan, Yer?" tanya Sam. Tatapannya mengartikan bahwa ia sangat butuh penjelasan dan menolak mentah-mentah alibi yang dibuat Yeri.

Sedangkan Yeri tidak tahu harus berbuat apa, haruskah ia menceritakan hal yang sebenarnya kepada mereka—bahkan belum diketahui oleh orang tuanya sekali pun? Namun, apa salahnya? Mungkin saja ia akan mendapatkan jawaban dan bantuan untuk menghadapi masalah anehnya itu, apalagi Sam dan Karina merupakan teman dekat yang sudah sangat ia percayai karena sering bertukar rahasia tanpa ada kebocoran sedikit pun.

"Em ... di sini ramai, kita pindah ke tempat yang sepi aja. Perpustakaan mungkin, ya?" putus Yeri dengan pemikiran pendek karena merasa terpojokkan.

Tanpa diminta dua kali, Sam dan Karina mengangguk setuju. Keduanya cekatan dalam memandu tubuh Yeri yang terlihat masih lemas. Namun, sang pemilik tubuh menolak karena merasa masih kuat untuk berjalan, tetapi dengan langkah pelan.

Jarak antara kantin dan perpustakaan lumayan jauh, dari ujung ke ujung. Langkah sedikit dipercepat karena dikejar waktu istirahat yang semakin menipis.

Sesampainya di sana, mereka mendapati perpustakaan yang cukup ramai akan pengunjung daripada biasanya. Tidak, hanya sedikit, bahkan masih bisa dihitung jari. Ketiganya langsung mencari tempat tanpa penghuni, berjalan lurus hingga berada di pojok ruangan.

Terdapat empat mata yang tertuju ke arah Yeri. Gadis itu menelan saliva dengan sulit, bingung harus memulai cerita dari mana.

"Tunggu apa lagi? Ayo, mulai. Sebentar lagi masuk kelas," desak Karina. Ia mendapat pukulan ringan dari Sam dengan mata tajam diberikan seolah mengisyaratkan supaya Karina sabar dan tidak terlalu memojokkan supaya Yeri lebih tenang dan nyaman dalam menyampaikan ceritanya.

Yeri menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkai kata-kata yang pas dalam pikirannya berharap tidak akan terdengar aneh oleh mereka berdua. Dimulai dari kejadian mimpi buruk yang ia dapatkan, berturut-turut selama kurang lebih dua minggu terjadi. Dilanjut cerita tentang peristiwa aneh yang ia alami setelah tiba di rumah dengan memesan jasa ojek online. Diakhiri dengan berita yang baru saja ia dengar dan lihat di televisi kantin tentang kecelakaan, kejadiannya sama persis dengan pengelihatan Yeri saat menyentuh tangan sang ojek.

Setelah selesai bercerita, Yeri memandang kedua teman di hadapannya yang terdiam sembari mengerjapkan mata berkali-kali tanpa membalas sedikit pun. Mereka terlihat sedang berpikir dan mencerna perlahan cerita, yang mungkin terdengar aneh atau di luar nalar—bahkan Yeri dapat berpikir bahwa mereka akan menganggapnya sudah gila.

"Aku tahu pasti kalian menganggapku aneh dan hanya berimajinasi saja, tetapi itu benar-benar terjadi kepadaku sampai-sampai ... aku tidak berani untuk menceritakannya kepada siapa pun."

Keduanya menggeleng mendengar pernyataan yang diberikan Yeri, mengisyaratkan ketidaksetujuan. "Nggak, Yer. Aku sama sekali nggak berpikir kalau itu semua yang kamu alami itu aneh. Justru aku kesel, kenapa kamu harus menghadapi semua hal berat itu sendirian? Menurutku itu sebuah anugerah dari Tuhan, kamu spesial, Yer. Kamu bisa melihat masa depan ... atau lebih tepatnya mungkin waktu kematian seseorang, ya? Dengan kemampuan itu, kamu bisa membantu orang lain sebelum ajal menjemputnya," terang Sam, berharap dapat membuat Yeri yakin bahwa semua akan baik-baik saja dan ada banyak orang yang mendukungnya.

Karina mengangguk setuju. "Bener, Yer. Menurutku keren tahu, punya kemampuan itu kayak di film-film science fiction! Bisa aja kamu direkrut jadi anggota Young Avengers atau jadi agent of S.H.I.E.L.D," balasnya dengan sedikit gurauan agar suasana hati Yeri berubah menjadi lebih baik.

Gurauan itu justru membuat Karina mendapat pukulan kecil di lengan dengan tatapan tajam dari Sam. "Akibat kebanyakan nonton marvel, ya, gini. Apa-apa disangkutpautin," omelnya.

Melihat hal itu, Yeri tertawa hingga menepuk-nepuk tangan dan kakinya melemas. Sedangkan Sam dan Karina merasa lega karena dapat melihat tawa lepas yang sudah lama tidak terlihat dari wajah Yeri. Sam menatap Karina, tatapannya mengartikan bahwa ia berterima kasih kepada gadis itu.

***

Akhirnya, hal yang dinantikan sejak lama telah tiba. Sang ayah duduk di kursi makan yang telah lama kosong jika waktu makan malam tiba.

"Kayaknya Ayah harus naik jabatan lagi biar makin lama di kantor sampai lupa rumah," celetuk Yeri dengan menyeringai kecil. Bergurau, tetapi bermaksud menyindir sang ayah.

Sang ayah tertawa pelan dan menaikkan salah satu alisnya seraya bertanya, "Yakin? Nanti kalau nggak pulang-pulang ada yang nangis di kamar malam-malam karena kangen sama Ayah gimana, ya?"

Wajah Yeri langsung merah dan menatap sang ibu yang sedang menyuapi adiknya, tertangkap basah tersenyum jahil. "Ih, Ibu kok tahu, sih? Padahal aku udah nangis di dalam selimut, terus aku tutupin mulut biar nggak keluar suara. Ih, jadi malu," balasnya dengan menundukkan sedikit kepala. Tanpa sengaja, ia telah memaparkan rahasia yang diharapkan tidak ada orang rumah yang mengetahuinya.

Kegiatan suap-menyuap dihentikan, seluruh pandangan yang berada di ruang makan itu langsung tertuju pada Yeri tanpa wajah dengan gurauan lagi.

"Kak. Kakak kalau mau nangis, nangis aja sekencangnya. Jangan ditahan dan nggak usah malu. Pasti sakit, 'kan? Kalau kayak gitu terus, takutnya suatu saat emosi Kakak meledak kayak bom, soalnya kebanyakan ditahan. Selain ungkapan emosi, Kakak juga boleh bagi cerita apa pun ke Ayah sama Ibu, sekali pun itu hal random, ceritain aja. Jangan hanya mendengarkan, kamu juga berhak untuk didengar. Ayah tahu, emang nggak mudah buat Kakak, pasti sulit. Tapi ... Ibu saranin mulai aja pelan-pelan. Itu semua juga demi kebaikan Kakak sendiri, 'kan?" jelas sang ayah.

Ah, kata-kata itu sungguh membuat hati Yeri bergetar dan tidak kuasa menahan tangisnya. Ia langsung teringat akan rahasia besar yang baru-baru saja ia miliki. Haruskah ia menceritakan semua itu kepada orang tuanya? Memang, mungkin mereka tidak akan dapat memberikan solusi yang logis, tetapi setidaknya mereka akan memberikan dukungan kepada Yeri sehingga ia tidak sendirian dalam menghadapi masalah besar itu.

Yeri menarik napas dalam-dalam, membiarkan dirinya tenang terlebih dahulu. Kedua netranya menatap wajah sang ayah dan ibu secara bergantian, memantapkan hati kembali untuk yakin terhadap keputusannya.

"Ayah, Ibu. Sebenarnya Yeri ...."

[]

I Was Never ThereWhere stories live. Discover now