Chapter 06

2.1K 78 0
                                    

Dean bilang, dia sangat suka kucing, tetapi sayangnya dia alergi dengan kucing. Sebenarnya, andai bisa, dia ingin memelihara mereka secara indoor, merawat, memeluk, cium, sayang alerginya cukup parah jadi mau bagaimanapun akan sulit menghadapinya. Dia terpaksa memakai APD begini, plus minum obat dan memakai inhaler, mencegah risiko alerginya parah.

Ulfah merasa kasihan, sungguh.

Saat memberi makan Bobob, kucing jingga penghuni tong sampah pun, Dean harus menjaga jarak sedemikian rupa dan berhati-hati, meski dari tatapan mata Dean kelihatan sangat menyayangi dan ingin menggendongnya. Bobob juga kelihatan kucing yang manja karena dia senang mendusel di kaki Ulfah saat ini.

Dean kelihatan iri, tetapi sepertinya dia tersenyum.

Setelah Bobob makan lahap dan kenyang, kini mereka berjalan lagi, melakukan hal sama jika ada kucing dan akhirnya, mereka sampai di kampus. Dean segera melepas masker serta sarung tangannya yang memang sekali pakai, pun membuangnya ke tong sampah.

"Wah ...." Ulfah berwah ria melihat kampus, banyak insan di sana, dan dia merasa ... yah, agak minder, apa dia paling tua di sini?

"Pagi, Pak Dean!"

"Pagi!" sapa Dean balik.

Ulfah tersadar dari lamunannya karena suara itu, pun spontan menoleh ke samping, tadi dia tak salah dengar kan?

Pak Dean ....

Pak Dean?!

Mata Ulfah membulat sempurna.

"Ayo, Ulfah, ayo kita masuk, matkul kamu apa pagi ini?"

"Pak-Pak-Pak Dean?! Ka-kamu ... ma-maksud saya, Bapak, Bapak dosen di sini?" Ulfah bertanya syok, selama ini dia menyangka dosennya, yang kelihatan muda ini, malah mahasiswa sepertinya. Di satu sisi, sebenarnya Ulfah sadar, Dean tak memberitahunya, tetapi sisi lain dia sadar juga, kan Ulfah sendiri yang sok tahu.

Tidak tidak, dosen selalu benar!

Astaga, selama ini dia tak sopan!

"Maafin saya, Pak Dean. Saya enggak tahu Bapak ternyata ...."

Dean tertawa. "Sudahlah, tak masalah, kok. Ayo, saya antarkan kamu ke kelas." Dean tetap ramah, dan dengan canggung kini Ulfah mengekorinya, tak berani jalan berdampingan seperti tadi.

Dia benar-benar tak sopan, apa nanti dia tak akan lulus?

Hueee, bagaimana ini?

"Santai saja samaku, Ulfah." Dean sedikit berbisik. "Gak papa panggil nama di luar kampus, aku lebih suka begitu."

"Ta-tapi, Pak ...."

"Hei, ini cuman aku, bukan orang lain, saya senang berteman dengan kamu." Dean tersenyum manis. "Tak usah merasa canggung."

Ulfah ragu dia bisa, mengetahui fakta Dean dan dia ini, dosen dan mahasiswi. Itu kan ibarat guru dan murid, bukan hanya sekadar tetangga.

"Umurku baru 30 tahun."

Tetap saja hei, dosen dan mahasiswi.

"Jadi, di mana matkul pertama kamu?" tanya Dean lagi, dan kali ini Ulfah lebih banyak diam.

"Matkul pertama saya matematika, Pak." Dia PGSD, jadi matkulnya jelas sekitar sana.

"Baiklah, biar saya antar. Dan oh, sepertinya, kita nanti ketemu di kelas." Kalau tidak salah, Dean prodi bahasa Indonesia ....

Kacau, kacau, hari pertama sangat kacau. Namun, Dean kelihatan tak membencinya sama sekali, atau ini hanya mengetes psikologinya? Sungguh, Ulfah merasa sangat tidak enak.

Sepanjang jalan, Ulfah terus diam, dan Dean sibuk bertegur sapa, dia tampaknya dosen yang lumayan terkenal dan dikagumi. Tidak salah, sih, Dean memang ramah, plus tampan.

Setelah diantar Dean ke kelas yang dimaksud pun ....

"Baiklah, ini kelasnya, kalau ada apa-apa kamu bisa minta tolong dengan yang lain, anggaplah kampus ini seperti rumah keduamu. Sampai ketemu nanti, Ulfah."

"Iya, Pak. Terima kasih banyak sudah mengantarkan saya." Dean berbalik dan melambaikan tangan, pun berjalan menjauh.

Ulfah memandangi punggungnya yang akhirnya hilang kala berbelok.

"Duh, matilah aku. Maafin aku, Mbak Rachita, maafin aku."

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Dosen Kucing ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang