"Ini akan sangat sulit, tetapi meski demikian bukan berarti tak bisa sama sekali. Sejujurnya, ini cukup ilegal, tapi saya menemukan beberapa hal soal mental Rayan saat ini." Frans menatap Dean. "Dia ketakutan, dan sudah dipastikan tak akan berani pada Ulfah, ataupun kamu. Itu ciri-ciri jelas seseorang menyembunyikan sesuatu, tetapi setiap diingatkan dia mengelak kalau itu bukan salahnya, dan tampaknya beberapa temannya tahu hal tersebut."
"Apa Bapak ... akan mengintrogasi mereka?" tanya Dean.
"Oh, andai semudah itu jelas saya lakukan, tapi ada batasan antara tindakan legal dan ilegal, benar kan? Apa kamu mau kita menjerumuskan diri ke danau tak berdasar? Tidak kan?" Benar, tiada bukti pasti, mereka juga bukan pihak berwajib.
Jika mereka melaporkan pun, tanpa bukti valid, bisa apa?
"Kuncinya ada di mereka sendiri, dan ucapan mereka, terkadang seseorang bisa menghancurkan diri mereka sendiri kan?" Frans tersenyum, menepuk bahu Dean. "Jagalah keponakan saya dengan baik."
"Baik, Pak ...." Dean mengangguk mengerti, dan membiarkan Frans pergi, kembali memasuki mobilnya dan berjalan menjauh.
Pria itu menghela napas gusar. Sesuai dugaan, tak semudah itu.
Dean kembali menatap bangunan di depannya dengan serius. Masih banyak hal lain yang perlu dilakukan.
Hari demi hari pun berlalu ....
"Kalian diundang ke restoran saya, untuk para mahasiswa dan mahasiswi yang menunjukkan KTM-nya akan mendapatkan bingkisan khusus berisi menu andalan." Itu berita yang ditujukan Dean pada mereka semua, warga kampus lain, mereka diperbolehkan datang di acara peresmian utama nanti.
Ya, peresmian utama, karena ada peresmian awal sebelum itu, peresmian yang dikhususkan untuk tamu besar spesial. Khusus rekan Dean, Frans juga termasuk, dan tentunya ... sosok paling spesial.
Ulfah, karena dia titik mula ide tersebut.
Dean sudah berkonsultasi dengan Frans untuk mempertemukan mereka di acara yang sama, dan Frans tak keberatan, karena dia masih bisa berdalih seperti dosen yang mengundang orang penting di kampus, itu saja. Demi kerahasiaan kedekatan mereka terjaga.
Tak sabar dengan hari itu.
Semua menyelamati Dean yang sudah berhasil mewujudkan mimpinya, dan Ulfah tersenyum mengetahui itu semua. Pria yang gigih.
"Selamat, ya, Pak." Ulfah menyelamati secara pribadi. "Saya pasti dateng nanti."
"Ya, kamu harus datang pokoknya, soalnya ... kamu tamu terpenting di acara awal itu." Dean tersenyum manis. "Karena kamu, semua ini terwujud."
"Mm sepertinya Bapak berlebihan, karena perjuangan Bapak sendirilah jadi Bapak berhasil sampai ke titik itu, Pak." Ulfah tak mau dipuji berlebihan, Dean jelas hebat, dia hanya mengajarinya memasak saja.
"Tidak, kamu lebih daripada itu." Tanpa diduga, Dean menggenggam erat tangan Ulfah. "Kamu guruku, kamu inspirasi buatku, kamu ... aku mau kamu, bantu aku memegang guntingnya, dan kita potong pita bersama-sama. Bagaimana?"
Melihat wajah Dean memohon ....
"Suatu kehormatan saya bisa bantu Bapak untuk itu." Dean semakin tersenyum hangat, dan Ulfah juga, getaran yang dialirkan melalui genggaman tangan mereka mulai semakin terasa. Hingga keduanya diam hanyut dengan tukar pandang masing-masing.
Kedua pipi Ulfah semakin memanas, apa Dean tak berniat melepaskan genggaman hangat itu?
Oh, lepas berikutnya.
Namun, ada perasaan agak tak rela, sekaligus agak lega, uh Ulfah dilema.
"Masih jauh dari sana ...." Dean bergumam, Ulfah yang mendengarnya sejenak bingung akan maksud kalimat tersebut. Oh, mungkin Dean tahu dia harus memulai dari nol sampai ke angka tertinggi di sana.
Dia sedikit menyantaikan perasaan menggebu di dada. "Bapak pasti bisa, Pak."
Dean tersenyum. "Terima kasih, Ulfah."
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosen Kucing ✅
RomancePak Dean .... Pak Dean?! Mata Ulfah membulat sempurna. "Ayo, Ulfah, ayo kita masuk, matkul kamu apa pagi ini?" "Pak-Pak-Pak Dean?! Ka-kamu ... ma-maksud saya, Bapak, Bapak dosen di sini?"