Chapter 24

783 44 0
                                    

Dean tak menolak, justru dia senang akan hal tersebut, jadi dia bisa menjaga Ulfah dengan jarak lebih dekat.

"Bagaimana hari ini di kampus?" tanya Dean, seperti biasa basa-basinya. "Ada masalah?"

"Semuanya berjalan lancar, Pak. Cuma ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan nanti ke Bapak."

"Sure, tanyakan sekarang juga tak masalah."

"Malam ini saja, Pak. Pas makan malam." Ulfah tersenyum hangat.

"Oh, benar, malam ini ... kita masak apa ya?" tanya Dean.

"Apa Bapak pernah coba bubur ketan hitam?"

"Wah, belum belum, kedengarannya enak. Aku mau, dong." Dean berkata bak anak-anak.

Dan entah perasaan Dean atau apa, Ulfah terdengar lebih humble dan hangat padanya, setelah kejadian tadi. Apa Ulfah bermaksud menghibur Dean? Dia pasti sadar karena ekspresi Dean jelas menggambarkan sesuatu yang bisa diprediksi. Nilam pasti bilang kalau dia menyimpan luka di balik senyum dan keceriaan ini.

Yah, Nilam ember, tetapi dia tak keliru.

Dean tersenyum hangat, dia memang memerlukan seseorang menjadi support system-nya, dan dia janji akan melakukan apa saja untuk orang itu.

Namun, perlahan, senyum Dean memudar, dia jadi teringat ucapan Frans, pertanyaannya yang ....

"Pak, ini toilet cowoknya," kata Nilam, menunjuk toilet laki-laki, dan Dean sadari dia jalan kelewatan karena saking banyaknya pikiran.

"Eh, haha, maaf kelewatan." Ulfah pasti sadar Dean kebanyakan pikiran.

Tiba-tiba, saat mendekati Ulfah, seorang mahasiswa keluar sambil mual-mual, dia pula dengan kasar mendorong Ulfah yang kebetulan berada di depan pintu toilet.

"Heh, dasar kamu!" Untung, Dean memegangi tubuh Ulfah, yang nyaris limbung jatuh karena dorongan keras itu. "Ulfah, kamu gak papa?" Dean menatap khawatir sang gadis.

Ulfah menggeleng, nyaris. "Gak papa, Pak."

"Hei, kamu! Kenapa mual-mual? Hamil kamu?"

"Eh, Pa-Pak ...." Dia kembali mual. "Maaf, Pak, bau banget di dalam WC ...."

Dean menghela napas gusar. "Kenapa kamu tidak memakai masker? Teman-teman kamu saja gak kayak kamu."

"Kurang maskernya, Pak. Saya gak kebagian."

Dean mendengkus. Dia tak bawa tas lagi.

"Masker ya?" tanya Ulfah, dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sekotak masker sekali pakai, yang kemudian dia berikan satu ke pemuda itu. "Nih."

"Hehe, makasih, ya. Maaf dorong elo tadi."

Ulfah mengangguk dan cowok itu menerima masker dari Ulfah. "Boleh sekalian minta nomor hapenya gak?"

Dean berdeham keras, menghentikan modus cowok itu. "Lakukan pekerjaan kamu."

"Hehe, maaf, Pak, maaf. Minta no hape ya abis ini." Dia mengerling pada Ulfah dengan genit.

Dean mendengkus kasar, dan cowok itu segera masuk toilet lagi.

Kemudian, alihan mata Dean menatap ke Ulfah, kenapa gadis itu membawa masker?

"Kamu kenapa bawa masker? Apa teman kamu ada yang pilek atau ...."

Dan dengan jujurnya, Ulfah menjawab, "Buat cadangan, mungkin Bapak kehabisan masker atau lupa bawa."

"Waduh, tahu saja kamu aku suka lupaan." Dean cengengesan. "Makasih ya, Fah."

"Bukan masalah, Pak."

Lalu, mereka pun menunggu di dekat sana, sesuai ungkapan Dean harus mengawasi para mahasiswa yang masih dalam masa hukuman. Sebenarnya Dean membebaskan Ulfah kalau dia mau pulang, tak masalah, tetapi Ulfah menolak dan mau tetap bersama Dean.

Dia gigih juga.

Jadi, karena tak ada kegiatan begini, bosan juga.

"Oh ya, gimana kabar kucing hitam yang sama Om Robert kamu?"

"Oh, itu, Om Robert ada ngirim foto." Yah, mereka melihat kucing hitam mungil itu, yang tidur lelap di atas kasur raksasa. Lucu sekali.

"Eh, ini keponakan kamu?" Ada juga foto sang kucing yang digendong oleh anak kecil.

"Iya, ini Cakra."

Mereka mengisi waktu kosong itu dengan banyak hal, sampai akhirnya ....

Toilet yang awalnya kelihatan seperti ruangan horor, kinclong sekinclong kinclongnya.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Dosen Kucing ✅Where stories live. Discover now