03 - Keseharian Bian

30 6 8
                                    

Bian Side

Senin adalah hari keramat untuk semua orang, termasuk Bian. Lelaki berusia 17 tahun itu, memicingkan matanya karena silau matahari menebus jendela kamarnya. Ia mencoba menyadarkan tubuhnya untuk bersiap bangun dan berjalan ke kamar mandi.

Sesampai di depan kamar mandi, ia melihat pintunya tertutup. Ia mengetuk pintu itu.

Tok! Tok! Tok!

"Dek, cicaknya jangan dimandiin sekalian. Masih banyak nih yang mo mandi." Ujar Bian.

Mendengar hal tersebut, Nini, yang sedang dalam kamar mandi, membalas perkataan Abangnya, "apa? Gak kedengeran!".

Bian yang mendengar jawaban itu, mendengus jengkel. Ia akhir kembali ke kamarnya. Ia mempersiapkan semua buku yang harus dibawa hari ini dan seragam basketnya. Hari ini, dia dan teman-temannya akan bermain basket saat jam pelajaran olahraga.

Tak berapa lama, ia mendengar suara pintu terbuka. Segeralah ia berjalan menuju kamar mandi. Ia melihat adiknya dalam balutan kaos dan celana pendek selutut serta rambut yang tergulung dalam handuknya.

"Kurang keranjang jamu aja. Dah pas kok." Ucapnya saat akan melangkah kaki ke dalam kamar mandi.

"Apa sih, Abang?" Dengus Nini.

Bian yang tertawa dalam kamar mandi. Nini berjalan ke kamarnya. Ia segera mengganti pakaiannya dengan seragam lengkap. Bianpun melakukan hal yang sama setelah keluar dari kamar mandi.

Tak berapa lama, kakak beradik itu sudah di ruang makan. Papanya sibuk membaca berita di handphone-nya, Mamanya mengambil mangkuk besar berisikan bubur dari dapur, Bian dan Nini yang fokus dengan handphone-mereka masing-masing.

"Papa gak bisa nganterin kalian. Hari ini, Abang bawa motor ya. Pake helm. Nini juga." Ujar Papanya memecahkan keheningan di meja makan.

Bian dan Nini hanya mengangguk tanda paham. "Kamu yakin Mas, Bian bawa motor?" Tanya Mama pada Papanya anak-anak.

"Yah. Gak papalah. Bian juga udah ada SIM. Dah gede juga. Tapi tetep ikutin aturan lalu lintas, Bian." Jawab Papa tegas.

"Iya, Pa."

"Hari ini kamu pulang jam berapa?" Tanya Papa lagi kepada Bian.

"Jam 5 Sore. Bian mau main basket bareng temen-temen." Ujar Bian sambil menyendok bubur ke mangkuk kecilnya.

"Ok. Tapi Nini dianterin dulu ke rumah, baru kamu main sama temen-temen kamu." Papa menatap anak sulungnya.

"Ok, Pa. Kira-kira gaji yang ditawarkan ke Bian berapa, Pa?" Tanya Bian dengan wajah bersemangat. Semua orang yang mendengar pertanyaan Bian menoleh padanya dengan wajah bingung.

"Ya kan Bian jadi supir pribadinya Nini sekarang. Masa gratisan. Kasih upah dong." Jelas Bian.

Papa pun paham dan mengangguk. "Kamu gak perlu digaji. Papa udah biayain kamu sejak kamu jadi zigot." Jawab Papa membuat semua orang kecuali Bian tertawa.

"Ya namanya juga usaha, Pa. Biar bisa beli laptop gaming." Bian mencebik bibirnya.

"Belajar yang bener. Bentar lagi kamu kan mau kuliah. Kalo kamu dapet jurusan yang kamu mau dengan usaha sendiri. Papa bakal beliin laptop yang kamu mau itu." Ucap Papa pada Bian.

"Serius nih Pa." Jawab Bian dengan mata yang berbinar. Papa hanya mengangguk. Bian tampak begitu senang.

"Jadi, kamu kuliah mau ambil jurusan apa?" Kali ini Mama yang bertanya pada putranya.

"Eh..." Pertanyaan ini adalah pertanyaan nomor satu tersusah di hidup Bian. Selama ini, Bian hanya menyukai kegiatan yang mengasah psikomotorik dibandingkan dengan kognitifnya. Makanya, ia lebih menyukai basket atau musik. Pelajaran apa yang dia suka? Ya olahraga. Sisanya? Ia tidak suka.

Drawing Our Moments [On Edit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang