19 - Lo Cantik Malem Ini, Sia

33 4 2
                                    

Tasia Side

Waktu menunjukkan pukul lima sore dan gadis itu tergesa-gesa memakai sepatunya. Kunci motor yang tergigit erat diantara kedua rahangnya. Tali sepatu tersebut terikat rapat dan ia tak lupa mengunci pintu rumahnya lalu menyelipkan benda kecil tersebut di bawah pot pohon palem yang tingginya hanya setengah dari tubuh kecilnya.

"Kenapa harus dadakan begini sih?!" Gerutu gadis itu. "Lintang ada-ada aja. Kenapa harus gue sih, all of the sudden?! Mana acaranya mo mulai jam 7 lagi."

Gadis tersebut memaju cepat motor matic miliknya setelah menutup rapat pagar rumahnya. Sekumpulan bingung, kesal dan khawatirnya beradu padu di dalam pikiran. Bingung? Jelas. Tasia merasa ini bukan tugasnya sekalipun ia bagian dari tim choir kampus. Pembinaan dan peresmian anggota baru dalam acara pertama mereka adalah bukan tugasnya. Sejak awal, ia tak dilibatkan dalam kegiatan tersebut. Sesekali ia hanya datang untuk melihat dan menjumpai teman-temannya saja. Apalagi sejak kejadian pada hari audisi choir di lorong itu. Tasia tak memiliki keberaniannya untuk bertemu dengan juniornya yang bernama Dio.

Kesal? Tentu. Hari ini, seharusnya menjadi hari santai baginya. Tasia perlu. Sangat amat perlu untuk bersantai. Kenapa? Ia sudah dibombardir dengan tugas projek, makalah, artikel, presentasi dari semua dosen-dosen manajemen. Tasia merasa mau seberapa banyak ia mengoleskan eye cream di area sekitar matanya tak akan mampu menghempaskan mata pandanya dalam sekejap.

Khawatir? Saat ini? Pastinya. Ia harus menepuh selama 30 menit atau bahkan lebih. Kenapa? Ini adalah waktu krusial dimana seluruh orang-orang dari berbagai kalangan dan profesi berbondong-bondong keluar menuju habitatnya kembali. Jalanan akan menjadi sangat ramai dan menciptakan macet yang membuat sakit kepala dimana-mana.

Bukan hanya itu, Tasia pun khawatir jika ia terlambat Ia bisa saja membuat acara pentas tidak sesuai dengan perencanaan waktunya. Oh God! Seketika seluruh beban dan ekspetasi tim dan para junior choir memenuhi pundak yang ringkih.

Di sela-sela perjalanannya, ia pun sendiri bingung. Kenapa dia tak bisa menolak mentah-mentah permintaan dari Lintang saat ditelpon. Bukannya dirinya tidak ingin bersinggungan dengan hal yang berkaitan dengan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman untuk saat ini. You know who is it, right? Kenapa ia bergegas mengambil cardigan-nya yang tersampir di kursi belajarnya. Dan mengapa sekarang, dirinya bergegas mengendarai motor kesayangannya dan menerjang jalanan yang tak lenggang ini?

Flashback

Handphone kecilnya bergetar tak henti-hentinya. Itu menganggu tidur siangnya. Ia mengerjap-gerjapkan kedua matanya. Tangannya meraih benda kecil yang baru saja bergetar, membangunkannya dari mimpi indahnya.

Pukul 16.25. Oke, sudah bukan waktu siang ternyata. 28 pesan yang belum dibaca, dan 13 telpon yang tak terjawab dari Lintang. Baru saja jarinya akan menekan pesan yang belum dibaca itu. Nama Lintang kembali pop-up di layar handphone-nya.

"Tasia"

"Ya"

Ujar keduanya secara bersamaan.

"Gue nelpon lo, baru diangkat sekarang. Lo pasti gak sibuk kan? Yok ke sini, ke audit."

"Ngapain? Gue ngantuk banget. Tumben lo nelpon. Gue skip, mo istirahat"

Lintang menghela napasnya, "Gue jarang-jarang minta tolong ke lo. Bantuin gue lah. Ini juga buat UKM kita. Masa lo gak bisa bantu gue".

"Minta tolong apa nih? Gue gak bisa dandanin orang. Trus kalo briefing dan lain-lain, bukannya udah ada timnya ya?"

Drawing Our Moments [On Edit]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon