prolog - reset

660 55 2
                                    

Setiap kali Alanda membuka mata di pagi hari, sensasi dingin di perutnya pasti bergejolak dan jantungnya berpacu dalam ritme yang tidak teratur. Setelah merasakan semua itu, senyum tipis terbentuk di bibirnya. Lengan besar milik Difal masih melingkari perutnya, menandakan kepemilikan atas dirinya. Sementara punggung mulusnya berbenturan dengan dada bidang pria itu, menambah satu lagi daftar kesukaannya. Baginya berada dalam pelukan Difal terasa lebih menyenangkan dan menenangkan. Ditambah hujan yang mulai turun di luar sana, membuatnya semakin malas untuk bangun. Pagi yang indah, lirihnya.

Dulu Alanda tak pernah mengira bahwa hidupnya akan berakhir seromantis ini. Setidaknya untuk merasakan apa itu namanya bahagia. Menjadi anak buangan sejak usianya masih terlalu dini untuk memahami apa itu perpisahan, membuatnya skeptis akan hubungan antar manusia. Dua puluh tiga tahun hidupnya hanya berputar pada pengasuh dan dokter jiwanya. Dan setelah ia menemukan Difal, mendadak hidupnya memiliki sebuah harapan. Pria yang rela mati-matian ia pertahankan, meski pada awalnya hanya berlandaskan kebohongan. Kisah cinta mereka——baginya agak sedikit memalukan——yang tak pernah ia ingat lagi sejak kecelakaan yang menimpanya lima tahun lalu.

Udara dingin yang masuk melalui sela-sela jendela rupanya membuat Difal terbangun. Pelukannya mengerat dan napas beratnya terasa hangat di telinga Alanda. "Pagi, Lucky Charm," ucapnya sembari menjatuhkan kecupan di pelipis Alanda.

"Pagi, Obat Cemas," Alanda balas dengan menyebutkan panggilan sayang mereka satu sama lain.

"Di luar hujan, ya?"

"Iya," Alanda membalik tubuhnya agar bisa melihat wajah Difal yang masih mengantuk. Wajah yang tak pernah bosan ia tatap. Pria itu sempat protes karena perubahan posisi Alanda, kemudian kembali memerangkap gadis yang sudah ia nikahi itu ke dalam pelukannya. "Masih ngantuk banget, ya?" tanya Alanda sembari memainkan jemarinya di bulu mata lentik Difal. Diam-diam mengagumi bahwa betapa tampan suaminya itu.

Difal mengangguk dan kembali menutup mata. "Kayaknya aku kena sindrom malas bangun pagi, deh," kekehnya.

"Mana ada sindrom malas bangun pagi?"

Difal kembali membuka mata. "Ada tahu! Namanya Dysania."

"Oh ya?"

"Tanya aja sama Mas Alga," Difal menyebut dokter jiwa Alanda sekaligus teman masa kanak-kanaknya.

"Setahu aku secara psikologis orang yang malas bangun tidur itu, bisa jadi lagi depresi," terang Alanda dengan serius. Otomatis membuat Difal benar-benar terjaga. "Selain itu..."

"Al, aku cuma cari alasan buat bisa lama-lama sama kamu," potong Difal.

"Eh?"

"Kamu nggak mau lama-lama sama aku?"

"Memangnya kamu nggak kerja hari ini?"

"Kerja!" Difal semakin mengeratkan pelukannya. "Tapi kerja yang lain dulu," selanjutnya ia menambahkan beberapa kecupan di tubuh Alanda. Melanjutkan pekerjaan mereka semalam.

Sejak mengalami kecelakaan yang membuat ingatan Alanda memudar, kisah cinta mereka kembali dimulai. Difal menyebutnya Reset. Membuat semuanya kembali ke kondisi awal dan normal. Meski tahu bahwa ingatan Alanda tidak pernah kembali, Difal diam-diam mensyukuri. Setidaknya Alanda bisa melupakan rasa sakit yang pernah mereka alami bersama. Rasa sakit yang nyaris membuat mereka berpisah. Masa bodoh dengan masa lalu, batinnya. Karena saat ini Difal sedang sibuk memanfaatkan waktu agar Alanda tidak lepas dari pelukannya.

Dulu Difal tak pernah mengira akan menemukan seseorang yang begitu tepat untuk berada di sampingnya. Seseorang yang begitu mudahnya memasuki dunianya yang abu-abu. Gadis ceriwis yang tiba-tiba mendeklarasikan diri sebagai tunangannya itu. Difal tersenyum di sela-sela ciuman mereka, membayangkan wajah Alanda yang begitu imut saat pertama kali mereka bertemu.

Begitu mudahnya Alanda memasuki hidupnya, begitu mudahnya ia jatuh cinta pada gadis itu.

Setelah mereka usai, Alanda kembali jatuh tertidur karena kelelahan. Difal menyeka sejumput rambut yang menutupi sebagian wajah Alanda yang dibasahi oleh keringat. Rambut Alanda sudah sangat panjang sejak kali terakhir ia memotong rambutnya beberapa bulan yang lalu. Membuatnya tampak jauh lebih cantik. Dalam diam, Difal merekam wajah Alanda di ingatan. Bibir tipis yang tak pernah bosan ia cium, hidung mungil yang selalu ia jawil karena gemas, pipi semerah ceri, dan seluruh yang ada pada diri Alanda yang bagaikan berkat Tuhan. Sebaik itulah Tuhan menjatuhkan Alanda ke dalam hidupnya. Jimat keberuntungannya.

***

tes... tes... halo apa kabar semuanya? lanjut nggak nih? 😋

sweetness & sorrowWhere stories live. Discover now