chapter 5 - conscious

202 16 0
                                    

Clarissa Handitama ternyata seorang musisi terkenal. Selain itu, baru-baru ini ia juga mulai merambah ke bidang akting dan modeling. Jam terbangnya di dunia hiburan juga tidak perlu diperhitungkan lagi. Ia sudah debut menjadi penyanyi sejak remaja. Latar belakang keluarganya bahkan sudah jadi rahasia umum. Ayahnya seorang pengacara hebat, sementara ibunya pemilik hotel berbintang di beberapa kota. Dua bersaudara dengan seorang adik lelaki yang sedang menempuh pendidikan di Inggris. Semua informasi itu Difal dapatkan cuma-cuma dari Alanda yang sejak tadi menggulir ponselnya, mencari informasi apa pun tentang Rissa di peramban.

Difal tampak tidak peduli dengan semua informasi itu, meskipun ia terus mengangguk tiap kali Alanda membeberkan fakta baru. "Intinya dia bukan orang sembarangan," imbuh Alanda, kemudian menatap Difal dengan tenang. "Mungkin kamu bisa mempertimbangkan tawarannya," lanjutnya.

"Nanti kupikirkan," balas Difal tak acuh.

"Janji, ya?"

Difal mengangguk untuk ke sekian kalinya. Toh, tidak ada salahnya mencoba. Mungkin ia terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya dipikirkan.

"Tapi, biar bagaimanapun keputusan tetap ada di tangan kamu," Alanda melanjutkan. "Aku nggak mau kamu terpaksa melakukan sesuatu padahal itu bukan keinginan kamu."

"Kenapa jadi serius begini?"

Alanda menggeleng cepat, kemudian menyelipkan lengannya ke lengan Difal. Angin musim semi menerbangkan rambutnya yang ia biarkan tergerai, selagi mereka menikmati hamparan laut di Pantai Bondi yang terasa begitu menyejukkan. Selain mengunjungi galeri seni, mereka juga menyempatkan berjalan-jalan sebentar ke beberapa tempat sebelum memutuskan untuk pulang ke rumah orangtua Difal nanti malam.

Sydney sudah menawarkan semua hal-hal indah yang tidak pernah Alanda lihat sebelumnya. Ia menikmati setiap momen yang mereka lakukan hari ini. Berdampingan bersama Difal seperti ini saja sudah jadi bagian yang paling ia sukai. Sebelum mulai melupakan detail-detail kecil yang baginya berarti, ia mulai mengarahkan ponselnya untuk memotret. Kali ini ia ingin menyimpannya untuk dirinya sendiri. Karena jika tidak, liburan ini akan terasa sia-sia. Alanda tidak bisa jika hanya mengandalkan ingatan semata.

Dan Difal memahami hal itu.

Rasanya tidak ada yang tidak bisa lelaki itu pahami soal dirinya. Bahkan kedua orangtuanya pun tidak bisa menandinginya. Sebagai orang yang hidup dengan gangguan mental sepertinya, sulit rasanya untuk membangun relasi dengan orang lain. Apalagi untuk memahami perasaan mereka. Alanda tidak ingin menyakiti hati siapa pun, termasuk orang yang paling dekat dengannya. Terutama Difal. Dan hanya Difal yang mampu memahaminya, mengimbangi tingkahnya, kesembronoannya, sikap acuh tak acuhnya yang kadang disalahartikan oleh orang lain, dan banyak hal yang tidak mampu Alanda kendalikan sendiri.

Karena hal itulah yang membuat Alanda menjadi resah. Jika Difal mampu memahaminya, kenapa ia tidak bisa. Pikiran seperti inilah yang kadang membuatnya kewalahan. Kepalanya seperti tidak mau diam untuk menyuruhnya melakukan sesuatu, mengatakan sesuatu yang terus melompat-lompat di pikirannya.

"Kamu bahagia nggak sama aku?" Seperti pertanyaan tiba-tiba ini yang baru saja meluncur dari bibirnya.

Difal mungkin tidak akan heran lagi jika percakapan mereka melompat dari topik satu ke topik lainnya. Baru semenit yang lalu mereka membahas Rissa, kini Alanda sudah punya percakapan baru yang terdengar lebih serius dibanding sebelumnya.

"Hal seperti itu kenapa harus ditanyakan lagi?"

Karena jika Difal tidak bahagia bersamanya, Alanda pasti akan hancur.

"Ya dijawab aja!"

"Jelas bahagia, Sayang. Kalau nggak bahagia kita nggak mungkin ada di sini."

"Beneran?"

sweetness & sorrowWhere stories live. Discover now