chapter 7 - scars

209 14 0
                                    

"Lucu, ya?"

Alanda mengangguk setuju menatap wajah bayi yang sedang tengkurap itu. Senyumnya terbit tatkala membayangkan akan selucu apa saat ia dan Difal memiliki anak. Di dalam benaknya, ia lebih menginginkan jika anak mereka kelak lebih mirip dengan wajah Difal dibandingkan dirinya. Baru melihat wajah bayi di dalam foto itu saja sudah membuat Alanda jatuh cinta berkali-kali lipat pada Difal.

"Nah, kalau ini waktu Difal belajar merangkak." Bunda Uti kembali menunjukkan foto lain. Difal tersenyum di foto itu dengan sorot mata menatap kamera. Sebelah tangannya berusaha meraih sesuatu di depannya. Alanda kembali ikut tersenyum.

"Kalau yang ini waktu dia sudah bisa berjalan." Di sana Difal menggenakan jumpsuit abu bergambar pesawat. Ia sedang tertawa dengan dua gigi depan yang baru muncul. Latar belakangnya dipenuhi rerumputan. Mungkin di sebuah taman atau halaman belakang rumah. "Waktu itu adalah momen paling bahagia yang pernah Bunda rasakan," lanjut Bunda Uti dengan semangat tak luntur sejak pertama kali menunjukkan foto-foto masa kecil Difal pada Alanda.

Di dalam senyumnya, Alanda bisa merasakan bahwa masa kecil Difal begitu indah untuk dinikmati. Setiap pertumbuhannya diabadikan dengan begitu apik. Selain memuji setiap hal yang dulu Difal lalui, Alanda juga dibuat takjub oleh ibu mertuanya. Membesarkan seorang anak sendirian, sudah pasti sangat sulit baginya. Alanda tidak bisa membayangkan berapa banyak air mata yang sudah wanita itu tumpahkan. Tapi melihat kilatan bahagia di mata ibu mertuanya itu, membuat Alanda sadar bahwa Difal tidak pernah kekurangan kasih sayang dari ibunya. Ia begitu disayangi, meski harus tumbuh tanpa seorang ayah. Tidak seperti dirinya yang tidak pernah mendapatkan perlakuan semanis itu sejak dulu.

"Ini ulang tahun pertamanya."

Atensi Alanda berpindah pada foto yang dihiasi balon berwarna-warni serta sebuah kue diletakkan di tengah. Difal berdiri di antaranya. Senyum jahilnya menular saat ia meremas kue ulang tahunnya dengan kedua tangan. "Ini pasti disengaja," ucap Alanda.

Bunda Uti terbahak. "Iya! Mana lilinnya belum ditiup, dia udah bikin ulah duluan. Bunda sampai nggak tega bagiin kue yang udah sehancur itu."

Lagi-lagi Alanda tersenyum. Wajah mungil Difal tampak jauh lebih bahagia di foto itu.

Kemudian Bunda Uti menunjukkan beberapa foto lagi. Ulang tahun kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Setiap momen tidak pernah dilewatkan oleh wanita itu. Sampai akhirnya gerakan tangannya berhenti di sebuah foto yang menunjukkan wajah lain di sana. Om Vili. Pria itu berdiri kikuk di samping Difal yang memasang wajah datar, sementara ibunya mengandeng tangannya di sisi lainnya, tersenyum cerah. Alanda penasaran kapan foto itu diambil.

"Ini waktu Difal pertama kali menang lomba menggambar," Bunda Uti menjelaskan sebelum Alanda bertanya. "Sejak dulu anak itu memang tergila-gila sama menggambar."

Alanda tidak akan mendebatnya.

"Saat itu Difal pasti senang banget," ujar Alanda.

Bunda Uti mengangguk. "Cuma gambar yang bikin dia kelihatan hidup," ungkapnya sedih. "Padahal dulu Bunda pernah meminta dia berhenti."

"Berhenti menggambar?"

"Iya."

"Kenapa?"

Ah, Alanda lupa kalau dia sudah menyentuh topik sensitif dari pertanyaan sederhananya. Ia meneliti wajah ibu mertuanya yang mendadak kehilangan minat. Album foto yang berisi kenangan masa kecil Difal diletakkan kembali ke atas meja. Alanda tidak akan mengharapkan jawaban, kalau memang ibu mertuanya tidak mau menjawab. Sekarang ia bingung mau menarik kembali pertanyaannya atau membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara begitu saja. Tapi ternyata Bunda Uti tersenyum padanya. "Awalnya Bunda mengira itu hanya sekadar hobi," lirih wanita itu.

sweetness & sorrowWhere stories live. Discover now