chapter 2 - silence

346 19 0
                                    

DIFAL PRAMUDA KEMBALI MENAMPILKAN LUKISAN TERBAIKNYA DALAM SEBUAH PAMERAN BERGENGSI TAHUN INI

Headline berita itu rasanya kurang tepat. Nama Difal disebut seakan-akan ia adalah bintang utamanya. Padahal banyak pekerja seni yang jauh lebih hebat dari dirinya turut berpartisipasi dalam pameran itu. Isi dari berita itu juga lebih banyak menyebut nama Marino Garindra, ayah mertuanya, yang juga seorang kurator ternama di Indonesia. Setelah menikah dengan Alanda, orang-orang mulai mengenal Difal sebagai menantu Marino. Terlebih ketika mereka mengetahui bahwa selebgram terkenal bernama Alanda Marino adalah putri semata wayangnya bersama mantan istrinya terdahulu.

Semuanya terungkap oleh media saat Difal dan Alanda melangsungkan pernikahan beberapa bulan yang lalu. Marino hadir sebagai wali nikah Alanda dan kemudian menjadi berita terheboh sejagat maya setelah foto pernikahan mereka bocor ke media. Padahal Alanda sempat hiatus lama setelah mengalami amnesia. Orang-orang mungkin bahkan sudah melupakannya. Foto-foto itu disebar dengan headline "Marino Garindra Ternyata Ayah dari Seorang Selebgram Terkenal, Alanda Marino". Mengetahui berita itu saja sudah cukup membuat Alanda naik pitam. Dia benci jika kehidupannya kembali disangkutpautkan dengan ayahnya. Apalagi karena berita itu kehidupan Difal mulai disorot dan dicari celahnya. Membuat Alanda semakin tidak terkendali.

"Kalau tahu begini, kita nikah di KUA aja waktu itu," Alanda bersungut-sungut setelah melempar ponselnya ke ranjang. Benda pipih itu tidak berhenti berdering mengirimkan notifikasi. Dalam waktu singkat, jumlah pengikutnya di Instagram melonjak naik. Bahkan beberapa dari mereka merupakan jurnalis yang menawarkan wawancara eksklusif dengannya. "Sepertinya orang-orang lebih penasaran aku ini anaknya siapa daripada aku nikahnya sama siapa!"

Saat itu Difal hanya menanggapi seadanya. "Untungnya aku bukan siapa-siapa," ucapnya tersenyum sembari menuntun Alanda untuk duduk di pangkuannya. Berusaha untuk meredam emosi istrinya itu.

"Aku juga bukan siapa-siapa! Aku bukan artis top dan aku juga nggak seterkenal itu, kok."

"Aku juga nggak nyangka, bisa menikahi kamu," Difal melarikan jemarinya ke rambut Alanda, membelainya dengan lembut. "Cantik lagi!"

Bukannya tersipu malu, Alanda justru semakin kesal. "Aku lagi serius, Difal!"

"Aku juga serius, Sayang," Difal menjawil hidungnya, lalu memberinya kecupan di bibir. "Makin kamu marah kayak begini, makin cantik kamu di mata aku!"

Mengabaikan itu, Alanda mengalungkan kedua tangannya di leher Difal. "Ini bukan hanya tentang aku, Dif. Ini juga tentang kamu. Kamu nggak masalah dengan berita itu? Aku nggak mau karena hubungan keluargaku bikin hidup kamu nggak tenang."

Difal menggeleng, seraya melingkarkan lengannya ke pinggang Alanda. "Selama ada kamu, aku sudah cukup tenang. Yang lain bukan masalah besar buatku."

"Aku takut ini akan mengganggu pekerjaan kamu."

"Aku cuma pekerja kantoran biasa, Al. Kebetulan aku juga kerja di galeri seni, kebetulannya lagi aku juga melukis di sana, dan kebetulannya lagi ayah mertuaku seorang kurator terkenal. Jadi di mana letak mengganggu itu?"

Karena kebetulan itulah yang membuat Alanda khawatir. Popularitas yang disandang ayahnya bisa menggiring opini-opini yang tidak jelas. Alanda tidak akan ambil pusing jika berita itu menyentilnya. Terserah mereka mau bilang apa tentang Alanda dan keluarganya. Sementara Difal baru membangun kariernya sebagai seorang pelukis. Alanda takut jika hal itu justru menjadi bumerang dan akan menyakiti hati suaminya.

Menjadi terkenal memang mengerikan. Difal bahkan tidak mengira bahwa hanya dengan satu berita seperti itu, membuat namanya mulai melambung naik. Ketenaran mungkin membutakan, tetapi Difal tidak. Dia tidak ingin karier yang susah payah ia bangun, menjadi tidak ada artinya ketika nama Marino disebut. Seolah-olah pencapaian yang ia raih selama ini tidak lepas dari campur tangan ayah mertuanya itu. Seperti kekhawatiran Alanda dulu, hal ini ternyata mulai menganggunya. Dan kalau Alanda sampai tahu berita ini dimuat di situs daring lagi, gadis itu pasti akan murka sekali pada ayahnya.

Hubungan Alanda dengan ayahnya memang sudah lama tidak harmonis. Kedua orangtuanya memutuskan untuk bercerai saat ia berumur tujuh tahun. Mereka bahkan tidak repot-repot meminta pendapat Alanda. Di mana saat itu Alanda baru saja didiagnosis mengidap ADHD yang membutuhkan pendampingan. Setelah bercerai, ayahnya segera meninggalkan rumah dan menikah lagi sepuluh tahun kemudian. Sementara ibunya, Rahayu Dinara, memutuskan untuk tetap tinggal bersama Alanda hingga ia menikah diam-diam enam tahun yang lalu. Sejak saat itu Alanda mulai membenci kedua orangtuanya. Alanda merasa tidak pernah diinginkan.

Pagi ini Difal memulai harinya dalam keheningan. Ia menutup laman situs web tersebut, lalu mematikan komputer. Jam dinding di atas pintu kamarnya sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Seusai salat subuh tadi, ia memutuskan untuk tidak tidur lagi. Sebenarnya semalam ia tidak benar-benar tertidur. Setelah melakukan panggilan video dengan Alanda, ia tidak langsung menuju tempat tidur. Ia justru berjalan ke atas loteng lantai dua rumahnya.

Ruangan itu gelap gulita. Udara yang terasa pengap menyergapnya. Lantai kayunya berderit saat Difal melangkah ke dalam untuk menyalakan lampu. Barang-barang yang sudah tidak terpakai tertutup kain putih berlapis debu. Di sudut ruangan, buku-buku bekas milik ibunya ditumpuk rapi dengan diikat pita merah. Buku-buku yang tak terhitung jumlahnya itu seharusnya sudah dikirim ke Sydney saat keluarganya pindah beberapa tahun yang lalu. Ada banyak kenangan yang tersimpan di ruangan itu. Selain buku-buku milik ibunya, di sana juga terdapat buku-buku gambar milik Difal. Lusinan buku gambar yang tidak pernah ia lihat lagi hingga saat ini.

Kenangan itu mulai memeluknya. Difal merasakan kedua kakinya seperti dipaku. Ia meraih satu buku gambar bersampul bintang, lalu membersihkan debu dengan tangannya sebelum membukanya. Buku gambar itu sudah menguning dimakan waktu. Gambar di dalamnya ternyata menyimpan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang selama ini Difal simpan dalam kesunyian. Saking tak terdengarnya, Difal bahkan tak tahu harus merasakan apa. Marah bukan emosi yang tepat. Sedih juga bukan seharusnya ia rasakan. Bahagia? Difal tidak ingat kapan ia pernah bahagia saat menggambar dulu. Karena setiap kali ia menorehkan gambar di bukunya, ibunya akan mencoba merobeknya. Bukan karena tak mendukung hobinya, tetapi karena gambar yang diberi judul ayah itu menyakiti hati ibunya. Ayah yang tak pernah Difal lihat wujudnya selama tiga puluh dua tahun ia hidup di dunia ini. Ayah yang hanya ia gambar tanpa wajah. Ayah yang bahkan tak sudi disebut-sebut oleh ibunya.

Jika Alanda memiliki ayah untuk dibenci, Difal justru tidak tahu ayah seperti apa yang harus ia benci.

Malam itu Difal kembali merasakan air keluar dari kakinya. Semakin ia menatap gambar itu, semakin air merambat naik dan perlahan-lahan membuatnya tenggelam. Napasnya tertahan di tenggorokan. Difal berusaha untuk melawan, ia ingin berenang ke atas, tetapi kakinya seperti ditarik ke bawah. Tubuhnya merosot jatuh hingga pandangannya mulai buram dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ketika gambar itu lepas dari genggamannya, Difal mulai bernapas normal. Keringat mengalir deras di pelipisnya. Setengah jam ia di situ. Mencerna apa yang baru saja ia alami.

Gambar itu menjadi pemicunya. Sudah sejak lama hingga ia mulai memikirkannya belakangan ini. Pertanyaan yang ia ajukan dalam kesunyian mulai terdengar lebih lantang di telinganya. Jadi pagi ini, Difal memutuskan untuk menemui jawaban itu. Ia meraih ponselnya untuk menghubungi  penanggungjawab pamerannya dan membatalkan kehadirannya. Toh, kedua lukisannya tidak lolos murni seperti yang sudah ia duga. Alanda mungkin akan kecewa dan Alga  mungkin akan menyebutnya pecundang. Karena jawaban yang paling ingin dia dengar berasal dari ibunya sendiri.

*****

sweetness & sorrowWhere stories live. Discover now