chapter 6 - intimacy

191 13 0
                                    

Jika Alanda mengabadikan setiap momen melalui ponsel, Difal hanya membutuhkan pena dan kertas. Sementara Alanda tertidur lelap di sampingnya, wajah cantik istrinya itu sudah berpindah ke dalam kertas memo yang ia temukan di laci nakas. Setiap goresan yang Difal torehkan mewakili seluruh perasaannya. Rasanya tidak ada yang jauh lebih hebat daripada ini. Alanda di sini, di sisinya, dan sudah lebih dari cukup untuk membuatnya bahagia.

Setelah puas dengan gambarnya, ia kemudian melarikan jemarinya ke lekuk wajah hingga sisi kanan tulang selangka sang istri, di mana tanda lahirnya tercetak di sana. Bentuknya mengingatkan Difal pada benua Australia. Tempat di mana mereka berada saat ini. Negara pertama yang mereka kunjungi bersama dan sekaligus tempat orangtuanya memilih menetap. Seolah-olah semua itu sudah ditakdirkan untuknya.

Difal sengaja berlama-lama di tanda lahir itu, mengikuti setiap lekukannya dengan jari telunjuk. Ia tidak pernah puas jika hanya memandanginya. Jika dipikir-pikir lagi, kapan Difal pernah puas pada Alanda? Setiap inci tubuhnya menginginkan perempuan cantik itu. Setiap saat.

Gerakan kecil itu ternyata membuat mata Alanda mengerjap. Lenguhan halus terdengar dari bibirnya yang beberapa jam yang lalu menyerukan nama Difal berkali-kali. Ketika sepenuhnya terjaga, Alanda tersentak bangun. Otomatis membuat tangan Difal terangkat ke kepala, seperti orang yang tengah tertangkap basah. "Ya ampun, Difal. Kita ngapain!?"

Sebelah alis Difal terangkat dengan ekspresi mengejek. "Menurut kamu kita ngapain?"

Alanda melotot dengan wajah memberengut lucu. "Ini semua gara-gara kamu!" tudingnya.

"Memang gara-gara aku," Difal mengakuinya dengan senyuman di wajah. "And we're naked and groping each other," godanya.

Mendengar itu sontak saja membuat Alanda memukul lengannya karena malu. Pipinya pasti sudah merona. "Dijaga ya, mulutnya!"

"Sama suami sendiri kenapa harus malu, sih?" Tanpa memedulikan kalimat itu, Alanda segera menyibak selimut tapi kemudian dicegah oleh Difal. "Mau ke mana?"

"Pulang! Bunda pasti sudah nyariin kita."

"Sudah tengah malam, Bunda pasti sudah tidur."

Alanda kembali tersentak karena terkejut. "Ya ampun, Difal, kita semalaman di sini?"

Difal mengangguk puas. "Kamu ketiduran setelah kita..." Sebelum menyelesaikan kalimatnya, Alanda sudah menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Jangan dilanjutin," pintanya malu. "Kita harus ngabarin Bunda, kalau kita terpaksa nginap di sini."

Sudah Difal lakukan saat Alanda jatuh tertidur. Meskipun hanya sebuah pesan singkat, Difal yakin ibunya pasti sudah mengerti. "Sudah kukabari," serunya menenangkan setelah Alanda melepaskan kedua tangannya. "Lagi pula kenapa kamu harus sekhawatir ini?"

"Nanti Bunda bisa salah paham," ucap Alanda setelah mengembuskan napas lega. "Kalau Bunda marah, aku nggak tahu harus gimana."

"Salah paham karena apa? Dan kenapa harus marah?" Difal tidak mengerti jalan pikiran Alanda kali ini. "Untuk apa?"

Sembari mengangkat selimut hingga menutupi dada, Alanda kembali bersuara, "tujuan liburan kita kan, untuk mengunjungi keluarga kamu. Kalau Bunda tahu kita tiba-tiba nginap di tempat lain, nanti Bunda bilang apa soal aku."

Kedua alis Difal bertaut, mengernyit bingung. "Aku benar-benar nggak paham, Sayang."

Alanda mengibaskan sebelah tangan, lalu kembali berbaring memunggungi Difal. "Sudahlah, kamu nggak bakalan ngerti perasaan seorang menantu perempuan kayak aku."

sweetness & sorrowWhere stories live. Discover now