chapter 8 - support system

221 12 2
                                    

Jakarta terlihat muram pagi ini. Sisa-sisa hujan semalam masih menempel di balik kaca jendela, menciptakan efek kabur tapi juga cantik.

Alanda menikmati pemandangan paginya itu dengan kuap lebar. Sementara Difal masih terlelap di sampingnya. Masih tampak kelelahan tapi juga menawan di matanya. Ia bergerak bangun untuk mengecup pipi Difal sekilas, kemudian menyibak selimut dan melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Semalam mereka langsung jatuh tertidur begitu tiba dari Sydney. Koper-koper masih tergeletak di lantai, bersama dengan beberapa tas belanja yang belum dikeluarkan isinya.

Setelah menyiapkan keperluan Difal untuk bekerja, Alanda beranjak ke dapur. Rutinitas hariannya dimulai lagi hari ini setelah menikmati libur panjang. Difal juga sudah harus masuk kantor karena masa cutinya sudah habis. Sungguh minggu yang berat setelah apa yang sudah mereka——ralat——suaminya alami belakangan ini. Meskipun Difal tidak mengatakan apa pun lagi setelah kejadian hari itu, Alanda yakin sesuatu telah berubah. Yang membuat rasa khawatirnya kian bertambah.

Dengan mengandalkan sisa bahan makanan di kulkas, Alanda mulai membuatkan sarapan untuk mereka. Kurang dari setengah jam, sepiring pancake pisang untuk Difal dan semangkuk sereal untuknya tersaji di atas meja. Alanda juga menyiapkan kotak makan berisi roti lapis dan sebotol jus jeruk untuk bekal Difal di jalan. Difal muncul tidak lama setelah itu. Sudah rapi dengan kemeja biru yang Alanda siapkan untuknya.

"Pagi," Alanda menyapa duluan. Ia membiarkan Difal memeluknya dan mengecup pipinya. "Aku udah buatin sarapan," lanjutnya.

"Kenapa nggak bangunin aku? Aku kan bisa ikut bantu," ucap Difal tanpa melepaskan pelukannya. Ia sangat suka bermanja-manja pada Alanda. Kadang-kadang kalau sedang iseng, ia sering memberikan kecupan-kecupan kecil di wajah istrinya itu. Seperti saat ini.

"It's okay, kamu kelihatan capek banget. Aku nggak tega bangunin kamu." Alanda berjinjit untuk balas mencium.

"Tapi kamu juga capek."

"Aku masih bisa istirahat setelah ini. Kalau kamu harus balik kerja lagi, belum lagi kalau kena macet di jalan."

Difal mengerang mendengarnya. Ia mengeratkan pelukannya sebelum melepaskan Alanda yang menuntunnya untuk duduk di depan meja makan. "Hari ini kamu ada kegiatan apa?" tanyanya.

"Aku mau ke supermarket. Bahan makanan kita udah menipis. Setelah itu aku mau bawain oleh-oleh buat Bibi, terus aku ada jadwal konsul sama dokter Alga," tutur Alanda. Ia sudah mencatat semuanya di ponsel dan memasang pengingat agar tidak lupa.

Mendengar nama Alga disebut membuat Difal menegang. Dia tahu Alga tidak akan membocorkan kunjungannya minggu lalu, tapi tetap saja ia merasa tidak tenang memikirkannya. Setelah urusan kantornya selesai, ia berjanji pada diri sendiri akan menghubungi Alga untuk meminta maaf karena telah ingkar janji.

"Mau aku temani ketemu dokter?"

"Aku cuma sebentar, kok."

"Kalau sudah sampai rumah, jangan lupa kabari aku."

Alanda mengangguk sebagai jawaban. "Oh iya, aku juga udah siapin oleh-oleh buat Mas Ibra dan Pak Idwan. Buat beberapa teman-teman kantor kamu juga ada. Jangan lupa dibawa, ya?"

Difal tersenyum berterima kasih padanya. Sebenarnya Alanda tidak perlu melakukan persiapan seperti itu, tetapi ia bersikeras dengan alasan bahwa setidaknya Difal harus meminta maaf karena sudah membatalkan pamerannya secara sepihak. Terutama kepada Pak Idwan yang sudah sejak lama mendukungnya. Dan hari ini ia sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan menyambutnya di galeri.

"Seandainya cutiku bisa diperpanjang," ujar Difal sembari memasukkan pancake ke mulut yang sudah ia taburi madu. "Enak, Sayang," pujinya.

Alanda senang mendengar pujian itu. "Memangnya kenapa kalau cuti kamu diperpanjang?"

sweetness & sorrowWhere stories live. Discover now