2. Another Day

370 44 1
                                    

Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam, akhirnya Kalandra menghentikan mobilnya di tengah hutan.

"Keluar!"

"Kamu yang jatuh hati kenapa harus aku yang nanggung bebannya?"

"Seandainya kamu punya keberanian buat lawan Ayahmu, mungkin Alura udah jadi milik kamu sekarang."

"Kamu pengecut, tumbalin aku dengan rencana busuk kamu." Ucap Sashiana tanpa menoleh kearah Kalandra, menghembuskan nafas dengan berat Sashi perlahan menatap tajam Kalandra.

"Sudah berjalan sejauh mana rencana kamu untuk menggulingkan Adhitama? Aku harap rencana kamu sukses tanpa harus menumbalkan siapapun didalamnya." Tidak menunggu respon Kalandra, Sashiana bergegas melangkah keluar dari mobil ia berjalan menuju kearah mobil sedan putih yang terus mengikuti Sashiana dan Kalandra sejak keluar dari cafe.

Sedangkan Kalandra masih diam terpaku, rahangnya mengeras wajah yang putih itu berubah menjadi merah padam, kedua tangannya mencengkram kuat stir.

Dengan kedua lutut yang lemas, tanpa kata Sashiana masuk ke dalam mobil.
Anita, sang pengemudi mobil hanya melirik sekilas ke arah Sashiana. Keadaan sahabatnya sungguh terlihat kacau, ia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Kembali mengemudikan kemudi, membelah jalanan yang hening.

Sashiana masih tidak mengeluarkan suara, kedua matanya hanya menatap jendela samping. Pandangannya terasa kabur karena berusaha menahan air mata yang memberontak untuk keluar, kepalanya berdentam-dentam seperti di pukul palu, lehernya nyaris tak sanggup menahan kepala yang memberat.

Sashiana butuh ketenangan untuk saat ini, dan Anita tahu tempat dimana Sashiana selalu bersembunyi disaat hatinya kacau seperti sekarang. Kedua sahabat itu selalu saling memahami tanpa perlu mengucapkan kata yang bahkan selalu tertahan diujung lidah.

"Lo ga perlu turun, hati-hati di jalan Nit." lirih Sashiana.

"Hubungi gue kalau butuh di jemput." Sashiana hanya mengangguk, setelah melihat mobil Anita melesat meninggalkanya. Sashiana masih terdiam membisu di pinggir jalan, ketika rintik hujan mulai turun ia bergegas melangkah masuk ke rumah bergaya ala Jepang yang cukup asri dengan taman depan yang begitu luas.

Saat akan mencapai pintu, langkahnya tertahan ia menatap hujan yang mulai membasahi tanah.

Melepas heels-nya dan melempar tasnya sembarang, Sashiana perlahan berjalan menuju taman tanpa perduli hujan yang mengguyur tubuhnya ia mulai membaringkan tubuh di atas rumput yang sudah basah dan menutup kedua matanya dengan tangan.

Bahunya bergetar, tangisnya pecah Sashiana menangis sejadi-jadinya. tidak perduli tubuhnya mulai ngilu terkena tetesan hujan, Sashiana terus menangis.
Tanpa tahu kedua orang di dalam rumah tengah mengawasi kegiatannya semenjak gadis itu memasuki pekarangan rumah, ada tatapan pilu yang di rasakan keduanya saat mendengar suara tangisan Sashiana.

Mereka tidak ada niat sedikit pun untuk menghentikan Sashiana, karena mereka tahu Sashiana butuh melampiaskan emosinya.

**

Perlahan kedua mata itu terbuka, sinar lampu yang terang menjadi pemandangan pertama saat ia membuka mata.

Pandanganya masih buram, Sashi mencoba memfokuskan kedua matanya. Ia masih belum sadar sepenuhnya, menatap bingung dengan keadaan sekitar.

Seingatnya semalam ia berada di taman dan menangis di bawah hujan yang cukup deras, setelah itu dia tidak ingat apa pun lagi.

Memijat pangkal hidungnya, Sashiana mencoba mengingat apa saja yang terjadi kemarin.

Brakk

Seketika Sashiana terlonjak kaget, pintu kamar terbuka, seorang remaja laki-laki berseragam putih abu menatap sengit ke arah Sashiana.

Done For MeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora