O5. Kerja Sama?

79 15 5
                                    

“Aku mengamatinya seharian kemarin. Mereka berdua yatim piatu, tinggal di kontrakan, ayah mereka seorang kriminal yang sekarang masih dipenjara. Sepertinya karena itulah adiknya dibuli.” Yoshi beristirahat sejenak usai melakukan shadow boxing menemani Hueningkai berlatih untuk pertandingan turnamen tinjunya.

Hueningkai pun menghentikan aktivitasnya sejenak usai mendengar ucapan Yoshi. Dia menghabiskan beberapa detik untuk mengatur napas. “Mungkin aku harus menemuinya segera.” Sahut laki-laki itu namun justru dibalas tatapan tak setuju dari Yoshi.

“Sepertinya kau tidak bisa. Helen bekerja paruh waktu penuh setiap hari libur.” Jawabnya menjelaskan.

Hueningkai tentu heran kenapa bisa Yoshi mengetahui dengan sangat detail. “Kau—bagaimana bisa tahu kalau dia full bekerja paruh waktu di hari libur?”

Sang lawan bicara hanya menghela napas kasar sembari mengambil air minum di pojok ruang boxing. “Bertanya pada tetangganya lah!” Yoshi mendudukkan diri pada kursi panjang dengan pandangan menghadap Hueningkai yang masih berdiri di depan samsak latihan tinjunya.

Hueningkai membuang napas kasar lalu melepas ikatan kain di telapak tangannya dengan keringat yang sudah membasahi tubuh. “Kurasa bicara sebentar pasti masih bisa.” Ujarnya setelah meneguk habis sebotol air mineral. “Tempat kerjanya di mana?”

“Ada supermarket di jalan xxx.” Balas Yoshi. “E–eh ... Kau yakin ingin mengajaknya kerja sama? Bagaimana kalau dia tidak mau dan malah mengacaukan rencanamu yang sudah disusun rapi?” Yoshi pastinya khawatir dengan langkah tiba-tiba dari Hueningkai. Pasalnya laki-laki itu bisa-bisanya mempercayai orang yang baru saja dia temui.

Hueningkai sempat terdiam di tempat dengan pandangan kosong. Otaknya memutar kembali kenangan masa kecil saat bersama Bahiyyih sebelum sang adik koma seperti sekarang. “Dia tidak akan. Perempuan itu pasti tahu apa yang kurasakan.” Hueningkai membalas namun suaranya terdengar lirih.

Alasan kenapa dia begitu yakin Helen tidak akan macam-macam apalagi mengacaukan rencananya untuk balas dendam pada Rachel karena Helen adalah orang dengan nasib yang sama sepertinya. Seorang kakak yang tidak akan pernah terima apalagi membiarkan pelaku penindasan adiknya berkeliaran tanpa mendapat sanksi. Jika Hueningkai bisa memanfaatkan kelembutan hati dari seorang perempuan untuk kepentingannya, dia tidak akan segan. Apalagi ini menyangkut soal Bahiyyih.

“Hei?” Panggil Yoshi. Hueningkai telah kembali pada kesadarannya dan dia langsung pergi begitu saja tanpa menoleh atau menyahut sama sekali panggilan Yoshi.

Aisshh ... Orang itu ...” Yoshi hanya dapat geleng-geleng kepala melihat kelakuan Hueningkai. Terkadang ada kalanya dia ingin menjitak kepala yang bersangkutan.

+×+

“Terimakasih sudah berbelanja! Oh! Selamat dat—” Ucapan Helen spontan terhenti saat melihat wajah tak asing masuk ke dalam supermarket tempatnya bekerja.

Hueningkai langsung menghampiri Helen usai melihat reaksi gadis itu ketika menyadari dia datang. “Ada urusan penting yang ingin kubicarakan padamu.”

Helen berusaha untuk acuh dan sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Sebenarnya dia tahu kalau kemarin Yoshi diam-diam mengikutinya. “Haa, benarkah? Tapi kitakan tidak saling kenal?” Helen berekspresi kaku seolah dia memang tidak mengenal orang yang kini ada di hadapannya.

“Kau ingin kita kenalan dulu?” Tanya Hueningkai. Sejujurnya dia hanya basa-basi menanggapi respon Helen yang seperti tengah mengajaknya main-main. “Baiklah. Kai Kamal Huening. Panggil saja Hueningkai.” Hueningkai mengulurkan tangannya bermaksud mengajak Helen bersalaman.

Helen merasa kesal karena Hueningkai berpura-pura bodoh padahal dia tahu ucapan Helen tadi adalah bentuk eksplisit dari penolakan secara halus. “Ada apa?” Pada akhirnya Helen tetap menanyakan maksud tujuan kedatangan laki-laki itu meski dia terlihat seperti tidak peduli.

“Bisa kita bicara di luar sambil duduk?” Pinta Hueningkai.

.
.
.

Tak

“Aku tidak minat.”

Padahal Hueningkai belum mengeluarkan kalimat ajakan kerja sama dan baru saja selesai menjelaskan maksud kedatangannya, tapi Helen sudah terlebih dahulu menolak.

“Aku akan membayar kalian dua kali lipat dari kesepakatan awal.” Bujuk Hueningkai. Dia menaikan harga bayaran jika Helen mau dan menyetujui bekerja sama.

Helen tersenyum miring tak percaya mendengar ucapannya. “Kau gila? Kau mau adikku masuk ke dalam lingkup pembulian itu lagi? Kalau begitu kenapa tidak kau sendiri saja, brengsek! Aku susah payah mengeluarkan adikku dari lingkaran setan dan kau mau dia bunuh diri ke dalamnya?”

“Tiga kali lipat.” Hueningkai tampak tidak peduli. Dia malah semakin menjadi-jadi, membuat Helen muak sendiri dengan perilakunya.

Yang bersangkutan sudah terlanjur kesal. “Pergi! Berapa pun kau membayarnya, aku tidak akan mau.” Helen beranjak dari kursi dan hendak kembali ke dalam rutinitasnya.

“Tunggu! Kumohon ... Adikku masih koma. Dan aku sangat membutuhkan bukti itu.”

Deg

Mendadak rasanya ada yang mengganjal di benak Helen. Kondisi yang dikatakan oleh Hueningkai—entah mengapa tiba-tiba membuatnya merasa iba. Helen spontan menghentikan langkah kakinya dan berakhir terdiam tanpa sepatah kata.

“Kumohon ... Kau hanya perlu bantu aku mengambil bukti dari pihak pembuli perempuan. Untuk si pembuli laki-laki, aku sendiri yang akan mengatasi.” Hueningkai tak menyerah.

Alasan dia tidak bisa melakukan sendiri rencananya pada Rachel dan teman-temannya yang melakukan pembulian pada Bahiyyih adalah karena baik di antara Rachel ataupun Jay—keduanya sama-sama orang yang punya banyak kaki tangan atau anak buah. Koneksi dari orang tua mereka menyulitkannya untuk bergerak lebih leluasa. Sekaligus Hueningkai tahu emosinya tidak akan bisa dikontrol jika dia hadapi sendiri nanti. Mau bagaimanapun Hueningkai tidak akan memukul perempuan. Yah, bayangkan saja jika kepalan tangan yang sudah biasa memukul samsak tinju dan banyak orang di atas ring digunakan untuk memukul wajah atau tubuh perempuan.

Hueningkai beranjak dari tempat duduk lalu mengeluarkan sobekan kertas dari saku bajunya. “Aku akan memberikanmu waktu tiga hari untuk berpikir. Hubungi aku jika kau sudah mendapatkan keputusan.” Dia meletakkan kertas itu di atas meja pengunjung supermarket sebelum akhirnya berlalu pergi.

Helen menoleh usai memastikan Hueningkai benar-benar sudah pergi. Matanya pun secara perlahan beralih pada sobekan kertas yang ditindih dengan bekas kaleng minuman di atas meja.

.
.
.

Dari arah tak jauh di sekitar, sepasang mata tampak tersenyum mengamati. Sambil menghisap permen lolipop strawberry di tangan, Rachel tersenyum kecil. “Cho Helen ...” Gumamnya. “Kau benar-benar menguji kesabaranku.”





























To be continue
ෆ Duality : The Revenge ෆ

Duality : The Revenge [Hueningkai]Where stories live. Discover now