10. Bertamu

51 12 5
                                    

Mohon maaf lahir batin guys🙏🏻

Btw aku update nih hehe


































Haahh ... Dasar bedebah-bedebah itu,”

Di perjalanan saat mencari rumah Hueningkai, Helen tak henti-henti memaki. Perbuatan Rachel dan teman-temannya sangat membuat geram bukan main. Pipi yang barusan ditampar oleh perempuan itu bahkan masih terasa panas. Padahal Helen sudah bersusah payah menahan diri agar tak kelepasan bertindak kasar.

Helen mengamati sebuah rumah mewah yang terletak di pinggir jalan. Rumah bercat putih yang dikombinasikan dengan warna abu-abu, tampak paling menonjol di antara rumah lain karena design–nya yang elegan dan berkelas.

“Benarkah ini rumahnya?” Helen merasa tidak yakin meski sudah melihat nomor rumah yang ada di depan pagar masuk. Dia membaca alamat yang dikirim Hueningkai lewat pesan padahal tulisannya tak berubah walau sudah dibaca berulang kali. “Sepertinya benar ...?” Gumam Helen.

Ting

Baru saja hendak mengecek keadaan di dalam rumah tersebut lewat sela-sela pagar, tiba-tiba terdengar suara notifikasi masuk. Helen pun membuka kembali handphone–nya dan ketika dicek ternyata pesan dari Hueningkai.

HK

Masuk saja 17.23

Seketika dahi Helen mengeryit heran membaca pesan itu. Darimana Hueningkai tahu kalau dia sudah tiba?

Ah, apa mungkin ada kamera pengawas di sekitar sini?

Dengan hati-hati Helen mendorong pagar rumah Hueningkai lalu menutupnya kembali. Dia berjalan masuk sambil mengamati keadaan di sekeliling yang tampak asri. Untuk tiba di rumahnya saja, Helen musti berjalan sekitar beberapa meter lagi. Karena setelah dari pintu masuk masih ada halaman yang tak tahu seberapa luasnya. Jangan lupakan air mancur, lampu taman, dan lapangan olahraga di bagian depan sampai samping rumah menurut pengamatan dari Helen.

Ceklek

Helen membuka pintu rumah Hueningkai dengan perlahan. Tepat ketika masuk, dia langsung disambut si pemilik rumah yang sedang duduk sambil menonton televisi. Hueningkai menoleh ke arah kedatangan Helen dengan tubuh yang hanya mengenakan mantel mandi dan celana panjang.

“Ada apa kau memanggilku kemari?” Helen bertanya dari dekat pintu. Seolah sungkan untuk masuk apalagi rumah Hueningkai terasa sunyi.

Bibir Hueningkai menarik senyum miring ketika menyadari sikap enggan Helen. Dia mengusap rambutnya ke belakang lalu menyandarkan tubuh pada sofa. “Kau mau kita bicara sambil berdiri di sana?” Canda Hueningkai. Dia menyilangkan satu kakinya ke kaki lain dengan kedua tangan direntangkan ke sofa.

Helen yang menyadari kekonyolannya hanya dapat mengedipkan mata kikuk. “Lagian ... Kau tidak mempersilahkanku duduk.” Katanya menumpahkan rasa malu pada Hueningkai.

Hueningkai pun menghela napasnya kasar usai mendengar jawaban Helen. “Ya oke, kau boleh duduk.” Ujarnya mempersilahkan. Karena sudah diberi ijin si pemilik rumah, Helen pun mendudukkan diri ke sofa di seberang Hueningkai.

“Aku langsung ke intinya saja,” Hueningkai membuka percakapan. “Aku sudah mengatakan padamu kalau saksi yang melihat peristiwa pembulian adikku telah dikendalikan oleh mereka, begitupun bukti di handphone–nya.” Dia mulai menjelaskan. “Tapi ternyata selain bukti miliknya, saksi tersebut bilang, Rachel sempat merekam kejadian itu juga sebelum akhirnya meninggalkan adikku pergi. Kau bisa mulai dengan menyelidiki rekaman di handphone Rachel.”

Lagi lagi, nama Rachel terdengar kembali. Darah Helen terasa seperti akan mendidih jika mendengar nama itu. “Ah ... Perempuan bedebah ini. Dia benar-benar sampah.” Celetuk Helen berhasil mengundang raut kaget dari Hueningkai yang tak sengaja mendengar.

Helen menyadari pandangan tak menyangka Hueningkai saat tanpa sadar mulutnya menggerutui Rachel. Dia pun buru-buru mengubah ekspresi wajahnya menjadi biasa lagi, “O–ohh ... Baiklah.” Balas Helen sembari mengangguk-anggukkan kepala mengerti.

Hueningkai merasa sudah tak ada lagi yang perlu dibicarakan, dia pun beranjak hendak pergi ke kamar mandinya di lantai dua. “Kalau begitu kau boleh pulang.” Tuturnya sukses memancing tatapan heran Helen.

Apa-apaan ini? Hanya begitu saja? Laki-laki itu menyuruhnya pergi sejauh dua kilometer lebih hanya untuk mengatakan beberapa kalimat? Bahkan tanpa menjamu sang tamu meski hanya sekadar menyediakan air minum atau camilan.

“YHAA! Kau menyuruhku datang cuma untuk bicara itu?” Tanya Helen tak terima. Tentu saja, sia-sia dia membuang uang untuk naik bus ke rumah Hueningkai. Belum ditambah tenaganya berjalan kaki ketika mencari rumah yang bersangkutan.

Hueningkai terdiam sejenak untuk berpikir. Meski pun sudah meluangkan beberapa detik dia tetap tak merasa ada yang salah. “Ya. Memang mau apa lagi?” Sahut Hueningkai dan kini Helen rasanya sudah tak bisa menahan diri.

“Apa-apaan kau ini—! Di mana sopan santunmu? Ada tamu datang tapi tidak disuguhi apa-apa. Ah ... Aku baru ingat kalau kau dari luar negeri,”

“Oh, kau ingin disediakan sesuatu? Maaf, aku sedang tidak punya makanan apa-apa. Kalau kau lapar, aku bisa memesankan makanan delivery.”

Auuhhh ... Si brengsek ini. Bagaimana bisa aku bicara dengan orang idiot sepertinya.”

“Apa katamu?”

“Sudahlah! Sekarang giliran aku yang bicara,” sanggah Helen berhasil mengambil alih atensi Hueningkai dan memulihkan situasi ribut mereka. “Aku ingin kau membayarkan uang sewa rumahku.” Sambung gadis itu.

Hueningkai tentu bingung saat mendengar ucapannya. “Aku? Kenapa harus aku?”

“Karena kau tidak mau memberi uang kerja sama di awal kemarin, sedangkan aku butuh untuk membayar uang sewa rumah dan biaya sekolah adikku.” Helen memalingkan wajah malas menanggapi pandangan si lawan bicara. “Jadi, kau bayarkan uang sewa rumahku.”

“Tidak mau.”

Helen sukses dibuat mendelik kesal karena balasan Hueningkai. Laki-laki itu sungguh tidak punya empati. “Bagaimana aku bisa menjalankan misi ini kalau tidak punya tempat tinggal? Ayolah ... Sekali-kali kau berperikemanusiaan sedikit. Memang kau tidak kasihan pada kami? Setidaknya jika kau tidak percaya padaku, bantulah aku kali ini saja. Atau kau bisa potong dari uang kerja sama kita? Terserah, yang penting aku dan adikku punya tempat untuk istirahat.”

Sebenarnya Hueningkai cukup kasihan dengan keadaan Helen. Bukannya dia sama sekali tidak punya hati, hanya saja uangnya bulan ini sudah habis untuk membeli rumah baru. Tidak habis seutuhnya, namun tetap digunakan Hueningkai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski tidak berkepribadian sombong, namun terus terang terkadang dia sedikit hedon. Juga ... Hueningkai belum bisa mempercayai Helen seratus persen.

Hueningkai bergerak meraih remot di atas meja ruang tamu lalu mematikan televisi yang sejak tadi masih menyala. “Kalau begitu kau tinggal di sini saja.” Ujarnya. Helen seketika mengerutkan kening. “Apa?”

“Kau dan adikmu—kalian berdua tinggal saja di sini.”


































To be continue
ෆ Duality : The Revenge ෆ

Duality : The Revenge [Hueningkai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang