12. Rumah atau Istana?

36 9 3
                                    

Grrrttt

Suara roda koper yang digeret terdengar semakin mendekat di keheningan malam. Helen bersama Anna—dua gadis itu berjalan menuju rumah Hueningkai dengan menggendong tas ransel di punggung. Berbeda dari Helen yang terlihat santai sejak tadi, Anna justru tampak gusar dan tak yakin. Dia pandangi rumah dua lantai di depan mata yang ternyata lebih besar dari ekspektasinya itu.

Helen menyadari Anna tertinggal agak jauh. Dia pun menoleh ke belakang sambil melambai kecil. “Anna, kemari!” Perintah Helen menyuruh Anna agar lebih dekat dengannya.

“Kak, kau yakin kita akan tinggal di sini?” Tanya Anna sembari menggeret koper menghampiri sang kakak di depan pintu gerbang rumah Hueningkai.

Helen menghela napas sejenak lalu membuka gerbang tersebut seperti rumah milik sendiri, “Iya ... Tenang saja. Orang tuanya tidak ada di sini. Dia tinggal sendirian.” Jawab Helen.

“Tapikan—”

“Sudahlah. Anggap kita menemaninya di rumah besar ini. Mungkin saja dia kesepian?” Sudut bibir kiri Helen menarik senyum simpul untuk meyakinkan Anna. Usai berkata begitu, dia menarik adiknya masuk ke wilayah tempat tinggal Hueningkai sampai tiba di depan pintu masuk utama rumah.

Tok tok tok

Beberapa detik mereka berdiam diri menunggu. Sampai akhirnya pintu pun terbuka, menampilkan seorang laki-laki yang mengenakan kaos lengan pendek dan celana selutut. Hueningkai tak banyak bicara selain langsung mempersilahkan dua tamunya tersebut masuk.

“Terima kas—” Helen bahkan belum sempat menyelesaikan ucapan terima kasihnya namun Hueningkai sudah melengos pergi.

Auhhh ... Orang ini ...” Gumam Helen berhasil membuat Anna melirik tanpa bisa menanggapi.

.
.
.

“Kamarmu di sini, sedangkan kamar adikmu tepat di sebelah kamarmu.” Hueningkai menunjukan kamar yang akan ditempati oleh Helen selama kerja sama mereka berlangsung. Kamar itu ada di lantai satu dan letaknya di dekat tangga yang menghubungkan ke lantai dua.

Helen hanya mengangguk paham hendak segera masuk ke kamarnya untuk beres-beres, namun ternyata Hueningkai masih belum selesai.

“Dapurnya ada di sebelah sana, yang juga terhubung dengan ruang makan. Ruang keluarga di sana, lalu tempat gym dan kolam renang letaknya bersebelahan di sebelah sana, kamar mandi bersama ada di sana. Kalau kau atau adikmu ingin membaca buku, perpustakaan pribadiku ada di lantai dua paling ujung sana. Sebelahnya adalah kamarku, lalu sebelahnya lagi ruang pribadiku. Jangan pernah kalian masuk atau bahkan menginjakan kaki di ruang pribadiku.” Jelas Hueningkai panjang lebar sukses membuat Helen menganga kagum dan Anna terpaku akan kemewahan rumah laki-laki itu.

“Rumah kak Huening sangat besar. Pasti menyenangkan tinggal di sini dengan segala fasilitas yang lengkap.” Gumam Anna. Pandangannya melihat ke sekeliling rumah Hueningkai yang didominasi dengan lampu-lampu mewah dan fondasi bangunan berwarna emas. Seperti istana.

Hueningkai hanya mendengar gumaman Anna tanpa ada keinginan untuk menjawab atau membalas. “Ya sudah kalau begitu, selamat istirahat.” Pamit Hueningkai kemudian pergi ke lantai dua menuju kamarnya. Meninggalkan Helen dan Anna yang masih terdiam tak bergeming.

“Enaknya jadi orang kaya.” Monolog Anna tanpa sadar. Helen yang mendengarnya berkata demikian pun menepuk-nepuk punggung Anna pelan sembari tersenyum hangat. Setelah saling menatap satu sama lain, keduanya masuk ke kamar masing-masing untuk membereskan barang-barang mereka.

+×+

06.19

Meja makan di rumah Hueningkai kini sudah tak hanya digunakan oleh dirinya saja. Suara dentingan alat makan terdengar jelas karena suasana hening di antara aktivitas mereka. Untuk kesekian kalinya Anna mencuri-curi pandang pada Hueningkai yang tampak tak peduli hal lain selain makanan di piringnya.

“Kak Huening!” Panggil Anna.

“Panggil Kai saja.” Sahut Hueningkai segera, dia merasa sedikit aneh jika dipanggil ‘Huening’ sementara itu adalah marganya.

Anna membuka mulut sedikit usai Hueningkai membenarkan. “Ah ... Ya, kak Kai. Kakak biasanya berangkat ke sekolah naik apa?” Gadis itu memberanikan diri membuka percakapan.

Hueningkai menyeruput air minum di gelasnya kemudian melamun sejenak untuk berpikir. “Taksi?” Dia menjawab namun seperti agak tidak yakin.

“Ya ampun ... Bukankah lebih hemat jika naik bus? Lagipula—” Mulut Helen secara spontan ikut menanggapi. Dia tahu kalau ongkos taksi lebih mahal padahal bus jaman sekarang juga tidak kalah nyaman. Tapi menyadari orang yang hendak dinasihatinya adalah Hueningkai, seketika ucapan Helen pun terhenti. “Hhh ... Lupakan saja. Kau pasti tidak nyaman jika harus berdesak-desakan, bukan? Selagi kau punya uang ...” Helen menghela napas kasar kemudian menyendokkan makanan ke mulutnya.

Hueningkai hanya menyimak perkataan Helen sambil mengusap mulutnya menggunakan tisu. “Aku berangkat duluan. Jangan lupa kunci pintu rumah dan gerbang depan saat kalian berangkat.” Dia beranjak dari kursi dan meraih tas sekolahnya.

“Ooh? Kau tidak akan membawa kunci rumahmu juga?” Helen kebingungan. Jika kunci rumah dibawa olehnya dan Anna, lantas bagaimana Hueningkai bisa masuk rumah kalau Helen atau Anna belum pulang?

“Aku bisa menggunakan sensor sidik jari.” Balas Hueningkai santai.

Ah, benar juga. Ada sensor sidik jari. Helen lupa kalau rumah ini tidak seperti rumahnya.

Hueningkai terlihat sudah berjalan jauh meninggalkan dapur, sedangkan Helen dan Anna—mereka masih duduk di meja makan. Di saat tanpa sadar Helen melamun, Anna memecah keheningan dengan mengambil piring makan Hueningkai untuk dicuci.

Buru-buru Helen cegah perbuatan adiknya dengan merebut piring kotor di kedua tangan Anna agar dia saja yang mencuci. Anna tentu kaget, apalagi tindakan Helen sangat tiba-tiba. Dia merasa seperti akan menjatuhkan piring-piring kotor itu padahal sudah berhasil dipegang oleh Helen. “Kak ...? Apa yang kau lakukan?” Pekiknya.

Helen menumpuk semua piring kotor bekas mereka bertiga sarapan lalu berjalan ke wastafel dan mulai mencuci. “Kau berangkat duluan saja. Aku yang akan cuci piring-piring ini.”

“Tapi—”

“Sudah, sana berangkat.”

Anna hanya bisa pasrah ketika kakaknya sudah bersikeras. Helen memang selalu mementingkan Anna meski terkadang dia seolah tak peduli pada diri sendiri. Jujur, Anna jadi merasa sedih dan bersalah karena selalu membantah Helen atau memusuhi sang kakak jika sedang bersuasana hati buruk.

“Aku berangkat.” Anna mengambil tas sekolahnya dengan tatapan sendu pada Helen. Namun yang membuatnya lebih sedih lagi adalah ketika melihat kakaknya menoleh sambil tersenyum lebar.

“Iya, pergilah. Nanti kalau pulang lebih awal dari biasanya, kau telepon atau SMS aku saja.” Balas Helen disela aktivitasnya.

Anna balas tersenyum kecil sebelum akhirnya berlalu pergi. Kini tinggalah Helen seorang diri di rumah Hueningkai. Melihat punggung Anna yang semakin menjauh dari pandangan, Helen jadi sedikit bersyukur kali ini. Meski sedang kesulitan ekonomi, ada Hueningkai yang mau menampungnya dan Anna. Laki-laki itu memperbolehkan mereka tinggal di rumahnya, bahkan makan pun menggunakan bahan masak milik Hueningkai bukan Helen yang beli sendiri. Setidaknya hal tersebut bisa membantu Helen dalam berhemat.





























To be continue
ෆ Duality : The Revenge ෆ

Duality : The Revenge [Hueningkai]Where stories live. Discover now