Hot Brondong

147K 930 4
                                    

Maya tidak ingat mengapa dia bisa sampai nekat bermain api dengan Saka, anak magang di kantornya yang bahkan baru berusia 24 tahun. Dengan laki-laki sepuluh tahun lebih muda darinya, di saat Maya sendiri sudah punya Brian sebagai suami sahnya.

Mungkin karena Brian terlalu sibuk dengan bisnisnya di luar negeri? Atau mungkin karena Brian sudah tak sehangat dulu saat awal pernikahan mereka?

Entahlah, Maya tidak tahu. Yang jelas,
hubungannya dengan Brian memang semakin hambar setelah tujuh tahun menikah. Brian jarang pulang, sementara Maya terus disibukkan dengan pekerjaannya, terutama setelah dia dipromosikan sebagai project manager di kantornya, di sebuah perusahaan advertising terkemuka di Jakarta.

Namun, meski tidak ingat alasannya, Maya masih hafal bagaimana dirinya pertama kali bertemu hingga akhir bercinta dengan Saka.
Saat itu, sekitar tiga bulan yang lalu, Maya baru saja naik jabatan. Mujib, bos di kantornya, mulai memperkenalkan Maya dengan satu per satu rekan timnya, termasuk tiga anak magang dalam tim tersebut. Salah satunya, Saka.

"Saka ini anak magang populer di perusahaan. Kamu pernah lihat nggak?" tanya Mujib kala itu.

Mata Maya sontak beralih menatap Saka yang perawakannya menjulang. Tinggi wanita di sebelah Saka saja hanya menyentuh bahu pria tersebut. Kulitnya sedikit cokelat, senyumnya manis. Meski tertutup kemeja, otot-otot di lengan Saka masih tercetak jelas. Siapa pun tahu dia sangat bugar.

Dari segi penampilan sih, wajar kalau Saka populer. Terlebih, dia memang tampan.

"Tidak, Pak," jawab Maya singkat sebelum kembali menatap Mujib. 

Sementara Saka, dia enggan melepas pandangannya dari Maya barang satu detik pun. Bahkan setelah Mujib mempersilakan orang-orang untuk duduk kembali, hingga Maya melangkah memasuki ruangannya, Saka masih memaku pandangannya pada punggung sempit Maya. 

Di saat itu Saka sadar kalau dia merasakan sesuatu yang beda pada Maya. Dia ... menyukai Maya.

Beberapa hari setelah Maya naik jabatan, Maya mendapatkan proyek besar pertamanya, yaitu meng-handle iklan sebuah produk skincare. Meski baru akan rilis dan belum punya branding yang kuat, tapi pemilik produk itu adalah Susan Angeli, salah satu penyanyi Ibu Kota papan atas yang sedang naik daun. Tentu saja Maya ingin melakukan yang terbaik dalam proyek pertamanya ini.

"Saya keluar sebentar, ada meeting dengan Susan Angeli," ujar Maya pada rekan-rekan timnya. 

Beberapa dari mereka menyemangati Maya agar meeting berjalan lancar, sementara sisanya iseng meminta tanda tangan Susan Angeli. Namun, berbeda dengan rekan-rekannya, Saka justru bangkit dari kursinya sambil menyampirkan tas ransel hìtamnya di pundak kanan.

"Saya temani, Bu."

Maya terdiam sebentar menatap Saka sebelum akhirnya menggeleng. "Tidak usah. Sayaㅡ"

"Nggak apa-apa, Bu, ajak aja si Saka. Apa salahnya manfaatin anak magang cakep, siapa tahu bisa bikin Mbak Susan klepek-klepek. Jadi gampang deh nanti negonya," sahut salah satu karyawan yang langsung dibalas anggukan setuju dari rekan lainnya.

Maya kembali menimbang-nimbang. Saka masih setia berdiri di tempatnya berpijak, menatap Maya dengan lekat dan intens.

"Oke, kamu ikut saya," putus Maya sebelum berjalan menuju parkiran, disusul Saka yang bisa dengan mudah menyamakan langkahnya dengan langkah kecil Maya.

Di sepanjang perjalanan mereka menuju parkiran, banyak wanita menatap Saka takjub, menaruh seratus persen atensi mereka pada pria menjulang di samping Maya tersebut. 

"Ternyata apa yang Pak Mujib bilang benar ya. Kalau kamu populer di sini," ujar Maya saat menunggu lift yang akan membawa mereka menuju parking underground terbuka.

“Apa gunanya ditatap perempuan lain kalau Bu Maya sendiri nggak melakukan yang sama?"

"Apa?" Maya mendongak, menatap Saka dengan alis menyatu.

Apa dia bilang? Maya ... hanya salah dengar, kan? 

Pintu lift di depan mereka terbuka, membuat Maya buru-buru memutus kontak matanya dengan Saka lalu berjalan lebih dulu menuju mobilnya. Perjalanan mereka menuju kantor Susan Angeli pun hanya diisi dengan keheningan. Baik Maya maupun Saka memilih untuk diam, bergelut dengan isi pikiran masing-masing.

***

Ternyata usulan rekan tim Maya benar-benar memberikan efek yang luar biasa. Ide konsep iklan yang dibuat Saka sangat menakjubkan hingga Susan Angeliㅡbahkan Maya sekalipunㅡlangsung setuju tanpa basa-basi. Alhasil, beberapa minggu setelahnya, syuting pun dimulai. Susan Angeli memilih Bali sebagai lokasi syuting perdananya.

"Bu Maya besok ikut ke Bali ya? Sama Saka?" tanya Wira, salah satu rekan tim Maya setelah mereka selesai melakukan meeting.

"Iya. Kenapa? Mau ikut?" tanya Maya setengah bercanda.

"Kalau boleh sih mau banget, Bu. Sekalian jalan-jalan," jawab Wira sambil menyengir yang langsung dibalas sorakan dari teman timnya yang lain.

"Ingat ya, saya dan Saka ke Bali buat kerja. Selama kami tidak ada, proyek selanjutnya kamu handle dulu ya, Wir."

"Siap, Bu."

Maya tersenyum kecil sebelum akhirnya melangkah kembali menuju ruangannya. Namun, baru saja Maya meraih daun pintu, seseorang sudah lebih dulu memanggil namanya dengan suara beratnya. Begitu memutar tubuh, sosok Saka sudah ada di depan matanya.

Jantung Maya sontak bergemuruh kencang detik itu juga. Sepertinya dia merasa kaget karena Saka yang tinggi menjulang itu tiba-tiba berdiri di hadapannya, seolah tengah mengungkung tubuhnya hanya sebatas dada Saka.

Sialan! Apa-apaan kamu, May?! Maya hanya bisa merutuk dalam hati.

"Ada apa?" tanya Maya setelah berhasil menguasai diri.

"Saya nggak dapat hadiah?"

"Hadiah?" Kening Maya mengernyit. Setelah sadar tentang hadiah yang Saka maksud, Maya pun tergelak kecil. "Bonus karena berhasil bikin Susan Angeli deal sama kita maksud kamu? Kalau itu perusahaan yang akan kasih. Sayaㅡ"

"Tapi saya maunya hadiah dari Ibu," potong Saka. Wajahnya terlampau serius hingga membuat Maya tidak bisa tertawa lagi. "Saat di Bali, saya boleh minta hadiah saya, kan?"

Maya meneguk salivanya susah payah. Tiba-tiba saja dadanya berdesir. Dengan mata masih menatap Saka, Maya pun mengangguk.

"Ya. Saya akan kasih hadiahmu saat di Bali nanti."

(Short Series) Brondong Simpanan Bu BosWhere stories live. Discover now