He's Back

71.5K 759 8
                                    

Pergumulannya dan Saka beberapa hari yang lalu memberikan efek yang luar biasa pada Maya. Wanita itu jadi semangat lagi bekerja. Hal tersebut tentu membawa dampak besar pada performa kariernya. Baru beberapa bulan menjadi project manager, Maya sudah dibanjiri klien penting yang ingin bekerja sama dengan timnya.

“Bu Maya kelihatan happy banget akhir-akhir ini. Kenapa, Bu? Habis dapat jatah dari suami, ya?”

Pertanyaan dari Wira itu berhasil menyentak Maya yang sedang membuat kopi di pantry. Maya lantas tersenyum. Alih-alih wajah Brian, Maya justru memikirkan wajah Saka.

“Saya senang pekerjaan akhir-akhir ini lancar. Kamu juga, kan?” tanya Maya balik, setengah berkilah sekaligus mengubah topik pembicaraan.

“Senanglah, Bu. Kalau bukan karena Bu Maya, tim kita nggak akan berprogres secepat ini,” jawab Wira, membuat Maya senang bukan kepalang. Menurutnya, pujian dari bawahannya adalah pujian terbaik. Lebih menyenangkan ketimbang mendengar pujian dari bos Maya.

“Terima kasih. Kamu jangan kapok kerja bareng saya,” ujar Maya tulus yang langsung dibalas anggukan dan tawa kecil dari Wira.

“Pasti dong, Bu—”

“Ehem!”

Belum juga percakapan Maya dengan Wira berakhir, sebuah dehaman dari ambang pintu pantry berhasil menyentak keduanya. Mata Maya langsung membulat melihat Saka sudah berdiri di sana dengan wajah datar.

“Seneng banget. Bahas apa?” tanya Saka sambil berjalan mendekati Maya dan Wira.

“Rahasia. Anak magang dilarang tahu,” jawab Wira setengah bercanda. Namun, Saka masih saja memasang wajah datar dan tak suka. Maya jelas bisa merasakannya, tapi Wira sepertinya sama sekali tidak sadar. “Saya duluan deh, Bu. Yang saya bilang tadi serius ya, Bu. Justru harusnya saya yang bilang jangan kapok ke Bu Maya.”

Maya hanya membalas dengan senyuman kikuk. Setelah Wira pergi dan pintu pantry tertutup, Saka langsung mengimpit tubuh Maya hingga bokongnya menyentuh meja pantry yang ada di belakangnya.

“Sudah main rahasia-rahasiaan sama saya?” tanya Saka setengah menginterogasi, membuat Maya refleks mengulum senyum.

“Kenapa? Memangnya tidak boleh kalau saya punya rahasia dengan karyawan yang lain?” tanya Maya balik, mencoba menggoda Saka yang sangat kentara sedang cemburu.

Saka memajukan wajahnya, membuat jarak di antara mereka kian menipis. Dada mereka yang saling menempel membuat jantung Maya mulai berdetak cepat.

“Boleh. Tapi saya nggak suka kamu senyum kayak tadi di depan laki-laki lain.” Maya sontak tergelak kecil. Namun, tawa tersebut tak berlangsung lama karena Saka sudah lebih dulu mendekatkan bibirnya di telinga Maya lalu mulai berbisik sensual. “Nanti malam, biar saya hukum kamu.”

Maya menggigit bibirnya kuat-kuat, mencoba menahan desahannya agar tidak lolos. Bisa bahaya jika dia gagal menahan nafsu. Mereka sedang ada di pantry kantor. Yang benar saja!

Tepat setelah Saka mengurai jarak di antara mereka, suara derap langkah terdengar mendekati pantry. Maya buru-buru menetralkan debaran jantungnya. Bersamaan dengan itu, pintu pantry terbuka lalu muncullah Wira yang sedikit melongok dari celah pintu.

“Bu Maya, ada yang nyariin,” katanya tanpa curiga. Maya terus merapal kata syukur dalam hati karena Wira datang di saat yang tepat.

“Siapa? Saya tidak ingat punya janji bertemu dengan klien.”

Wira akhirnya membuka lebar pintu pantry supaya terbuka lebih lebar. “Kayaknya bukan klien, Bu, soalnya saya belum pernah lihat dia juga.”

Maya mengernyit. Masalahnya, siapa pun klien yang ingin menemui Maya harus membuat janji lebih dulu. Kalau apa yang Wira bicarakan memang benar, lalu siapa orang yang akan mencarinya sampai ke kantor seperti ini?

“Kamu tahu siapa namanya?” tanya Maya lagi. Saka yang sedang pura-pura sibuk membuat kopi diam-diam ikut menajamkan telinganya.

“Dia sih bilangnya Brian, Bu. Ibu kenal?”

Tubuh Maya sontak menegang, begitu pula dengan Saka yang refleks menghentikan laju tangannya yang sedang mengaduk kopi. Maya mengepalkan tangannya kuat-kuat sebelum akhirnya mengangguk kecil.

“Kenal. Dia suami saya.”

***

Maya tidak ingat kapan terakhir kali dirinya dan Brian bertemu, bahkan saling duduk berhadapan seperti sekarang ini. Tiga bulan? Enam bulan? Satu tahun?

Entahlah, Maya tidak tahu. Yang jelas, kehadiran Brian membuatnya merasa sangat canggung. Terlebih, dia datang langsung ke kantornya seperti ini, membuat Maya merasa tidak enak pada rekan timnya yang lain. Terutama pada Saka.

“Kita bisa bicara di rumah, Mas. Kenapa kamu harus datang ke kantor kayak gini?”

“Aku nggak bisa lama-lama, May. Sore nanti aku ada penerbangan.”

“Lagi? Kamu mau pergi lagi?” Maya bertanya diiringi tawa miris. “Kamu bahkan belum pulang ke rumah, dan sekarang kamu mau pergi lagi,” lanjutnya lebih lirih.

Setelah obrolan singkat tersebut, keduanya kembali terdiam. Maya lebih suka menunduk menatap kesepuluh jari tangannya daripada menatap sang suami yang jelas-jelas sudah berada di depan matanya.

“Jeslin bilang kalau dia sempat bertemu kamu sama anak magangmu. Apa anak magang itu yang menyambutku tadi?” 
Brian kembali membuka pembicaraan. Namun, Maya yang enggan menjawab pun memilih untuk menggeleng.

“Kamu jauh-jauh datang ke sini, mengorbankan waktu, pekerjaan, dan uangmu, bukan cuma untuk ngomongin itu, kan?” tanya Maya sarkas.

Brian bergeming selama beberapa saat sebelum membuka tas hitamnya dan meletakkan sebuah amplop cokelat di atas meja kerja Maya. Maya hanya bisa diam sembari menatap dan menebak isi amplop cokelat tersebut.

“Sepertinya udah nggak ada alasan bagi kita untuk mempertahankan pernikahan ini. May. Sebaiknya kita cerai aja. Aku akan membagi hartaku sesuai dengan perjanjian pranikah kita.”

Brian berujar dengan lancar, seolah kalimat tersebut sudah dia siapkan dengan baik sejak jauh-jauh hari. Maya yang mendengarnya hanya bisa terenyak dengan kepala berdenyut.

Sejujurnya, Maya tidak terlalu terkejut. Dia tahu, cepat atau lambat hari ini pasti akan datang. Pernikahan mereka sudah tidak sehat. Dan sialnya, tidak ada satu pun dari mereka yang berinisiatif untuk memperbaiki keadaan.

Hanya saja, bukankah ini berlebihan? Memberikan surat cerai di kantor lalu terbang lagi ke tempat yang tak Maya ketahui?

“Kamu punya perempuan lain?”

Maya menengadahkan kepala, menatap Brian lekat. Meminta pria itu untuk bicara jujur.

“Hm. Kami tinggal bersama di New York sejak satu tahun yang lalu.”

Lagi, Brian menjawab dengan lancar, seolah pertanyaan Maya adalah hal yang sudah dia duga.

Maya hanya diam. Dia sama sekali tidak kaget. Dia sebagai wanita saja butuh belaian laki-laki hingga menyeret Saka ke dalam kubangan perselingkuhan, apalagi Brian, seorang pria dewasa super mapan yang tinggal jauh dari istri sahnya. 

“Baguslah.”

“Maaf, May.”

Maya menggeleng dengan mantap. “Nggak, nggak perlu minta maaf. Lagi pula, buat apa kamu minta maaf kalau kita melakukan hal yang sama?” 

Maya melemparkan tanya dengan suara menggantung, membuat Brian ikut menegang dari kursinya. 

“Anak magang yang Jeslin lihat tempo hari … aku dan dia sudah tidur di ranjang kita. Oh. Kami juga pernah bercinta di sana,” lanjutnya sambil menunjuk meja kerja Maya yang terletak tida begitu jauh dari mereka. 

“Jadi, kamu nggak perlu minta maaf karena aku dan kamu nggak ada bedanya.”

Maya bangkit dari kursinya lalu melangkah menuju pintu ruangannya. Setelah membukanya sedikit, pandangan Maya kembali jatuh pada Brian yang masih membeku di atas kursinya.

“Silakan pergi, jangan sampai kamu ketinggalan pesawat dan terlambat bertemu wanita barumu itu. Sampai bertemu di sidang perceraian kita.”

***

(Short Series) Brondong Simpanan Bu BosWhere stories live. Discover now