I Want You, Saka

108K 661 1
                                    

Sejak saat itu, semua tak lagi sama. Maya sedikit menghindari Saka dan Saka jelas menyadarinya. Berulang kali Saka mencoba mencari celah agar bisa bicara berdua dengan Maya, berulang kali pula Maya mencari-cari alasan agar menggagalkannya.

Apa Maya tidak merasakan perasaan yang sama dengan dirinya? Apa pergumulan mereka hari itu tidak memberikan dampak apa pun pada Maya? Karena jujur saja, Saka bahkan tidak bisa melupakan sedikit pun momen tersebut. Wajah cantik Maya, suara desahan yang memanggil namanya, sentuhan wanita itu di atas kulit telanjangnya ... Saka masih ingat semuanya.

Maka, hari ini Saka bertekad untuk mengakhiri situasi tidak menyenangkan di antara dirinya dengan Maya. Setelah jam kantor berakhir, Saka memutuskan untuk tetap tinggal di mejanya, menunggu Maya yang masih berada di ruangannya. Saka tahu karena ruangan bosnya itu masih menyala.

Setelah tiga jam menunggu, akhirnya lampu ruangan Maya mati. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu yang terbuka. Saka pun bergegas menghampiri Maya lalu meraih pergelangan tangannya hingga membuat bosnya itu sedikit tersentak karena terkejut.

"S-Saka? Kamu masih di sini?" tanya Maya setengah terbata, tak menyangka kalau laki-laki yang dia hindari beberapa hari belakangan ada di depan matanya.

"Kita harus bicara. Jangan menghindar."

Maya hanya bergeming dengan posisi yang sama. Mungkin Saka benar. Mereka harus bicara. Lagi pula, Maya bukan ABG yang suka lari dari masalah. Itu jelas bukan gayanya. 

Cukup beberapa hari belakangan dia bersikap pengecut. Sekarang, Maya tidak akan melakukannya lagi.

"Kamu benar. Kita harus bicara."

Jawaban Maya membuat Saka lega bukan kepalang. Tangannya yang semula mencengkeram pergelangan tangan Maya, kini berubah jadi menengadah, menampilkan telapak tangan bagian dalamnya.

"Kunci mobil. Biar saya yang bawa mobil kamu," kata Saka, seolah mampu membaca isi pikiran Maya.

Maya menghela napas kecil sembari merogoh tas branded-nya lalu menyerahkan sebuah kunci pada Saka.

"Kamu mau bawa saya ke mana?"

"Apartemen saya."

***

Tak butuh waktu lama, Maya benar-benar tiba di apartemen Saka yang terletak tidak begitu jauh dari kantor. Sementara Saka mengambil minum, Maya memilih berjalan menuju jendela lalu menatap jalanan Ibu Kota yang padat merayap di bawah sana. Lampu-lampu yang menyala membuat suasana di apartemen lantai sepuluh ini terasa semakin meriah.

Untuk ukuran pemagang, tempat ini terlihat sangat mewah. Maya beransumsi, sepertinya Saka datang dari keluarga kaya.

"Ini." 

Suara Saka sedikit menyentak Maya. Pria itu berdiri di sebelahnya sambil menyodorkan segelas jus jeruk kepada Maya.

"Terima kasih," balas Maya lalu meraih jus tersebut.

Suasana kembali hening. Maya sibuk berkelana dengan isi pikirannya sendiri, begitu pula dengan Saka. Dirinya mencari-cari kalimat yang tepat untuk diucapkan. Tentang pergumulan mereka di Bali beberapa hari yang lalu.

"Soal hari itu ..." Maya menggantungkan kalimatnya, tanpa melepas tatapannya dari jalanan di bawah sana. "Anggap saja kecelakaan. Sepertinya kita terbawa suasana."

Akhirnya Maya mengutarakan apa yang ada di pikirannya. Namun, tak ada jawaban yang terdengar dari mulut Saka. Karena penasaran, Maya pun menengadahkan kepala, menatap sang lawan bicara yang sudah lebih dulu memusatkan seluruh perhatiannya pada Maya. Mata mereka bersiborok, membuat Maya lagi-lagi memutar kenangan mereka saat berada di Bali.

Kenangan saat Saka menciumnya …

Kenangan saat Saka menjamahnya …

Kenangan saat Saka menghunjam liang kenikmatannya ...

Kenangan saat Saka melontarkan kalimat suka yang benar-benar di luar nalar Maya …

Demi Tuhan. Maya masih mengingat semuanya dengan jelas.

"Kita?" tanya Saka setelah lama terdiam. "Saya nggak pernah terbawa suasana. Saya melakukannya dengan sadar, termasuk saat saya bilang suka ke kamu, Maya."

Maya meremas gelas di tangannya sedikit kuat, berusaha mengembalikan kewarasannya yang hampir hilangㅡlagiㅡkarena ulah Saka.

"Saya sudah punya suami, Saka. Saya istri orang!" katanya pada Saka. Ralat. Kata Maya, lebih pada dirinya sendiri.

Seutas seringai muncul di bibir Saka, membuat Maya semakin berdegup kencang. "Lalu? Kenapa? Yang paling penting, bukannya kamu menikmatinya malam itu? Bukannya kamu nggak menolakku, May?"

Sialan! Maya hanya bisa merutuk dalam hati karena apa yang Saka katakan adalah benar. Maya tidak menolak. Justru Maya-lah yang meminta Saka untuk memuaskannya. Maya-lah yang meminta Saka menyelesaikan permainan mereka.

Saka maju beberapa langkah, mengikis jarak di antara mereka. Setelah tubuhnya mengimpit tubuh Maya, pria itu lantas merengkuh Maya hingga membuatnya sedikit tersentak.

"Sikap kamu hari itu menjadi bukti kalau pernikahanmu nggak baik-baik saja. Ya, kan?" 

Maya hanya bergeming di dalam pelukan Saka. Aroma maskulin yang menusuk hidungnya membuatnya semakin terbuai. Membuatnya semakin rindu dengan belaian Saka.

Saka melepas pelukannya, lalu menunduk agar bisa menatap Maya lekat dan serius.

"Sekalipun saya cuma jadi yang kedua, atau bahkan jadi pemuas nafsumu saja, saya nggak akan menolak, May. Asal saya bisa menghabiskan waktu berdua lebih banyak sama kamu, saya mau jadi apa saja."

Maya tercekat. Pengakuan Saka sungguh di luar nalar. Namun, apa yang terjadi selanjutnya lebih membuatnya tercengang.

Saka menciumnya. Dan sialnya, Maya sama sekali tak menolak. Bahkan suara nyaring yang timbul akibat gelas di tangan Maya yang jatuh dan pecah pun sama sekali tidak mengganggu mereka.

Saka menyesap bibir merah Maya sambil menuntun wanita itu ke sofa, membuat Maya refleks mengalungkan tangannya di leher Saka agar tidak limbung. Pagutan mereka terasa semakin dalam dan intens begitu Saka berhasil merebahkan tubuh sempit Maya di atas sofa apartemennya.

"Katakan, May. Katakan kalau kamu juga mau saya," pinta Saka setelah melepas tautan bibir mereka. Maya yang sudah diliputi nafsu pun mengangguk.

"I want you, Sak. Saya mau kamu."

Senyum di bibir Saka mengembang. Pria itu melucuti kemeja dan celana pantalonnya hingga menyisakan boxer, begitu pula Maya yang dengan cepat melepas blus merahnya. Saat ingin melorotkan roknya, Saka buru-buru menahan Maya.

"Ini bagian saya."

Saka kembali melumat bibir Maya, mengabsen satu per satu deretan gigi rapi Maya sambil sesekali membelit lidah wanita itu dengan rakus. Permainan bibir Saka saja sudah berhasil membuat Maya panas dingin. Saka jelas jauh lebih mahir dari Brian. Selama menikah, Maya belum pernah merasakan sensasi semendebarkan dan senikmat ini hanya dengan sebuah ciuman.

Sapuan bibir dan lidah basah Saka di setiap jengkal kulit putih Maya membuatnya terbang ke awang-awang. Pergumulan yang mereka lalui di apartemen Saka terasa jauh lebih nikmat dan intens dari malam yang mereka lakukan di Bali.

Mungkin karena Maya sudah menerima pengakuan Saka? Atau mungkin karena Maya sudah melibatkan sebagian kecil hatinya dalam melakukan malam panjang bersama Saka?

Entalah. Satu-satunya yang Maya tahu hanyalah, Saka begitu nikmat. Dan dia tidak akan melepaskan kenikmatan luar biasa seperti ini, sekalipun dirinya sudah berstatus sebagai istri orang.

***

(Short Series) Brondong Simpanan Bu BosWhere stories live. Discover now