Cuma Anak Magang

93.7K 580 2
                                    

Hari demi hari berlalu. Hubungan Maya dan Saka berjalan semakin intim dan intens. Mereka bisa melakukannya di mana saja. Apartemen Saka, mobil, kamar hotel, bahkan di ruang kerja Maya.

Ya, seolah ingin mengulangi kenekatan mereka bercinta di mobil, mereka pun melakukannya lagi di kantor, di ruangan Maya, saat hari mulai gelap dan semua karyawan sudah pulang. Gila. Maya akui dia sudah gila.

Selama bekerja di kantor ini, tidak pernah satu kali pun tebersit di benak Maya bahwa dia akan bercinta di atas mejanya dengan bawahannya sendiri. Permainan Saka benar-benar melampaui imajinasinya. Maya tahu apa yang dia lakukan salah, tapi Maya sama sekali tidak bisa membendung hasratnya.

Lagi pula, bagaimana bisa Maya menolak Saka yang terlalu panas dan manis di saat bersamaan? Maya hanya wanita dewasa normal yang butuh partner ranjang dalam melampiaskan hasratnya. Dan sekarang, hanya Saka yang mampu memuaskannya. Hanya Saka yang mampu membuatnya terbang ke awang-awang.

Asyik bergelut dengan isi pikirannya sendiri, Maya pun dibuat tersentak saat sepasang lengan kokoh melingkar di perutnya yang ramping. Jantung Maya semakin berdegup kencang saat merasakan bahu kanannya memberat, seperti ada sesuatu yang menempel di atas sana.

"Saka! Ini kantorㅡ"

"Tenang aja, nggak ada siapa-siapa di sini," potong Saka sambil membenamkan wajahnya di ceruk leher Maya.

Well, Maya tahu gudang arsip ini memang jarang dimasuki karyawan, tapi sekarang masih jam kantor! Maya yakin ada banyak karyawan hilir-mudik di depan pintu. Maya tidak mau dipergoki sedang bercinta dengan anak magang di gudang arsip.

Maya buru-buru melepas pelukan Saka. Setelah berhasil meloloskan diri, Maya pun langsung memutar tubuh, membuat matanya sontak bersiborok dengan dada bidang Saka yang tertutup kemeja putih.

"Ini masih jam kantor, Saka. Tidak sekarang," ujar Maya pada Saka dan juga pada dirinya sendiri. Dia ingin memberi alarm pada tubuhnya agar bisa mengontrol nafsunya sendiri. Cukup semalam dia kecolongan, hari ini tidak bolehㅡlagi.

Saka lantas menghela napas panjang, setengah pasrah. "Baik, Mayㅡ"

"Bu Maya. Ingat. Ini masih jam kantor." Lagi-lagi Maya mengingatkan, membuat Saka mengerang frustrasi.

"Semoga jam kantor bisa cepat selesai," ucap Saka yang hanya Maya balas dengan helaan napas pendek. "Malam ini mau makan bersama di luar?"

"Makan malam bersama?" Maya mengulang kalimat Saka dengan alis menyatu.

"Hm. Saya baru dapat kabar dari Pak Mujib kalau beliau minta saya ikut ke Pontianak buat bertemu klien. Sepertinya hampir lima hari."

Maya terdiam. Bukan karena kesal dengan tingkah Mujib yang seenak jidat meminta anggota timnya pergi tanpa berkoordinasi dengannya lebih dulu, melainkan kaget karena Saka akan meninggalkannya secara mendadak seperti ini.

Lima hari tanpa sentuhan Saka ... apa itu mungkin?

"Kapan kamu pergi?"

"Besok pagi harus sampai bandara." Maya refleks mendesah kecewa, membuat Saka hampir tergelak karena tingkah imut Maya. "Tenang, kita masih punya waktu satu malam. Setelah makan, saya akan ajak Bu Maya bersenang-senang."

Bersenang-senang. Maya jelas tahu makna dari kata "bersenang-senang" yang baru saja Saka rapalkan tersebut.

"Baiklah. Nanti kirim alamat restorannya. Kita bertemu di sana."

"Baik," balas Saka. Sebelum benar-benar meninggalkan ruang arsip, Saka sempatkan untuk menyambar bibir Maya lalu melumatnya pelan. "Sampai jumpa nanti malam. Maya."

***

Saka memang tidak pernah bercerita tentang keluarganya, tapi Maya seratus persen yakin kalau Saka memang terlahir dari keluarga kaya. Tidak ada orang pas-pasan yang rela menghabiskan uang puluhan juta hanya untuk makan malamㅡlebih tepatnya fine diningㅡdi La Seine, salah satu restoran Prancis termewah di Jakarta. Namun, Saka jelas-jelas mengajaknya ke sana.

"Kamu yakin mau traktir saya makan di sini? Makan malam di sini bisa menghabiskan beberapa bulan gaji magang kamu loh," tanya Maya, memastikan.

Bukannya bermaksud merendahkan Saka, Maya hanya tidak mau Saka melakukan effort berlebih hanya untuk menyenangkannya.

"Sekali-sekali nggak apa-apa. Lagian, buat kamu apa sih yang enggak?"

Maya berdecih, berusaha menghapus perasaan tersipu yang timbul akibat gombalan Saka. "Lain kali tidak perlu bertindak sejauh ini."

Saka lantas mengedikkan bahu. "Apa pun cara yang saya lakukan buat menyenangkan kamu, itu jadi hak dan urusan saya."

Maya hanya menggelengkan kepala, tak mau berdebat lebih panjang dengan Saka. Maya bukan wanita bodoh. Dia tahu kalau Saka memang menaruh perasaan lebih padanya. Namun, Maya tidak mau bertindak lebih jauh. Baginya, Saka hanya partner ranjang. Meski ada perasaan bahagia dan berdebar, Maya memilih untuk mengabaikannya.

"Ayo masuk," ajak Maya.

Sebelum wanita itu beranjak, Saka sudah lebih dulu meraih tangan Maya lalu menggenggamnya erat. "Ini di luar jam kantor," ujar Saka cepat.

Maya mengalah. Dirinya memilih untuk mengekor di belakang tubuh menjulang Saka dengan tangan saling bertautan.

"Loh? Maya?"

Namun, sebuah suara yang memanggil Maya berhasil membuat wanita itu menegang. Begitu matanya berhasil menangkap sosok sang pemilik suara tersebut, jantung Maya kian berdetak cepat.

"J-Jeslin?"

"Wah, lama nggak ketemu. Brian mana?"

"B-Brian?"

Maya mendadak gagu. Sudah beberapa bulan belakangan komunikasinya dengan Brian terganggu. Jangankan tahu kabarnya, Maya bahkan tidak tahu pasti di mana suaminya itu berada.

Mata wanita yang Maya panggil dengan sebutan Jeslin itu beralih menuju Saka. "Dia siapa? Adik kamu?"

Pertanyaan Jeslin membuat Maya refleks mengempas genggaman tangan Saka hingga terlepas. Rasanya seperti sedang tertangkap basah, padahal dia sama sekali tidak mencuri.

"B-Bukan. Cuma anak magang. Ada janji sama klien di dalam."

"Oh, anak magang," sahut Jeslin manggut-manggut. "Kalau Brian udah balik dari luar negeri, kita makan bareng ya. Udah lama nggak ketemu Brian soalnya."

Sebagai jawaban, Maya hanya mengulas senyum canggung. Sampai Jeslin benar-benar menghilang dari pandangannya, barulah Maya bisa sedikit bernapas lega.

Pertemuan tak terduga mereka dengan Jeslin membuat suasana yang awalnya hangat berubah menjadi dingin. Saka tidak mengucapkan sepatah kata pun. Wajahnya terlihat datar. Bahkan makan malam berakhir pun, suasana di antara mereka masih sedingin es. Perjalanan menuju rumah Maya terasa sangat lama karena kebisuan tersebut.

"Cuma anak magang? Apa saya cuma anak magang di mata kamu?"

Saka akhirnya bersuara setelah mobilnya berhenti di depan pelataran rumah Maya. Saat mata mereka bertemu, Maya tahu kalau Saka memang sedang menuntut penjelasan.

"Lalu apa yang harus saya katakan? 'Oh, dia Saka, anak magang di kantor sekaligus simpanan dan partner ranjangku', begitu?"

Entah kenapa Maya jadi ikut terpancing emosi karena pertanyaan Saka. Lagi pula, bukankah sejak awal mereka hanya ingin saling memuaskan? Bukankah sejak awal Saka tahu tentang statusnya sebagai istri Brian?

"Jeslin itu teman Brian. Kita beruntung karena dia tidak curiga. Kalau sampai dia curiga, bukan tidak mungkin dia akan melaporkan semuanya ke Brian. Kenapa kamu harus meributkan hal kecil seperti ini?"

Saka terperenyak, sedangkan Maya hanya bisa menghela napas panjang dan kasar.
"Pulanglah. Besok kamu harus ke bandara, kan?"

"Mayㅡ"

"Pulang, Saka. Dan jernihkan pikiranmu. Saya mau istirahat," potong Maya sebelum membuka pintu di sebelah kirinya lalu melesat keluar dari mobil Saka, meninggalkan laki-laki yang tengah merutuki kebodohannya itu sendirian di dalam mobil.

***

(Short Series) Brondong Simpanan Bu BosWhere stories live. Discover now