Campervan Pertama Dayi dan Bhumi

38 6 5
                                    

"Mobil? Emangnya Mas mau beli mobil?" tanya Dayi dengan mata yang berbinar.

Selama ini, mereka ke mana-mana memang masih selalu memakai mobil tua warisan dari ayahnya Bhumi. Padahal, jika dipikir-pikir, dengan Bhumi yang sudah menjadi bos di usia muda itu, dia bisa saja dengan gampang membeli mobil baru.

"Rencananya begitu. Kamu mau warna apa?"

"Pink." Jawaban Dayi yang secepat kilat dan tanpa dipikir panjang itu pun langsung mendapat reaksi semangat dari Bhumi.

"Sudah kuduga. Untung ada dan udah kupesan duluan dari yang lain. Soalnya, limited edition. Katanya besok bakalan di antar ke rumah," ujar Bhumi dengan senyum yang mengembang. Dia tahu betul istrinya itu terobsesi dengan warna merah muda.

Dayi yang mendengar ucapan Bhumi, refleks menjatuhkan sebuah paket yang tengah ia pegang. Mulutnya terbuka dengan tatapan tak percaya.

"Seriusan Mas beli mobil? Mobil apaan? Warna pink pula. Sumpah, Mas? Nggak lagi bercanda, kan?" tanya Dayi yang masih diliputi rasa tak percaya. Pasalnya, dia tahu benar kalau suaminya itu alergi warna pink. Terlalu girly katanya untuk sesosok yang berbadan kekar. Tapi, apalah daya. Kesukaan istri menduduki tahta tertinggi dalam berumah tangga.

Selain itu, Bhumi juga memang terkenal hemat bin irit sekali kalau masalah beli-beli barang. Terlebih yang impulsif. Menurut Dayi, kalau suaminya mau boros, uangnya pun tidak akan cepat habis. Malah masih meluber. Terlebih lagi jika melihat beberapa tabungan suaminya yang berisi ratusan juta hasil penjualannya di toko material.

Sejak awal menikah, rezeki suaminya sudah seperti hujan deras. Beberapa kali menang tender dan mendapat borongan dari proyek perusahaan besar. Entah mau diapakan uang sebanyak itu. Dayi pun bingung sebagai istri. Terlebih lagi ketika dirinya juga sudah memiliki penghasilan sendiri dari hasil berkonten. Sudah lebih dari cukup untuk memenuhi hasrat belanja impulsifnya.

Sementara itu, Bhumi terlihat gemas melihat reaksi Dayi. Dia kemudian menyodorkan ponsel dengan layarnya yang masih menyala. Di layar tersebut menampilkan sebuah gambar yang membuat Dayi kembali tak bisa berkata-kata. Matanya terbelalak saking tak percaya. Mulutnya membulat sembari menatap wajah Bhumi dengan keharuan yang meledak tiba-tiba.

"Mas beli campervan? Masya Allah. Demi apa ini seriusan? Kita bakalan punya campervan warna pink?" tanya Dayi dengan mata yang kini mulai berair. Suaranya bergetar, tetapi raut wajah gembiranya tak bisa ia bendung lagi.

Bhumi mengangguk cepat. Dia lalu meraih tubuh Dayi ke dalam dekapannya sambil membatin, "demi bini bahagia. Gue ikutan jadi girly juga nggak apa, deh. Warna pink? Lama-lama juga gue bakalan terbiasa. Seumur hidup? ah, memang lama. Tapi kalau sama Dayi, rasanya hepi aja, sih."

"Terima kasih ya selama ini sudah sabar menjadi istrinya Mas. Ini hadiah buat ulang tahun pernikahan kita yang kedua. Kamu suka, kan?"

Mendengar ucapan Bhumi, dia menarik tubuhnya untuk menatap wajah sang suami. Dia bahkan tidak ingat dengan tanggal peringatan anniversary mereka. Keterpurukannya kemarin membuat Dayi lupa tentang segala hal. Air matanya seketika mengalir, kemudian terisak dan berakhir dengan tangisan yang meledak.

"Loh, kok Sayangnya Mas Bhumi malah nangis, sih? Cup-cup-cup." Bhumi kembali memeluk Dayi sembari menepuk punggungnya dengan rasa sayang.

"Aku happy, Mas. Nggak tahu mau gimana ungkapinnya ... aku jadi pengen nangis aja. Makasih, ya ... hadiahnya. Itu kan mobilnya mahal. Mobil impian aku ... akhirnya aku punya juga," ucap Dayi terbata-bata sambil masih diiringi dengan tangisan haru.

"Iya, Makanya selama ini Mas nabung dan sebisa mungkin menahan diri untuk nggak beli yang nggak penting-penting amat. Biar bisa kebeli mobil impianmu itu."

Wish ListTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang