Bulan Madu Kedua VS Omongan Tetangga

24 3 0
                                    

“Lo kebanyakan jalan-jalan, sih, Day. Makanya jangan sering-sering. Kecapean kan lo? Gimana mau punya anak kalau lo sendiri aja nggak sayang sama tubuh lo. Katanya mau hamil. Katanya mau punya anak kaya gue? Gue sih saran aja, ya. Bukannya mau iri atau apa. Gue tuh peduli sama lo, Day.”

Dayi mendengkus saat teringat ucapannya Hening lusa kemarin. Beberapa hari yang lalu, dia dan Bhumi memang baru saja pulang dari long trip mereka. Setelah menghabiskan waktu seminggu hanya untuk perjalanan pulang dan pergi, lalu beberapa hari untuk mengeksplor pulau-pulau di sekitar Labuan Bajo, Dayi pulang dengan harapan, pikirannya sudah tenang dari berbagai macam julidan.

Ternyata, tidak.

“Dengar-dengar lo baru balik dari Labuan Bajo, ya? Gimana? Cakep? Mana coba oleh-oleh buat Adam sama Alam? Gini-gini kan anak gue ponakannya lo juga. Emangnya lo nggak ingat sama mereka?”

Kembali, ucapan-ucapan sarkastik dari Hening mulai memenuhi kepalanya. Untung saja, Dayi sempat membeli beberapa oleh-oleh khas Labuan Bajo yang memang sengaja akan ia bagi-bagikan ke para tetangga. Termasuk Hening.

“Kalau dipikir-pikir, sejak kapan gue bersaudara sama dia? Kita kan cuma sekadar tetangga dan teman zaman kuliah doang. Iya, sih. Dulu emang gue menganggap dia jadi bestie banget. Tapi, gara-gara statusnya yang kemarin, gue jadi mau pikir-pikir ulang, deh. Lagian, mana ada bestie yang julidnya kebangetan? Ya, kan? Pakai segala embel-embel peduli sama gue lagi, hoax banget!” gerutu Dayi sambil memandang rumah bercat abu-abu yang berada persis di depan rumahnya.

Mendengar gerutuan sang istri, Bhumi yang saat itu tengah menyibukkan diri bebersih jendelanya Luluk menoleh heran.

Kenapa lagi bini gue?

Bhumi lalu menghentikan aktivitasnya lalu memilih ikut duduk di sebelah sang istri. Lelaki itu menghela napas sesaat. Dayi menoleh ke arah Bhumi sambil mengernyitkan kening. Helaan napas suaminya terdengar begitu berat. Sampai-sampai tak ada kalimat apa pun yang keluar dari mulut Bhumi setelah itu. Dia hanya diam sambil turut memandangi rumah yang sejak tadi menjadi perhatiannya Dayi.

“Kenapa, Mas?”

“Orang depan lagi ke luar nggak, ya?” tanya Bhumi dengan tatapan menyelidik. Kepalanya mendelik sembari mengintip kondisi rumah tetangganya dari sisi-sisi kosong pagarnya.

“Memangnya kenapa?”

Bhumi meletakkan kanebo yang tadi ia gunakan untuk mengelap jendelanya Luluk, kemudian beralih menatap Dayi. Dia menghela napas lagi sambil memegang kedua bahu Dayi untuk memutar posisi duduknya untuk saling berhadapan.

“Kenapa lagi tadi gerutu sendiri?”

“Loh, emangnya Mas Bhumi dengar? Perasaan aku tadi lagi ngomong dalam hati, deh.”

“Ngomong dalam hati gimana? Suaramu itu, lho. Udah hampir kaya toa masjid. Mau emang si Hening dengar gerutuannya kamu?”

Dayi terkekeh. Rasanya dia tak sadar sudah mengeluarkan semua unek-uneknya yang tertahan sejak kemarin.

“Ya, habisnya aku kesal banget sama si Hening. Giliran aku jalan-jalan mulu, dijulidin. Giliran balik dari jalan-jalan, malah minta oleh-oleh. Maunya apa sih tuh orang?”

“Tapi kan emang udah kamu siapin juga oleh-oleh buat anak-anaknya. Terus kenapa masih kesal?”

“Omongannya itu yang sarkas banget, Mas. Berlagak peduli, tapi sebenarnya mah ya gitu, deh. Aku nggak bisa ber-word-word lagi pokoknya. Nggak ngerti, nggak paham. Kenapa coba jadi begini? Perasaan sebelum ini, kita kan baik-baik aja. Nggak ada tuh drama selek sama tetangga. Kenapa coba mendadak begini? Heran aku, tuh. Kehidupan rumah tangga yang aman sentosa ini kenapa tiba-tiba jadi penuh huru-hara ya, Mas?” sungut Dayi panjang lebar.

Bhumi hanya mengangguk pelan mendengar keluhannya sang istri. Dia akhirnya paham perasaan yang tengah dialami Dayi memanglah bukan sekadar masalah kecil. Setelah dipikir-pikir, wanitanya itu memang wujud nyata dari segala sifat zodiak cancer. Si pemikir ulung yang sedikit-sedikit overthinking. Kalau sudah begini, jalan satu-satunya adalah mengiyakan semua keluhannya. Dengar dan jangan diceramahi. Dia hanya butuh sosok pendengar, bukan sosok pemberi solusi.

“Ya, kan Mas udah pernah bilang. Jawabannya cuma satu. Dia iri sama kamu. Lagian, masih aja dipikirin. Yang penting kamu juga masih berbaik hati kan ke dia? Anak-anaknya tetap kebagian oleh-oleh dari kamu. Mana paling banyak pula dari anak-anak tetangga yang lain.”

“Lucu soalnya Adam sama Alam. Gemesin. Tapi, emaknya enggak. Bawel, judes lagi,” jawab Dayi sambil menarik napas panjang. Tangannya bergerak meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kayu di depannya.

Seperti biasa, hal pertama yang ia lihat adalah status harian milik teman-temannya di daftar pertemanan.  Termasuk status milik Hening. Melihat ikon status Hening yang belum terbuka itu, jantungnya mendadak terasa seperti ditonjok. Padahal, dia juga belum sempat membukanya, tapi feeling-nya sudah tidak enak duluan. Ibu jari Dayi bergetar. Dia dilema antara skip dan klik buka.

Rasa penasarannya yang menggebu, membuat ibu jari Dayi terpaksa menekan ikon tersebut dengan hati degdegan.

Healing berkedok travelling. Bilang aja mau liburan. Elah. Emangnya lo sakit mental pakai bilang healing segala?

“Kan, apa kata aku, Mas? Dia nyindir lagi, nih. Mau ngeles lagi kalau statusnya itu bukan buat aku? Kan yang ada disekitarnya dia cuma aku yang suka bilang healing sana sini.” Dayi menyodorkan ponselnya ke Bhumi setelah sempat menangkap layar status tersebut.

Mata Bhumi membulat, alisnya terangkat sebelah. Dia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum menyeringai.

“Bininya si Dani nih kayaknya emang sebelas dua belas juga sama dianya, Yang. Pantesan jodoh. Irian, gengsian. Wes, sami ae. Klop tuh berdua.”

Mendengar respons Bhumi yang semakin mengompori dirinya,  jantung Dayi semakin terasa degdegan. Kedua tangannya mendadak lemas lagi seperti saat membaca status sindiriran pertama dari Hening.

“Sudah dua kali loh dia nyindir aku, Mas.”

“Iya, Mas tahu. Udah diemin aja. Orang kayak begitu, kalau ditanggapi makin jadi nanti.”

“Tapi,  aku gatal mau balas sindir dia di status.”

“Jangan! Udah nurut aja sama Mas. Jangan dibalas di status! Oke?”

Dayi mengembuskan napas berat sekali lagi. Jemarinya terasa gatal untuk ikut membalas status sindirannya Hening. Namun, apa mau dikata. Bhumi dengan tegas melarangnya untuk melakukan hal itu. Padahal, sah-sah saja. Dayi juga punya hak yang sama seperti Hening untuk curhat di sosial media. Terutama di status whatsapp.

“Dengar, nggak? Jangan dijadiin status, ya?” ulang Bhumi sambil menatap tajam ke mata istrinya.

Dayi mengangguk lemah. Dia terpaksa mengiyakan ucapan Bhumi. Setelah ia berpikir lebih jernih, memang benar ucapan Bhumi. Kalau dibalas, takutnya malah semakin melebarkan duduk perkara.

“Ya udah, deh. Kali ini aku anggap nggak ada kejadian. Anggap aja statusnya bukan buat aku. Gitu kan, Mas?” Bhumi mengangguk sembari memberikan jempol tanda setuju.

“Mending kata Mas sih, kamu mute aja statusya si Hening, Yang!” saran Bhumi kemudian.

Setelah beberapa saat menimbang saran dari Bhumi, akhirnya Dayi menurut. Dengan cepat ibu jarinya menekan pilihan ‘bisukan' pada status Hening.

Mission completed, Mas. Aku nggak bakal lagi deh ngelihat statusnya Hening yang nyakitin itu. Sesak dadaku!”
“Bagus. Mending jauh-jauh kita sama teman yang toxic, Yang. Lagian nggak bagus juga buat kesehatanmu.”


***


Eh, Day. Lo sama Hening kenapa lagi, sih? Udah Musuhan sekarang? Bukannya setahun kemarin bestian banget sama dia? Kok tiba-tiba pecah begitu, sih? Nggak mau cerita? Gue penasaran, nih.

Pagi itu, Dayi masih belum sepenuhnya sadar. Kepalanya masih mencerna isi pesan dari Adiz. Ibu beranak satu itu memang jarang sekali berkabar dengan Dayi, tapi dia selalu tak mau ketinggal berita terkini mengenai sahabatnya itu. Termasuk tentang kasus keretakan hubungannya Dayi bersama Hening.

Setelah nyawanya sudah benar-benar terkumpul, Dayi dengan segera berganti posisi dari rebahan menjadi duduk sembari memandang lekat ke arah layar ponselnya.

Apaan lagi, nih? Si Hening bikin huru hara apaan lagi di hidup gue?

Kenapa memangnya, Diz? Gue baru bangun, nih. Ada kabar apa emangnya?

Setelah membalas pesan Adiz,  Dayi sibuk mencari tahu tentang maksud dari isi pesan sahabatanya itu. Mulai dari status whatsapp Hening yang kembali ia bunyikan sampai ke sosial media lainnya. Tidak ada informasi apa pun yang ia temukan.

“Si Adiz tahu dari mana lagi tentang gue sama Hening? Perasaan gue nggak pernah cerita ke siapa-siapa, dah!” tanyanya pada diri sendiri. Dayi lalu duduk menyender ke tembok sambil memandangi cermin yag menempel pada lemari di depan kasurnya.

“Jangan sampai nih masalah lebih gede dari statusnya yang kemarin. Bisa gila gue lama-lama ngadepin perkara status doang,” sungutnya sembari menoleh ke jam digital yang tergeletak di meja sudut samping kasur.

Masih terlalu pagi rupanya. Dia terlalu lelah jika harinya harus dibuka dengan nyinyiran dari si tetangga. Dayi kemudian menarik napas panjang, meregangkan sendi-sendinya, dan melirik sang suami yang masih tertidur lelap. Semalam, suaminya sibuk mengecek keuangan toko sampai dini hari. Entah apa masalahnya, Dayi juga tak ingin ikut ambil pusing mengenai kerjaan Bhumi. Urusannya saja sudah banyak. Barang endorsan juga sudah melambai-lambai untuk segera ia iklankan.
Namun, pesan Adiz membuat mood-nya hari ini mendadak luruh.

“Apaan, sih? Ini si Hening bikin status di mana, sih? Ampun, deh!”






Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 03, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Wish ListTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang