≡;- ꒰ Why is He Like That? ꒱

125 7 0
                                    

˚⁠˳*⁠.

Akademiya, Kelas Tahun 1 - Darshan Spantamad

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akademiya,
Kelas Tahun 1 - Darshan Spantamad

Malam yang berganti pagi menandakan berakhirnya Festival Sabzeruz untuk tahun ini. Luar biasa bagaimana gemercik lampu dan sorak gembira bisa hilang hanya dengan semalam. Pelajar-pelajar Akademiya kembali pada rutinitas awalnya: mengamati, memahami, menulis, menyimpulkan, dan menciptakan. Intinya, baik telinga, mata, tangan, maupun otak mereka tidak diperbolehkan berhenti sampai meraih tujuan tertentu.

Berbeda dengan pelajar lain yang masih sibuk dengan mesin alkimia, Vannie hanya memutar-mutar kuas yang ada pada jemarinya. "Aku kangen apple cider vinegar nya Pak Diluc..." gumamnya setelah selesai menulis laporan observasinya. Dengan itu, ia segera beranjak dari bangkunya dan pergi meninggalkan ruangan.

"Shalmar, aku duluan ya. Kalau mau lihat versiku juga boleh." Ujar Vannie lalu berjalan meninggalkan kelas.

Vannie berencana untuk bertemu dengan Madam Faruzan, satu-satunya pengajar Akademiya dari darshan Haravatat yang dia anggap sangat asik untuk diajak sekedar basa-basi. Walaupun Vannie sudah pindah darshan dan bermasalah dengan siswa tertentu, Faruzan tidak pernah menganggapnya sebagai anak muda yang terlalu santai dalam menjalani proses hidupnya.

Sayang, jarak ruang antar darshan lumayan jauh, jadi Vannie memang harus berjalan ekstra.

-----

Ceklek.

"Greetings, Madam Faruzan!" Ujar Vannie tepat setelah membuka knop pintu di depannya.

"Well hello there, youngster. Kamu bolos lagi, nak?"

"Loh. Engga, tadi aku selesai duluan malah. Makanya bisa ketemu Madam lebih awal."

Faruzan terkekeh mendengar penjelasan Vannie. "Kayaknya Spantamad lebih cocok untuk kamu ya?"

"Sejauh ini, cocok sih. Kalau di sini kan banyak belajar bahasa aneh yang ribet, kalo di darshan sebelah mah enggak." Ucapnya kemudian mengambil posisi yang nyaman untuk duduk di sofa yang tersedia.

Bagi beberapa orang, tindakan Vannie untuk menghampiri guru diluar kepentingan pelajaran memanglah sebuah tindakan yang kurang penting. Apalagi, perempuan itu sekarang tidak punya urusan lagi dengan bidang yang diampu Faruzan. Vannie sadar tindakannya ini akan membawa sedikit banyak gosip yang melibatkan dirinya, yang mana bisa saja menumbuhkan buah bibir baru terhadap reputasinya di Akademiya.

Disamping itu, bagi Vannie, bersosialisasi merupakan hal yang susah-susah gampang. Ia lebih memilih menunggu seseorang untuk datang menyapa nya terlebih dahulu daripada mengambil inisiatif dan memulai pembicaraan. Tentu, hal ini berimbas pada kehidupan sosialnya. Apalagi setelah pindah darshan, banyak teman-temannya yang mulai membicarakan tentang gadis itu di belakangnya. Memang kurang mengenakkan di dengar telinga, tetapi apa boleh buat. Ia yang memilih jalan demikian.

Ceklek.

"Permisi, Madam. Ini dokumen-dokumen yang tenggatnya Jumat. Memang sudah saya pastikan tidak ada kesalahan, tapi Madam bisa periksa lagi kalau merasa ada yang kurang."

Vannie mengenali suara itu. Ia menoleh dan benar saja, perawakan orang di depannya ini mirip dengan pemuda yang ia jumpai kemarin di festival: Mahasiswa Haravatat tahun akhir yang memerankan karakter berjubah hijau laut kemarin. Rasa gugup yang antusias sedikit tumbuh dalam hatinya.

"Wah, lebih cepat dari yang diperkirakan ya. Alhaitham memang bisa diandalkan! Thank you, kiddo, nanti Madam kembalikan lagi kalau ada yang salah ya."

"Terima kasih kembali, Madam, saya izin keluar." Ujar Alhaitham setelah menaruh dokumennya di atas meja. Ia sempat menyadari Vannie yang duduk disamping Faruzan, bahkan mereka sempat melakukan kontak mata. Tetapi tidak satupun tanggapan keluar dari mulut Alhaitham.

"Madam, aku izin keluar ya! Btw, tadi sweet madame nya udah kutaruh di meja, jangan lupa saus manisnya dipanasin dulu ya~!" Ujar Vannie lalu pergi meninggalkan ruangan, teringin mengejar Alhaitham.

.

.

.

.


Entah apa yang ada di pikirannya sampai berani mengambil inisiatif seperti saat ini. Ia malah menghampiri Alhaitham–pemuda yang ia jumpai kemarin. Awalnya, ia hanya mencoba memanggil dengan pelan, namun lama kelamaan, berubah menjadi seruan.

"Halo kak,"

"Kak,"

"Kak?"

"Kak!"

Bahkan setelah keempat kalinya memanggil, Alhaitham masih belum menoleh. Vannie sadar kalau beberapa orang yang lewat mulai memperhatikan mereka. Di satu sisi, ia heran, mengapa pemuda itu tidak membalas sapaannya. Padahal, jarak mereka tidak terlalu jauh, walaupun posisinya Vannie membelakangi Alhaitham. Malu karena merasa diabaikan, Vannie kemudian terpaksa menepuk pundak pemuda itu pelan untuk menghindari cibiran, "Kak,"

Kontak fisik itu membuat Alhaitham berhenti sejenak dan melepas ear piece nya. "Kamu."

"Pagi, Kak!" Ujar Vannie sambil melambaikan tangannya.

Alhaitham mengerutkan dahinya, "..iya, pagi. Kenapa manggil saya?"

Kepala Vannie sedikit miring ke sebelah kanan, "Oh, nyapa aja sih, Kak."

Vannie tidak menerima respon apapun dari pemuda berambut abu yang berdiri di depannya ini. Alhaitham hanya mengubah gestur tubuhnya sedikit, kemudian perlahan melangkahkan lagi kedua kakinya–meninggalkan Vannie di tempat, sembari memasang kembali ear piece nya.

"..padahal apa salahnya jawab sapaanku sebentar?" Gumam Vannie sebelum Alhaitham berjalan terlalu jauh. Ia kemudian berbalik arah menuju asramanya.

Puk!

Seorang pemuda dengan rambut panjang berwarna putih silver berdiri di depan Vannie lalu menepuk pelan kepalanya. Sorot mata oranye skarlet itu menatap Vannie yang mimik wajahnya terlihat agak kusut.

"Jangan diambil hati," Ucapnya. Sekali lagi, menepuk pelan kepala gadis itu. Bukan lagi dengan buku yang tengah digenggamnya, tetapi telapak tangannya.

Vannie merespon dengan tawa yang canggung, diiringi dengan menggaruk pelan belakang lehernya. "Wah, gapapa kok, tenang aja."

Pemuda itu kemudian mengangguk dan melambaikan tangannya pada Vannie, berjalan ke arah yang berbalik dengan dirinya. "Sampai ketemu, junior."

"Lain kali kalau kita bertemu, panggil aku Cyno ya."

Vannie menyadari satu hal dari pemuda itu. Sebuah badge berbentuk merak berwarna kemerahan. Badge yang sama dengan yang ia kenakan sekarang, mewakili darshan Spantamad.

Walaupun ia berkata tidak masalah, sebetulnya, Vannie merasa bodoh sekali, karena terkesan sangat berusaha agar dapat berbincang dengan pemuda yang kelihatannya tidak tertarik sama sekali dengan dirinya. Terlebih lagi, hal itu disaksikan oleh seorang pelajar dari darshan yang sama dengannya.

-----

˚⁠˳*⁠.

𝐀𝐃𝐀𝐆𝐈𝐎 𝐵𝑙𝑜𝑜𝑚 | Alhaitham Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang